·
Pemikiran filsafat Al-Ghozali
Filsafat
Al-Ghozali dalam buku munqiz al-dhalal mengelompokkan filosof menjadi 3
golongan:
1.
Filosof materialis (dahriyyun)
2.
Filosof naturalis
(thabi’iyyun)
3.
Filosof ketuhanan
(ilahiyyun)
Menurut
Al-Ghozali masalah yang membuat filosof menjadi kafir adalah:
1.
Alam dan semua subtansi
qadim
2.
Allah tidak mengetahui yang
juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam
3.
Pembangkitan jasmani tidak
ada
Menurut
Al-Ghozali kepercayaan dalam tiga masalah ini bertentangan dengan kepercayaan
ummat islam dan dipandang mendustakan Rasul-rasul Allah, padahal tidak ada
golongan islam manapun yang berpendapat seperti ini.
1. Masalah kekadiman Allah
Pada umumnya para
filosof islamberpendapat bahwa alam ini kadim, artinya wujud Allah.
Keterdahuluan(kekadiman) Allah dari alam hanya dari segi dzat (taqoddum dzaty),
seperti keterdahuluan sebab dari akibat dan cahaya dari matahari.
Bagi Al-ghozali
teori Al-Asy’ari yang paling artikulasi dan terbesar pengaruhnya pada umat
islam, kadim mengandung arti tidak berawal, tidak pernah tidak ada pada masa
lampau. Oleh karena itu, bisa membawa pengertian alam ini tidak diciptakan.
Menurut Al-Ghozali (juga teori muslim lain) bahwa yang kadim adalah Allah,
sedangkan selain Allah adalah baharu. Justru itulah dalam ilmu kalam syahadat laila ha illa allah, berarti la qodima illa allah. Implikasinya paham
ini akan membawa pada: paham syirik karena banyak yang kadim, banyaknya tuhan
dan paham ateisme, alam yang kadim tidak ada yang pencipta.
2. Tuhan tidak mengetahui
yang juz’iyyah (parsial)
Para filosof
muslim, menurut Al-Ghozali bahwa Allah hanya mengetahui Dzat-Nya dan tidak
mengetahui yang selain-Nya (juz’iyyah). Ibnu sina mengatakan bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof
muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah, bahwa di alam ini selalu terjadi
perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu
akan membawa perubahan kepada Dzat-Nya.
Sebenarnya
terdapat kesamaan antara Al-Ghozali dan para filosof Muslim, bahwa ilmu dan
dzat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah maha mengetahui.
Perbedaan antara mereka terletak pada cara Allah mengetahui yang juz’iyyah.
Sebenarnya para filosof muslim tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang
dikemukakan oleh Al-Ghozali di atas. Mereka hanya menjelaskan bagaimana cara
Allah mengetahui yang juz’iyyah dan mereka yang bukan mengingkari Allah tentang
tidak mengetahui yang juz’iyyah.
3. Kebangkitan jasmani di
akhirat
Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan
di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi, yang
merasakan kebahagiaan atau kepedihan adlah rohaninya saja. Al-Ghozali pada
dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih
tinggi dari pada kelezatan di dunia empiris/indriawi. Juga tidak menolak
kekekalan roh setelah berpisah dengan jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa
akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika
(sam’iyah). Menurut Al-Ghozali, kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan
dengan ajaran agama islam.
Dijelaskan bahwa pertentangan antara Al-Ghozali
dengan filosof muslim hanya perbedaan interprestasi karena bedanya titik pijak.
Al-Ghozali seseorang teolog Al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme
selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Bghdad, tentu saja
pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak
Tuhan dan imprestasi merekan lebih liberal dari Al-Ghozali. Namun antara kedua
belah pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.
·
Pemikiran filsafat Ibnu Thufail
a.
Metafisika
Sosok Hayy yang digambarkan dalam romannya Ibnu
Thufail menunjukkan bahwa pengalaman hidup dan keseriusan menggunakan akal
untuk mengamati keadaan yang mengitari merupakan jalan yang mengantar seseorang
mengetahui Tuhan. Ajakan semacam ini seiring dengan kemauan Al-Qur’an. Bagi
ibnu Thufail, dalil adanya Allah adalah gerak alam. Sesuatu yang bergerak tidak
mungkin terjadi sendiri tanpa penggerak yang berada di luar alam, dan berbeda
dengan yang digerakkan. Penggerak itu adalah Allah. Dalik gerak alam untuk
membuktikan adanya Allah semacam ini sudah dikenal luas dikalangan filsuf Islam
yang diambil dari pemikiran Aristoteles.
Pada bagian lain, Ibnu Thufail berpendapat
bahwa Allah menciptakan segala sesuatu karena ada guna dan manfaatnya. Allah
juga mengetahui segala sesuatu yang di langit dan di bumi, dan tidak satu pun
yang luput dari ilmu-Nya yang maha luas. Pendapat ini lebih dekat kepada
keyakinan Asy’ariyah yang memberi penekanan pada kemahakuasaan Allah.
Menurut Ibnu Thufail alam dan Tuhan sama-sama
kekal, tetapi ia juga membedakan antara kekekalan dalam waktu. Ibnu Thufail
percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya alam dalam hal esensi tetapi tidak dalam
hal waktu. Untuk itu ia memberi contoh: jika kita menggenggam suatu benda di
dalam tangan, lalu menggerakkan tangan, benda itu bergerak mengikuti gerak
tangan dari segi dzat, tetapi dari segi waktu tidak, karena gerakan itu dimulai
dalam waktu yang sama. Demikian juga seluruh alam ini adalah akibat dan
ciptaan, di luar waktu, dari sang pencipta. Pemikiran ini dimaksudkan Ibnu
Thufail untuk mempertahankan pendapat mistisnya bahwa alam ini bukanlah sesuatu
yang lain dari Tuhan, dan sebagai penampakan diri dari esensi Tuhan. Karena itu
ala tidak akan hancur (lenyap) pada Hari Penentuan sebagaimana dipercayai
kebanyakan umat. Kehancuran alam berupa keberalihannya menjadi bentuk lain, dan
bukan merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Alam terus berlangsung dalam suatu
bentuk lain. Hal itu dimungkinkan karena sifat esensi Tuhan merupakan
penerangan dan penampakan diri yang kekal.
b.
Epistimologi
Tampaknya
Ibnu Thufail menunjukkan dua jalan untuk sampai kepada obyek pengetahuan yang
Maha Tinggi atau Tuhan. Jalan pertama ialah melalui wahyu, seperti ditempuh
oleh Absal, dan jalan kedua adalah filsafat, semisal yang dilakukan Hayy. Jalan
pertama lebih pendek dari jalan kedua.
Dari simpulan
cerita dapat digambarkan bahwa ma’rifah melalui akal ditempuh dengan jalan
keterbukaan, mengamati, meneliti, mencari, mencoba, membandingkan, klasifikasi,
generalisasi, dan menyimpulkan. Jadi, ma’rifah merupakan sesuatu yang dilatih
mulai dari yang konkrit berlanjut kepada yang abstrak, dari yang khusus menuju
gloabal. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Karena
sifatnya yang demikian, maka ma’rifah yang jenis ini sesuatu yang dilatih,
berkembang, bertingkat, dan beragam. Karena pembentukan pengalaman dimulai
lewat tanggapan alat indra, Ibnu Thufail juga menjelaskan proses fisisnya. Apa
yang ditangkap oleh indra disampaikan ke otak lewat jalur syaraf, kemudian otak
mengolahnya dan mengembalikannya ke seluruh tubuh lewat jalur yang sama sebagai
suatu persepsi.
Ma’rifah
melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan menghayati segi batinnya dengan
dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Lebih jauh,
tidak heran kalau muncul syathahat dari mulut seorang sufi. Jadi proses
yang dilalui ma’rifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi
bersifat intuitif lewat cahaya suci.
c.
Jiwa
Konsepsi
Ibnu Thufail tentang jiwa sejalan dengan yang dikemukakan Al-Farabi, yakni ada
tiga kategori jiwa, yaitu:
Pertama:
jiwa fadhilah,
yakni yang kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus mengarahkan
perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa fadhilah ini akan
ditempatkan di surga.
Kedua: jiwa fasiqah,
yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka. Karena pada
mulanya jiwa ini telah mengenal Allah tetapi kemudiaan melupakan-Nya dengan
melakukan berbagai maksiat.
Ketiga: jiwa jahiliyyah,
yakni jiwa yang musnah karena tidak mengenal Allah sama sekali. Jiwa jenis
ini sama halnya dengan hewan yang melata.
Ibnu
Thufail menawarkan tiga jenis amaliah yang harus diterapkan dalam hidup. Kadar
penerapan amaliah tersebut menjadi cermin keberhasilan seseorang untuk
menyaksikan al-wajib al-wujud. Ketiganya adalah:
1.
Amaliah yang menyerupai hewan
Amaliah
ini sedikit unik, karena amaliah hewan tersebut dibutuhkan tetapi juga dapat
menjadi penghalang untuk meningkat kepada amaliah berikutnya yang lebih tinggi.
Amaliah hewan yang dimaksud adalah memelihara tubuh dan memenuhi kebutuhan
pokok. Namun, harus dibatasi seminimal mungkin.
2.
Amaliah yang menyerupai benda angkasa
Amaliah
ini melakukan hubungan baik dengan dibawahnya, dengan dirinya, dan dengan
Tuhannya.
3.
Amaliah yang menyerupai al-wajib al-wujud
Amaliah
ini adalah yang lebih tinggi, dengan mencontoh sifat-sifat al-wajib al-wujud.
Jenis amaliah ini akan mampu mengantar kepada kebahagiaan abadi sebagai sasaran
akhir dari prinsip moral.
Ibnu Thufail juga mengajarkan agar jiwa
berhubungan (ittishal) atau musyahadah secara terus menerus sejak dari
kehidupan di dunia sampai kehidupan abadi. Upaya ke arah itu bisa dengan
renungan kontemplatif dan fana-mistika. Manusia dapat berhubungan dan
menyaksikan Tuhannya tidak saja dengan akalnya, juga melalui rohaninya.
·
Pemikiran filsafat Ibnu Rushd
Filsafat ibnu Rushd
sangat dipengaruhi oleh aristoteles. Hal ini wajar, karena ia banyak
mengahbiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap
karya-karya Aristoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar syarih (komentator).
Aristoteles menurut
pendapatnya adalah manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai
kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Kadang–kadang manusia salah
memahami buku-buku Aristoteles, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Rushd dari
kitab-kitab Al-farabi dan Ibn Sina. Ibn Rushd dalam beberapa hal tidak setuju
dan berbeda pendapat dengan kedua filsuf ini dala memahami filsafat
Aristoteles. Ibn Rushd berkeyakinan jika filsafat Aristoteles dapat dipahami
dengan sebaik-baiknya, pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi
yang mampu dicapai oleh manusia. Bahkan perkembngan manusia telah mencapai
tingkat yang paling tinggi pada diri Aristoteles. Kekaguman Ibn Rushd terhadap
Aristoteles lebih dari itu, sehingga ia menilai seolah-olah ilham Tuhan menghendaki
agar Aristoteles menjadi teladan bagi otak manusia yang tertinggi dan adanya
kesnggupan untuk mendekati akal Universal. Ibn Rushd sebagai filosof besar juga
memikir, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh
filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima dan menolak yang sebaliknya. Ia
mengkritik Al-farabi, Ibnu Sina, Al-Ghozali, ibn bajjah dan lain sebagainya.
Hal ini tergantung pada materi yang dibahas.
a.
Metode pembuktian kebenaran
Sejalan dengan
pengajaran syariat untuk pembuktian kebenaran konsep (tashdiq) metode yang
dapat dipergunakan ada tiga macam:
1.
Metode Retorika
(Al-khatabiyah)
2.
Metode Dialektik
(Al-Jadaliyyah)
3.
Metode Demontratif
(Al-Burhaniyyah)
Metode retorik dan dialektik diperuntukkan bagi
manusia awam sedangkan metode demonstratif secara spesifik dikonsumsikan bagi
kelompok kecil manusia.
b.
Metafisika
Dalam masalah
ketuhanan, Ibnu Rushd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama
(muharrik al-awwal). Konsepsi Ibnu Rushd tentang ketuhanan jelas sekali
merupakan pengaruh Aristoteles, potinus, Al-Farabi dan Ibnu Sina di samping
keyakinan agama islam yang dipeluknya. Mensifati tuhan dengan “esa” merupakan
ajaran islam, tetapi menanamkan Tuhan sebagai penggerak pertama, tidak pernah
dijumpai dalam pembahasan islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat
Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi dan Ibnu sina.
·
Pemikiran filsafat Muhammad Iqbal
a. Filsafat ego atau khudi
Konsep tentang
hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan
menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas
dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa persia dengan bentuk matsanawi
berjudul Asrar-i khudi kemudian
dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian
dibukukan dengan judul The Reconstruktion
of Religious thought in Islam.
Menurut Iqbal
khudi arti kharfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan
yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan
suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Iqbal menerangkan bahwa
khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini
tercantum pada beberapa matsanawinyah Asrar-i
Khudi.
Untuk memperkuat
ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan keterkaitan, sedangkan yang memperlemahnya
adalah ketergantungan yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap
individu mesti menjalani tiga tahap:
Pertama:setiyap
individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk pada kodrat mahluk dan
hukum-hukum ilahiah.
Kedua:belajar
berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut
dan cinta kepada Tuhan dan seraya tidak bergantung pada dunia.
Ketiga:
menyelesaikan perkembangan kapeda dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual
(insan kamil).
b. Filsafat ketuhanan
Tuhan sebagi
objek metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua objek metafisika lainnya.
Apabila menginvestasi lahiriyah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indra,
maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu
yang mutlak tidak ditangkpa indra.
Filsafat
ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya tuhan, yang didasarkan
pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan tidak mempersoalkan eksitensi tuhan,
disiplin tersebut hanya ingin menggaris bawahibahwa apabila tidak ada penyebab
pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontigen
tidak dapat dipahami akal.
Iqbal sepakat
dengan kant bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat
Tuhan. Namun keterbatasan rasio tidak menjadikan Iqbal seorang sketis seperti
kant, ia tetap meyakini bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang
tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman religius.
Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena
Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung
tentang keberadaan ego atau diri yang bebas kreatif.
Bagi iqbal, agama
lebih dari sekedar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral.
Fungsi sesunggunya adalah mendorong proses evolusi ego manusia dimana etika dan
pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan
ego manusia yang selalu mendapatkan kesempurnaan. Dengan kata lain, agama
justru mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi seseorang.
·
Pemikiran filsafat Mulla Sadra
Refleksi awal
tentang pemikiran Mulla Sadra dapat dikemukakan bahwa ia menetapkan ilmu dan
agama tidak dalam posisi “konflik”, keduanya mempunyai tolak ukur kebenaran
sendiri tetapi kebenaran yang diperoleh tidaklah saling bertentangan. Metode
yang digunakan untuk menemukan kebenaran ilmu dan agama bersifat komperatif
saling mendukung. Ini terlihat dari pandangannya yang tidak menolak rasio dan
empiris sebagai sarana untuk memperoleh
kebenaran, disamping ia juga menambahkan metode sufistik untuk mencapai
kebanaran hakiki. Mulla Sadra melakukan sintesis terhadap sumber pengetahuan
yang meluputi iluminasi intelektual (kasyf, zauq atau isyraq), penalaran atau
pembuktian rasional (‘aql, burahn atau istidlal) dan agama atau wahyu (syr’i
atau wahy)
Pemikiran Mulla
Sadra, sebagai bagian dari fregmentasi perkembangan pemikiran islam, secara
cerdas, dan jernih. Menempatkan kedudukan ilmu dan agama pada posisi yang
harmonis. Tidak salah tentunya apabila ada ungkapan bahwa kemajuan pemikiran
islam terjadi manakala agama secara mutualis menjadi bagian tak terpisahkan
dari perkembangan ilmu. Agama bukan pengahambat perkembangan ilmu sebagaimana
terjadi di barat, tetapi justru merupakan pendaorong sekaligus ruh bagi
karakteristik keilmuan islam.
Konsep Mulla Sadra terdiri atas tiga
prinsip yang mendasar yaitu:
1.
Wahda al-wujud (kesatuan
wujud)
Pandangan ini
diadopsi Mulla Sadra dari konsep mistisme yang dikembangkan oleh Ibnu ‘Arabi.
Secara umum dalam pembahasan tentang wahdah al-wujud.
2.
Tasyrik al-wujud (gradasi wujud)
Prinsip ini
menyatakan bahwa meskipun wujud merupakan suatu realitas tunggal yang pada
dasarnya adalah sama dan serupa pada seluruh yang ada, karena seluruh yang ada
adalah penampakan-penampakan diri dari realitas tunggal tersebut, namun ia juga
menjadi prinsip pembeda.
3.
Asalah al-wujud (kehakikian
wujud)
Konsep asalah
telah memunculkan persoalan dikotomis antara wujud (eksistensi) dan mahiyah
(whatnes atau kuiditas).
Pandangan
epistimologi Mulla Sadra melalui pandangan Empirisme, Rasionalisme amupun
kritisme yang lahir dan berkembang di barat. Mulla sadra juga melampaui para
pemikir islam lainnya karena keberhasilannya memadukan empat aliran besar
pemikiran islam, yaitu filsafat peripatetik islam dari ibnu sina,
iluminasionis dari syuhrawardi, ajaran
tasawwuf dari Ibnu Arab, dan teologi islam. Agar lebih utuh memahami
Epistimologi Mulla Sadra maka perlu dijelaskan tiga hal pokok yang menjadi
kerangka bagi bagngunan epistemologinya yaitu:
1.
Ilmu Hudhuri
Mulla sadra dan para pemikir islam
lainnya membagi pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan capaian dan
pengetahuan presenial.
2.
Persepsi
Dalam terminologi barat istilah
persepsi hanya merujuk pad sensasi fisik saja, akan tetapi bagi Sandra sensasi
bukan hanya meliputi fisik namun juga non fisik.ia membagi persepsi meliputi
empat tingkat, yaitu persepsi indra, imajinal, intuisi indra (wahm) dan
inteleksi(ta’aqqul).
3.
Kesatuan yang mengetahui
dan yang diketahui
Mulla Sadra menyatakan bahwa yang
ditangkap oleh indra bukanlah sifat benda materialnya, namun kualitas khusus
yag bersifat kejiwaan dalam benda tersebut.
Doktrin metafisika Sandra lainya yang terkait dengan pengetahuan adalah
kesatuan intelek dan intelijible