Kamis, 21 Februari 2013

perbedan pemikiran para filosof



·      Pemikiran filsafat Al-Ghozali
Filsafat Al-Ghozali dalam buku munqiz al-dhalal mengelompokkan filosof menjadi 3 golongan:
1.      Filosof materialis (dahriyyun)
2.      Filosof naturalis (thabi’iyyun)
3.      Filosof ketuhanan (ilahiyyun)
Menurut Al-Ghozali masalah yang membuat filosof menjadi kafir adalah:
1.      Alam dan semua subtansi qadim
2.      Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada
Menurut Al-Ghozali kepercayaan dalam tiga masalah ini bertentangan dengan kepercayaan ummat islam dan dipandang mendustakan Rasul-rasul Allah, padahal tidak ada golongan islam manapun yang berpendapat seperti ini.
1.      Masalah kekadiman Allah
Pada umumnya para filosof islamberpendapat bahwa alam ini kadim, artinya wujud Allah. Keterdahuluan(kekadiman) Allah dari alam hanya dari segi dzat (taqoddum dzaty), seperti keterdahuluan sebab dari akibat dan cahaya dari matahari.
Bagi Al-ghozali teori Al-Asy’ari yang paling artikulasi dan terbesar pengaruhnya pada umat islam, kadim mengandung arti tidak berawal, tidak pernah tidak ada pada masa lampau. Oleh karena itu, bisa membawa pengertian alam ini tidak diciptakan. Menurut Al-Ghozali (juga teori muslim lain) bahwa yang kadim adalah Allah, sedangkan selain Allah adalah baharu. Justru itulah dalam ilmu kalam syahadat laila ha illa allah, berarti la qodima illa allah. Implikasinya paham ini akan membawa pada: paham syirik karena banyak yang kadim, banyaknya tuhan dan paham ateisme, alam yang kadim tidak ada yang pencipta.
2.      Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah (parsial)
Para filosof muslim, menurut Al-Ghozali bahwa Allah hanya mengetahui Dzat-Nya dan tidak mengetahui yang selain-Nya (juz’iyyah). Ibnu sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada Dzat-Nya.
Sebenarnya terdapat kesamaan antara Al-Ghozali dan para filosof Muslim, bahwa ilmu dan dzat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah maha mengetahui. Perbedaan antara mereka terletak pada cara Allah mengetahui yang juz’iyyah. Sebenarnya para filosof muslim tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang dikemukakan oleh Al-Ghozali di atas. Mereka hanya menjelaskan bagaimana cara Allah mengetahui yang juz’iyyah dan mereka yang bukan mengingkari Allah tentang tidak mengetahui yang juz’iyyah.
3.      Kebangkitan jasmani di akhirat
Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi, yang merasakan kebahagiaan atau kepedihan adlah rohaninya saja. Al-Ghozali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi dari pada kelezatan di dunia empiris/indriawi. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah berpisah dengan jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika (sam’iyah). Menurut Al-Ghozali, kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran agama islam.
Dijelaskan bahwa pertentangan antara Al-Ghozali dengan filosof muslim hanya perbedaan interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghozali seseorang teolog Al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Bghdad, tentu saja pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan imprestasi merekan lebih liberal dari Al-Ghozali. Namun antara kedua belah pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.

·      Pemikiran filsafat Ibnu Thufail
a.    Metafisika
Sosok Hayy yang digambarkan dalam romannya Ibnu Thufail menunjukkan bahwa pengalaman hidup dan keseriusan menggunakan akal untuk mengamati keadaan yang mengitari merupakan jalan yang mengantar seseorang mengetahui Tuhan. Ajakan semacam ini seiring dengan kemauan Al-Qur’an. Bagi ibnu Thufail, dalil adanya Allah adalah gerak alam. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin terjadi sendiri tanpa penggerak yang berada di luar alam, dan berbeda dengan yang digerakkan. Penggerak itu adalah Allah. Dalik gerak alam untuk membuktikan adanya Allah semacam ini sudah dikenal luas dikalangan filsuf Islam yang diambil dari pemikiran Aristoteles.
Pada bagian lain, Ibnu Thufail berpendapat bahwa Allah menciptakan segala sesuatu karena ada guna dan manfaatnya. Allah juga mengetahui segala sesuatu yang di langit dan di bumi, dan tidak satu pun yang luput dari ilmu-Nya yang maha luas. Pendapat ini lebih dekat kepada keyakinan Asy’ariyah yang memberi penekanan pada kemahakuasaan Allah.
Menurut Ibnu Thufail alam dan Tuhan sama-sama kekal, tetapi ia juga membedakan antara kekekalan dalam waktu. Ibnu Thufail percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya alam dalam hal esensi tetapi tidak dalam hal waktu. Untuk itu ia memberi contoh: jika kita menggenggam suatu benda di dalam tangan, lalu menggerakkan tangan, benda itu bergerak mengikuti gerak tangan dari segi dzat, tetapi dari segi waktu tidak, karena gerakan itu dimulai dalam waktu yang sama. Demikian juga seluruh alam ini adalah akibat dan ciptaan, di luar waktu, dari sang pencipta. Pemikiran ini dimaksudkan Ibnu Thufail untuk mempertahankan pendapat mistisnya bahwa alam ini bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan, dan sebagai penampakan diri dari esensi Tuhan. Karena itu ala tidak akan hancur (lenyap) pada Hari Penentuan sebagaimana dipercayai kebanyakan umat. Kehancuran alam berupa keberalihannya menjadi bentuk lain, dan bukan merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Alam terus berlangsung dalam suatu bentuk lain. Hal itu dimungkinkan karena sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan penampakan diri yang kekal.
b.    Epistimologi
Tampaknya Ibnu Thufail menunjukkan dua jalan untuk sampai kepada obyek pengetahuan yang Maha Tinggi atau Tuhan. Jalan pertama ialah melalui wahyu, seperti ditempuh oleh Absal, dan jalan kedua adalah filsafat, semisal yang dilakukan Hayy. Jalan pertama lebih pendek dari jalan kedua.

Dari simpulan cerita dapat digambarkan bahwa ma’rifah melalui akal ditempuh dengan jalan keterbukaan, mengamati, meneliti, mencari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi, dan menyimpulkan. Jadi, ma’rifah merupakan sesuatu yang dilatih mulai dari yang konkrit berlanjut kepada yang abstrak, dari yang khusus menuju gloabal. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Karena sifatnya yang demikian, maka ma’rifah yang jenis ini sesuatu yang dilatih, berkembang, bertingkat, dan beragam. Karena pembentukan pengalaman dimulai lewat tanggapan alat indra, Ibnu Thufail juga menjelaskan proses fisisnya. Apa yang ditangkap oleh indra disampaikan ke otak lewat jalur syaraf, kemudian otak mengolahnya dan mengembalikannya ke seluruh tubuh lewat jalur yang sama sebagai suatu persepsi.
Ma’rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan menghayati segi batinnya dengan dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Lebih jauh, tidak heran kalau muncul syathahat dari mulut seorang sufi. Jadi proses yang dilalui ma’rifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci.
c.     Jiwa
Konsepsi Ibnu Thufail tentang jiwa sejalan dengan yang dikemukakan Al-Farabi, yakni ada tiga kategori jiwa, yaitu:
Pertama: jiwa fadhilah, yakni yang kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus mengarahkan perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa fadhilah ini akan ditempatkan di surga.
Kedua: jiwa fasiqah, yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka. Karena pada mulanya jiwa ini telah mengenal Allah tetapi kemudiaan melupakan-Nya dengan melakukan berbagai maksiat.
Ketiga: jiwa jahiliyyah, yakni jiwa yang musnah karena tidak mengenal Allah sama sekali. Jiwa jenis ini sama halnya dengan hewan yang melata.

Ibnu Thufail menawarkan tiga jenis amaliah yang harus diterapkan dalam hidup. Kadar penerapan amaliah tersebut menjadi cermin keberhasilan seseorang untuk menyaksikan al-wajib al-wujud. Ketiganya adalah:
1.    Amaliah yang menyerupai hewan
Amaliah ini sedikit unik, karena amaliah hewan tersebut dibutuhkan tetapi juga dapat menjadi penghalang untuk meningkat kepada amaliah berikutnya yang lebih tinggi. Amaliah hewan yang dimaksud adalah memelihara tubuh dan memenuhi kebutuhan pokok. Namun, harus dibatasi seminimal mungkin.
2.    Amaliah yang menyerupai benda angkasa
Amaliah ini melakukan hubungan baik dengan dibawahnya, dengan dirinya, dan dengan Tuhannya.
3.    Amaliah yang menyerupai al-wajib al-wujud
Amaliah ini adalah yang lebih tinggi, dengan mencontoh sifat-sifat al-wajib al-wujud. Jenis amaliah ini akan mampu mengantar kepada kebahagiaan abadi sebagai sasaran akhir dari prinsip moral.
Ibnu Thufail juga mengajarkan agar jiwa berhubungan (ittishal) atau musyahadah secara terus menerus sejak dari kehidupan di dunia sampai kehidupan abadi. Upaya ke arah itu bisa dengan renungan kontemplatif dan fana-mistika. Manusia dapat berhubungan dan menyaksikan Tuhannya tidak saja dengan akalnya, juga melalui rohaninya.

·      Pemikiran filsafat Ibnu Rushd
Filsafat ibnu Rushd sangat dipengaruhi oleh aristoteles. Hal ini wajar, karena ia banyak mengahbiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar syarih (komentator).
Aristoteles menurut pendapatnya adalah manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Kadang–kadang manusia salah memahami buku-buku Aristoteles, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Rushd dari kitab-kitab Al-farabi dan Ibn Sina. Ibn Rushd dalam beberapa hal tidak setuju dan berbeda pendapat dengan kedua filsuf ini dala memahami filsafat Aristoteles. Ibn Rushd berkeyakinan jika filsafat Aristoteles dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai oleh manusia. Bahkan perkembngan manusia telah mencapai tingkat yang paling tinggi pada diri Aristoteles. Kekaguman Ibn Rushd terhadap Aristoteles lebih dari itu, sehingga ia menilai seolah-olah ilham Tuhan menghendaki agar Aristoteles menjadi teladan bagi otak manusia yang tertinggi dan adanya kesnggupan untuk mendekati akal Universal. Ibn Rushd sebagai filosof besar juga memikir, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima dan menolak yang sebaliknya. Ia mengkritik Al-farabi, Ibnu Sina, Al-Ghozali, ibn bajjah dan lain sebagainya. Hal ini tergantung pada materi yang dibahas.
a.    Metode pembuktian kebenaran
Sejalan dengan pengajaran syariat untuk pembuktian kebenaran konsep (tashdiq) metode yang dapat dipergunakan ada tiga macam:
1.         Metode Retorika (Al-khatabiyah)
2.         Metode Dialektik (Al-Jadaliyyah)
3.         Metode Demontratif (Al-Burhaniyyah)
Metode retorik dan dialektik diperuntukkan bagi manusia awam sedangkan metode demonstratif secara spesifik dikonsumsikan bagi kelompok kecil manusia.
b.    Metafisika 
Dalam masalah ketuhanan, Ibnu Rushd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharrik al-awwal). Konsepsi Ibnu Rushd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, potinus, Al-Farabi dan Ibnu Sina di samping keyakinan agama islam yang dipeluknya. Mensifati tuhan dengan “esa” merupakan ajaran islam, tetapi menanamkan Tuhan sebagai penggerak pertama, tidak pernah dijumpai dalam pembahasan islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi dan Ibnu sina.
·      Pemikiran filsafat Muhammad Iqbal
a.      Filsafat ego atau khudi
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa persia dengan bentuk matsanawi berjudul Asrar-i khudi kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruktion of Religious thought in Islam.
Menurut Iqbal khudi arti kharfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsanawinyah Asrar-i Khudi.
Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan keterkaitan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap:
Pertama:setiyap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk pada kodrat mahluk dan hukum-hukum ilahiah.
Kedua:belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan dan seraya tidak bergantung pada dunia.
Ketiga: menyelesaikan perkembangan kapeda dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (insan kamil). 
b.      Filsafat ketuhanan
Tuhan sebagi objek metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua objek metafisika lainnya. Apabila menginvestasi lahiriyah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indra, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak ditangkpa indra.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya tuhan, yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan tidak mempersoalkan eksitensi tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggaris bawahibahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontigen tidak dapat dipahami akal.
Iqbal sepakat dengan kant bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat Tuhan. Namun keterbatasan rasio tidak menjadikan Iqbal seorang sketis seperti kant, ia tetap meyakini bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman religius. Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang bebas kreatif.
Bagi iqbal, agama lebih dari sekedar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi sesunggunya adalah mendorong proses evolusi ego manusia dimana etika dan pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan ego manusia yang selalu mendapatkan kesempurnaan. Dengan kata lain, agama justru mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi seseorang.
·      Pemikiran filsafat Mulla Sadra
Refleksi awal tentang pemikiran Mulla Sadra dapat dikemukakan bahwa ia menetapkan ilmu dan agama tidak dalam posisi “konflik”, keduanya mempunyai tolak ukur kebenaran sendiri tetapi kebenaran yang diperoleh tidaklah saling bertentangan. Metode yang digunakan untuk menemukan kebenaran ilmu dan agama bersifat komperatif saling mendukung. Ini terlihat dari pandangannya yang tidak menolak rasio dan empiris sebagai sarana untuk  memperoleh kebenaran, disamping ia juga menambahkan metode sufistik untuk mencapai kebanaran hakiki. Mulla Sadra melakukan sintesis terhadap sumber pengetahuan yang meluputi iluminasi intelektual (kasyf, zauq atau isyraq), penalaran atau pembuktian rasional (‘aql, burahn atau istidlal) dan agama atau wahyu (syr’i atau wahy)
Pemikiran Mulla Sadra, sebagai bagian dari fregmentasi perkembangan pemikiran islam, secara cerdas, dan jernih. Menempatkan kedudukan ilmu dan agama pada posisi yang harmonis. Tidak salah tentunya apabila ada ungkapan bahwa kemajuan pemikiran islam terjadi manakala agama secara mutualis menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu. Agama bukan pengahambat perkembangan ilmu sebagaimana terjadi di barat, tetapi justru merupakan pendaorong sekaligus ruh bagi karakteristik keilmuan islam.
Konsep Mulla Sadra terdiri atas tiga prinsip yang mendasar yaitu:
1.      Wahda al-wujud (kesatuan wujud)
Pandangan ini diadopsi Mulla Sadra dari konsep mistisme yang dikembangkan oleh Ibnu ‘Arabi. Secara umum dalam pembahasan tentang wahdah al-wujud.
2.       Tasyrik al-wujud (gradasi wujud)
Prinsip ini menyatakan bahwa meskipun wujud merupakan suatu realitas tunggal yang pada dasarnya adalah sama dan serupa pada seluruh yang ada, karena seluruh yang ada adalah penampakan-penampakan diri dari realitas tunggal tersebut, namun ia juga menjadi prinsip pembeda.
3.      Asalah al-wujud (kehakikian wujud)
Konsep asalah telah memunculkan persoalan dikotomis antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (whatnes atau kuiditas).
Pandangan epistimologi Mulla Sadra melalui pandangan Empirisme, Rasionalisme amupun kritisme yang lahir dan berkembang di barat. Mulla sadra juga melampaui para pemikir islam lainnya karena keberhasilannya memadukan empat aliran besar pemikiran islam, yaitu filsafat peripatetik islam dari ibnu sina, iluminasionis  dari syuhrawardi, ajaran tasawwuf dari Ibnu Arab, dan teologi islam. Agar lebih utuh memahami Epistimologi Mulla Sadra maka perlu dijelaskan tiga hal pokok yang menjadi kerangka bagi bagngunan epistemologinya yaitu:
1.      Ilmu Hudhuri
Mulla sadra dan para pemikir islam lainnya membagi pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan capaian dan pengetahuan presenial.
2.      Persepsi
Dalam terminologi barat istilah persepsi hanya merujuk pad sensasi fisik saja, akan tetapi bagi Sandra sensasi bukan hanya meliputi fisik namun juga non fisik.ia membagi persepsi meliputi empat tingkat, yaitu persepsi indra, imajinal, intuisi indra (wahm) dan inteleksi(ta’aqqul).
3.      Kesatuan yang mengetahui dan yang diketahui
Mulla Sadra menyatakan bahwa yang ditangkap oleh indra bukanlah sifat benda materialnya, namun kualitas khusus yag bersifat kejiwaan dalam benda tersebut.
Doktrin metafisika Sandra lainya yang terkait dengan pengetahuan adalah kesatuan intelek dan intelijible

PANTU BASA –BASI CINTA



PANTU BASA –BASI
Kapal api  kapal udara
Kapal selam kapal selam tak berkitiran
Bukan istiri bukan saudara
Siang malam jadi pikiran

                Surabaya berupa-rupa
                Sapu tangan jatuh dilumpur
                Suru lupa ga’ bisa lupa
                Lupa sebentar ditenpat tidur

Darimana datangnya linta
Dari sawa h turun kekali
Darimana datangnya cinta
Dari mata turun kehati

                Hati-hati membuka tebat
                Tebat itu berisi linta
                Hati-hati membuka surat
                Surat itu berisi air mata

Burung pipit terbang kebukit
Tiba dibukit bertelur dua
Hatisiapa tidak sakit
Melihat adik duduk berdua

                Buat apa punya lemari
                Kalua tidak diisi kain
                Buat apa punya istri
                Kalau hatinya milik orang lain

PANTUN CINTA , CINTA DAN SAMARA LAGI



PANTUN ASMARA /CINTA
By : Al- Habibi
Gara-gara hujan gerimis
Membasahi alam semesta
Gara-gara senyummu manis
Membuat aku jatu cinta

                Pohon randu berjajar empat
                Hujan gerimis disebelah timur
                Kalau rindu kirimkan surat
                Jangan menangis ditempat tidur

Dari dekat pohon jambu
Dari jauh pohon randu
Dari dekat aku malu
Dari jauh I love you

                Kalai tidak karna baju
                tidak terbuka pintu lemari
                Kalu tidak karna kamu
                Tidak sampai abang kemari

Apabilah hari jum’at
Pak yai pakai jubah
Miskin pun hari kiamat
Cintaku padamu takkan berubah
               
                Burung elang tebang melayang
                Melang jauh diawan
                Siang malam terbayang
                Karna wajahmu cantik menawan.