Senin, 20 Mei 2013

NIKAH BEDA AGAMA (MENGAWINI WANITA MUSYRIKAH)



PEMBAHASAN
2.1.Telaah Ayat Yang Berhubungan Dengan Nikah Musyrikah
       ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولاءمة مؤمنة خير من مشركة ولو ءاعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولوءاعجبكم ءاولئك يدعون ءالى النار والله يدعو ءالى الجنة والمغفرة باءذنه ويبين ءاياته للناس لعلهم يتذكرون(البقرة :221 )
Artinya: Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrikah, sehingga beriman.sesungguhnya hamba wanita yang mukminat lebih baik daripada wanita musyrikah, meskipun mereka menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan ( wanita-wanita mukminah) dengan laki-laki musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya hamba yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walupun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke nerak, sedangkan Allah mengajakkesurga dan keampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya ( hukum-hukum-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.( QS. Al-Baqorah/2 : 221)
A.  Sebabun Nuzul
a.    Diriwayatkan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Murtsid bin Abi Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke Madinah, sedang ia di masa Jahiliyah, memiliki hubungan dengan seorang perempuanbernama ‘Anaq, lalu wanita itu mengunjungi Murtsid dan bertanya : tidakkah engkau masih kosong ? Murtsid menjawab : sayang, Isalam telah menghaliangi diantara kita. Lalu wanita itu bertanya lagi : Tidakkah engkau bermaksud mengawini aku ? Ia menjawab : Benar, tapi aku akn menghadap Rasullah SAW. Untuk mintak izin kepadanya, mak turunlah ayat ini.[1]
b.    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah, di mana ia pernah mempunya hambah perempuan hitam, dan keika ia marak kepadanya, maka hamba itu ia tempelang. Kemudian ia merasa tidak enak lalu datang menghadap Rasullah SAW. Dan menyampaikan kepadanya apa yang ia alami dengan wanita tadi. Lalu Nabi SAW. Bertanya kepadanya : bagaimankah ( ihwal ) wanita itu, hai Abdullah ? Ia menjawab : dia itu berpuasa, sholat, memperbagus wudhu’nya, dan mengucapkan syahadad “ asyhadu allal ilaaha illaah wa asyhadu anna Muhammadan rrosulullah”.  Kemudian Nabi SAW. Bersabda  : Hai Abdullah, dia adlah mukminah. Maka Abdullah berkata : Demi DZat yang mengutusmu dengan benar, aku akan memerdekakannya, lalu mengawininya. Lalu ia pun mengawininya. Maka orang-orang lantas memperolak : Abdullah mengawini hamba, sedang mereka senag mengawini perempuan-perempuan musyrikah karna menyukai ketinggian keturunan mereka, lalu turunlah ayat ini.[2]
B.  Tafsirnya
a.     Yang dimaksud dengan  “ nikah “ dalam ayat ini ialah “mengawini” berdasrkan ijma’ Ulama’, yakni “janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah”.
Menurut al-Karkhi, yang dimaksud ialah “mengawini” bukan menyetubuhi, sehingga dikatakan ( kepadanya sebagai bantahan) : Bahwa memang tidak ada dalam al-Qur’an lafald “wathi” ( menyetubuhi) sebab al-Qur’an mengunakan sindiran, dan ini diantara kehalusan  lafal-lafal al-Qur’an.
b.         Tentang firman Allah “lebih baik daripada perempuan musyriakah meskipun menarik hatimu” itu, suatu isyarat halus, bahwa yang harus siperhatikan dalam memilih jodoh ialah “akhlaq dan agama” bukankecantikan, ketinggian keturunan dan hartanya, sebagaimana disabdakan Nabi SAW.
   Artinya : janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan karena jecantikannya, karena barangkali kecantikan mereka justru membinasakn mereka, janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan karena hartanya, karena barangkali hartanya malah membuat mereka menyimpang, tetapi kawinilah meeka agama (mereka), sungguh seorang hamba yang hitam lagi bodoh yang beragma adalah lebih mulia ( daripada yang cantik lagi pandai tapi tak beragma).[3]
c.         Sudah maklum. Bahwa pengampunan itu diberikan kepada seseorang sebelum ia dimasukkan ke surga, oleh karena itu lafal pengampunan itu lebih dahulu disebut daripada lafal surga.
d.        Dalam ayat ini terdapat Badi’ Muhassinat Lafdhiyah, yang disebut “Muqabalah” yaitu disebutnya dua makana atau lebih secara berhadap-hadapan, seperti disebut lafal ‘amat” ( hamba perempuan ) berhadapan dengan lafal “abd” (hamba lai-laki), lafal “mukminah” berhadapan dengan lafal “musyrikah”dan lafal “jannah”  berhadapn dengan lafal “naraka”. Ini merupakan segi kebagusan dan kelembutan susunan kalimat yang menjadikan kalimat bertambahelok dan indah.
2.2.Kandungan Hukum          
1.        Hukum mengawini perempuan Ahli Kitab             
Firman Allah “dan janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah sehingga mereka beriman” itu menunjukan haramnya mengawini perempuan-perempuan Majusi dan penyembah berhala.
Adapun perempuan-perempuan Ahli Kitab ( Yahudio dan Nasrani ), maka boleh dinikah, sebab Allah berfirman “ makanan ( sembelihan ) Ahli Kitab itu hala bagimu dan makanan  kamu halal  ( ula ) bagi mereka.dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita dari kalangan orang-orang Ahli Kitab” ( QS. 5:5 ).begitu juga pendapat Jumhur dan termasuk didalamnya Ulama’ mazdhab empat.
Ibnu Umar r.a. berpendapat haram mengawini perempuan-perempuan  Ahli Kitab, dan kalau ditnya tentang laki-laki ( Musim ) yang mengawini seorang perempuan Nasrani dan Yahudi, Ia menjawab : Allah mengharamkan perempuan-perempuan musyrikah ( dikawini ) orang-orang Islam dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang perempuan yang berkata : Isa adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia Hamba Allah.[4]  Dan Syi’ah Imamiyah dan sebagian Zaidiyah juga berpndapat demikian dan mereka mengatakan ayat 5 al-Maidah tersebut dinasakh oleh ayat ini ( QS. 2:221 ) dalam bentuk nakkhul khash bil ‘am ( dalil yang umum dinaskh dalil yang khusus).
A.  Alasan Jumhur
a.       Jumhur berpendapat, bahwa lafal “musyrikah” tidak mencakup Ahli Kitab, karena Allah berfiman “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaiakn”( QS. 2: 1056), disini Allah mengathofkan ( menghubungkan ) lafal “musyrikin” kepada lafal “ahli kitab”,  sedang ‘ahtaf berfungsi menghubungkan antar dua kata atau dua kalimat yang berlainan, maka secara zhahiriyah, lafal “ musyrrikat ) tidak dapat mencakup “ kitabiyyah” (perempuan- perempuan Ahli Kitab ).
b.      Dan mereka berdalilh dengan adanya riwayat dari Ulama’ salaf yang membolahkan mengawini perempuan-perempuan Ahli Kitab. Qatadah berkata dalam menafsirkan ayat tersebut, bahwa yang dimaksud “al-musyrikat”  ialah “musyrikatul kitab” ( perempuan-perempuan musyrikat Arab), yang tidak mempunyai kitab ( Samawi )[5]
Dari Hammad, Ia pernah berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibrahim tentang mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani, Ia menjawab : boleh saja. Lalu aku bertanya (lagi)  : tidakah Allah berfirman “ janganlah kamu mengawini perempuan musyrikah ?” Kemudian ia menjawab : Itu ( yang dimaksud ) perempuan-perempuan Majusi dan penyembah berhala.[6]
c.       Dan mereka juga beralasan, bahwa ayat dalam surat al-Baqarah tersebut tidak di nasakh ayat dalam surat al-Maidah itu, karena, karena al-Baqarah adalah permulaan ayat-ayat yang turun di Madinah, sedankan al-Maidah ayat-ayat terakhir yang turun disana, pada hal menurut qa’idahnya, yang akhir itulah yang menasakh (ayat ) yang lebih dahulu turunya dan bukan sebaliknya. 
d.      Ada riwayat, bahwa Hudzaifah pernah mengawini seorang perempuan Yahudi, kemudian Umar berkirim surat kepdanya yang ( isinya ) menyuruh agar Huzdaifah melepaskanya. Lalu Huzdaifah membalas surat Umar tesebut ( dan mengatakan) : Apakah engkau mengira bahwa mengawini dia itu haram lalu aku engkau suruh melepaskanya ? Umar menjawab : aku tidak menganggap haram, tetapi aku khawatir engkau mengawini perempuan pelacur dari kalangan mereka.[7]
Ini menunjukan bahwa apa yang dikatakan Umar itu sifatnyanya hanya hati-hati dan khawatir, tidak berarti ia beranggapan bahwa mengawini perempuan Ahli Kitab itu haram.
e.       Juga belasan dengan hadist yang diriwayatkan  Abdurrahman bin Auf r.a. dari Rosulullah bahwa ia besabda tentang orang Majusi.
Artinya : perlakukanlah mereka itu sebagaimana ( kamu memperlakukan ) Ahli Kitab, hanya ( yang tidak boleh ) mengawini perempuan-perempuan mereka dan makan sembelihan-sembelihan mereka.’  [8]   
Maka kalau seandainya mengawini perempuan-perempuan Ahli Kitab itu  tidak boleh, tentu ucapan Nabi ini tidak ada artinya.
2.      Siapakah laki-laki musyrik yang haram dikawinkan dengan perempuan-perempuan Mukminah itu ?   
     Firman Allah  dan janganlah kamu mengawinkan laki-laki musyrik dengan perempuan-perempuan mukminah sehingga mereka beriman” itu, menunjukkan haramnya mengawinkan lai-laki musyrik dengan perempuan mukminah, sedang yang dimaksud “ laki-laki musyrik” disini, ialah semua orang kafir, pemeluk agama non Islam, maka mencakupi penyambah berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan orang murtad dari islam, maka semuanya itu haram dikawinkan dengan perempuan muslimah, karena Isalam itu tinggi tidak dapat diatasi, maka laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Yahudi atau Nasrani sedang laki-laki mereka tidak boleh mengawini perempuan Muslimah, dan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung telah menjelaskan dalam firman-Nya “Mereka itu mengajak ke nerka” ( QS. 2:221 ) yakni mengajak kepada kekufuran yang akan menjadikan sebab masuk ke neraka, karena toh seorang laki-laki memiliki kekuasaan dan wewenang atas perempuan ( istrinya ), maka dikhawatirkan ia akan memaksa istrinya yang Muslimah itu kepada kekufuran sehingga akan meninggalkan agamanya dan anak-anak mereka akan mengikuti agama ayahnya. Kalau si ayah Yahudi atau Nasrani tentu ia akan mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka sesuai agama yadipeluknya sehingga menjadilah anak-anak mereka sebagai orang kafir ahli neraka.
     Dan dari sisi lain, bahwa sesungguhnya seseorang laki-laki muslim tetap menghormati dan mengagungkan Nabi Musa dan Isa a.s. serta mempercayai kerasullan mereka dan mempercayai kitab Taurat dan Injil sebagai kitab –kitab yang diturunkan Allah SWT ( sebelum diubah-ubah dan dikotori oleh tangan-tangan pemalsuan-pemalsunya), dan tentu saja si laki-laki Muslim yang beristrikan wanita Yahudi dan Nasrani tidak akan I’tiqad-I’tqadnya tersebut  menganggu perasaan keimana istrinyayang Yahudi atau Nasrani itu. Hal itu berbeda sekali situasinya kalau laki-lakinya Yahudi atu Nasrani sedang istrinya perempuan Muslimah, dimana sang suami tidak mempercayai kitab suci al-Qur’an dan tidak mempercayai kerasullan Muhammad SAW, maka hal itu tentu akan menganggu perasan istrinya yang perempuan Muslimah itu serta secara  tidak langsung merupakan penghinaan atas keimanannya kepada agamanya.
     Syekh ash-Shabuni pernah ditanya  seorang mahasiswa non muslim, yang pada waktu itu sedan menyampaikan kuliah agama di kota Aleppo : Mengapa laki0laki Muslim ( boleh ) mengawini perempuan Nasrani sedangkan laki-laki Nasrani tidak beleh mengawini perempuan muslimah ? beliau menjawab : Kami, kaum muslimmengimani Nabimu, Isa dan kitabmu,Injil, maka jika akmu mengimani Nabi kami dan Kitab Kami, tentu kami akan mengaeinkan kamu dengan putri-putri kami.









BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a.     Bahwa haram mengawini perempuan musyrikah penyembah berhala yang tidak memiliki kiktab samawi.
b.    Bahwa haram mengawinkan lak-laki kafir dengan perempuan-perempuan Muslimah
c.     Bahwa yang mebedakan diantara manusia dalam penilaan Allah adalah amalnya yang saleh, maka seseorang perempuan hamba Mukminah adalah lebih utma daripada perempuan merdeka musyrikah.
d.    Bahwa boleh laki-laki Muslim mengawini perempuan Ahli Kitab ( Yahudi atau Nasrani ) apabilah tidak ada kekhawatiran membahayakan keimananya dan keimanan anak-anaknya kelak.
e.     Bahwa laki-lki musyrik berusah dengan susah paya untuk menari perempuan-perempuan Mukminah menjadi kufur kepada Allah, maka tidak patut mempertemukan antara keduanya (dalam ikatan perkawinan ).  


       

        



[1] Ruhul Ma’ani 2:117 dan Fat-hul Qadir 1:244
[2] HR. as-Suda dari Ibnu Abbas r,a
[3] Tafsir Abi Su’ud 1 : 169
[4] HR> Bukhori dan Nafi’ dari Ibnu Umar
[5] HR. Ibnu Humaidi
[6] Tafsir Ruhul Ma’ani 2: 118
[7] Ath-Thabari 2: 378 dan al-Qurthubi 3 : 68
[8] Diriwayatkan dalm kita-kitab Shahih ( tafsir Fakhurrazi 6:61 )