PEMBAHASAN
2.1.Telaah Ayat
Yang Berhubungan Dengan Nikah Musyrikah
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولاءمة مؤمنة خير من مشركة ولو ءاعجبتكم
ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولوءاعجبكم ءاولئك يدعون
ءالى النار والله يدعو ءالى الجنة والمغفرة باءذنه ويبين ءاياته للناس لعلهم
يتذكرون(البقرة :221 )
Artinya: Dan janganlah
kamu mengawini wanita-wanita musyrikah, sehingga beriman.sesungguhnya hamba
wanita yang mukminat lebih baik daripada wanita musyrikah, meskipun mereka
menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan ( wanita-wanita mukminah) dengan laki-laki musyrik
sehingga mereka beriman. Sesungguhnya hamba yang mukmin lebih baik daripada
orang musyrik walupun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke nerak, sedangkan
Allah mengajakkesurga dan keampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya ( hukum-hukum-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.( QS. Al-Baqorah/2 : 221)
A.
Sebabun Nuzul
a.
Diriwayatkan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Murtsid bin Abi
Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke Madinah,
sedang ia di masa Jahiliyah, memiliki hubungan dengan seorang perempuanbernama
‘Anaq, lalu wanita itu mengunjungi Murtsid dan bertanya : tidakkah engkau masih
kosong ? Murtsid menjawab : sayang, Isalam telah menghaliangi diantara kita.
Lalu wanita itu bertanya lagi : Tidakkah engkau bermaksud mengawini aku ? Ia
menjawab : Benar, tapi aku akn menghadap Rasullah SAW. Untuk mintak izin
kepadanya, mak turunlah ayat ini.[1]
b.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Abdullah bin Rawahah, di mana ia pernah mempunya hambah perempuan hitam,
dan keika ia marak kepadanya, maka hamba itu ia tempelang. Kemudian ia merasa
tidak enak lalu datang menghadap Rasullah SAW. Dan menyampaikan kepadanya apa
yang ia alami dengan wanita tadi. Lalu Nabi SAW. Bertanya kepadanya :
bagaimankah ( ihwal ) wanita itu, hai Abdullah ? Ia menjawab : dia itu
berpuasa, sholat, memperbagus wudhu’nya, dan mengucapkan syahadad “ asyhadu
allal ilaaha illaah wa asyhadu anna Muhammadan rrosulullah”. Kemudian Nabi SAW. Bersabda : Hai Abdullah, dia adlah mukminah. Maka
Abdullah berkata : Demi DZat yang mengutusmu dengan benar, aku akan
memerdekakannya, lalu mengawininya. Lalu ia pun mengawininya. Maka orang-orang
lantas memperolak : Abdullah mengawini hamba, sedang mereka senag mengawini
perempuan-perempuan musyrikah karna menyukai ketinggian keturunan mereka, lalu
turunlah ayat ini.[2]
B.
Tafsirnya
a.
Yang dimaksud dengan “ nikah
“ dalam ayat ini ialah “mengawini” berdasrkan ijma’ Ulama’, yakni “janganlah
kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah”.
Menurut al-Karkhi, yang dimaksud ialah “mengawini” bukan
menyetubuhi, sehingga dikatakan ( kepadanya sebagai bantahan) : Bahwa memang
tidak ada dalam al-Qur’an lafald “wathi” ( menyetubuhi) sebab al-Qur’an
mengunakan sindiran, dan ini diantara kehalusan
lafal-lafal al-Qur’an.
b.
Tentang firman Allah “lebih baik daripada perempuan musyriakah
meskipun menarik hatimu” itu, suatu isyarat halus, bahwa yang harus
siperhatikan dalam memilih jodoh ialah “akhlaq dan agama” bukankecantikan,
ketinggian keturunan dan hartanya, sebagaimana disabdakan Nabi SAW.
Artinya : janganlah
kamu mengawini perempuan-perempuan karena jecantikannya, karena barangkali
kecantikan mereka justru membinasakn mereka, janganlah kamu mengawini
perempuan-perempuan karena hartanya, karena barangkali hartanya malah membuat
mereka menyimpang, tetapi kawinilah meeka agama (mereka), sungguh seorang hamba
yang hitam lagi bodoh yang beragma adalah lebih mulia ( daripada yang cantik lagi
pandai tapi tak beragma).[3]
c.
Sudah maklum. Bahwa pengampunan itu diberikan kepada seseorang
sebelum ia dimasukkan ke surga, oleh karena itu lafal pengampunan itu lebih
dahulu disebut daripada lafal surga.
d.
Dalam ayat ini terdapat Badi’ Muhassinat Lafdhiyah, yang disebut “Muqabalah”
yaitu disebutnya dua makana atau lebih secara berhadap-hadapan, seperti disebut
lafal ‘amat” ( hamba perempuan ) berhadapan dengan lafal “abd” (hamba
lai-laki), lafal “mukminah” berhadapan dengan lafal “musyrikah”dan
lafal “jannah” berhadapn dengan
lafal “naraka”. Ini merupakan segi kebagusan dan kelembutan susunan
kalimat yang menjadikan kalimat bertambahelok dan indah.
2.2.Kandungan Hukum
1.
Hukum mengawini perempuan Ahli Kitab
Firman
Allah “dan janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah sehingga
mereka beriman” itu menunjukan haramnya mengawini perempuan-perempuan
Majusi dan penyembah berhala.
Adapun perempuan-perempuan Ahli Kitab ( Yahudio dan Nasrani ), maka
boleh dinikah, sebab Allah berfirman “ makanan ( sembelihan ) Ahli Kitab itu
hala bagimu dan makanan kamu halal ( ula ) bagi mereka.dan dihalalkan mengawini
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita dari kalangan
orang-orang Ahli Kitab” ( QS. 5:5 ).begitu juga pendapat Jumhur dan
termasuk didalamnya Ulama’ mazdhab empat.
Ibnu Umar r.a. berpendapat haram mengawini perempuan-perempuan Ahli Kitab, dan kalau ditnya tentang laki-laki
( Musim ) yang mengawini seorang perempuan Nasrani dan Yahudi, Ia menjawab :
Allah mengharamkan perempuan-perempuan musyrikah ( dikawini ) orang-orang Islam
dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang perempuan yang
berkata : Isa adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia Hamba Allah.[4] Dan Syi’ah Imamiyah dan sebagian Zaidiyah
juga berpndapat demikian dan mereka mengatakan ayat 5 al-Maidah tersebut
dinasakh oleh ayat ini ( QS. 2:221 ) dalam bentuk nakkhul khash bil ‘am ( dalil
yang umum dinaskh dalil yang khusus).
A. Alasan Jumhur
a.
Jumhur berpendapat, bahwa lafal “musyrikah” tidak mencakup
Ahli Kitab, karena Allah berfiman “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan
orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaiakn”( QS. 2:
1056), disini Allah mengathofkan ( menghubungkan ) lafal “musyrikin”
kepada lafal “ahli kitab”, sedang
‘ahtaf berfungsi menghubungkan antar dua kata atau dua kalimat yang berlainan,
maka secara zhahiriyah, lafal “ musyrrikat ) tidak dapat mencakup “
kitabiyyah” (perempuan- perempuan Ahli Kitab ).
b.
Dan mereka berdalilh dengan adanya riwayat dari Ulama’ salaf yang
membolahkan mengawini perempuan-perempuan Ahli Kitab. Qatadah berkata dalam
menafsirkan ayat tersebut, bahwa yang dimaksud “al-musyrikat” ialah “musyrikatul kitab” (
perempuan-perempuan musyrikat Arab), yang tidak mempunyai kitab ( Samawi )[5]
Dari Hammad, Ia pernah berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibrahim
tentang mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani, Ia menjawab : boleh saja. Lalu
aku bertanya (lagi) : tidakah Allah
berfirman “ janganlah kamu mengawini perempuan musyrikah ?” Kemudian ia menjawab
: Itu ( yang dimaksud ) perempuan-perempuan Majusi dan penyembah berhala.[6]
c.
Dan mereka juga beralasan, bahwa ayat dalam surat al-Baqarah
tersebut tidak di nasakh ayat dalam surat al-Maidah itu, karena, karena al-Baqarah
adalah permulaan ayat-ayat yang turun di Madinah, sedankan al-Maidah ayat-ayat
terakhir yang turun disana, pada hal menurut qa’idahnya, yang akhir itulah yang
menasakh (ayat ) yang lebih dahulu turunya dan bukan sebaliknya.
d.
Ada riwayat, bahwa Hudzaifah pernah mengawini seorang perempuan
Yahudi, kemudian Umar berkirim surat kepdanya yang ( isinya ) menyuruh agar
Huzdaifah melepaskanya. Lalu Huzdaifah membalas surat Umar tesebut ( dan
mengatakan) : Apakah engkau mengira bahwa mengawini dia itu haram lalu aku
engkau suruh melepaskanya ? Umar menjawab : aku tidak menganggap haram, tetapi
aku khawatir engkau mengawini perempuan pelacur dari kalangan mereka.[7]
Ini menunjukan bahwa apa yang dikatakan Umar itu sifatnyanya hanya
hati-hati dan khawatir, tidak berarti ia beranggapan bahwa mengawini perempuan
Ahli Kitab itu haram.
e.
Juga belasan dengan hadist yang diriwayatkan Abdurrahman bin Auf r.a. dari Rosulullah
bahwa ia besabda tentang orang Majusi.
Artinya : “perlakukanlah mereka itu sebagaimana ( kamu memperlakukan ) Ahli
Kitab, hanya ( yang tidak boleh ) mengawini perempuan-perempuan mereka dan
makan sembelihan-sembelihan mereka.’” [8]
Maka kalau seandainya mengawini perempuan-perempuan Ahli Kitab
itu tidak boleh, tentu ucapan Nabi ini
tidak ada artinya.
2.
Siapakah laki-laki musyrik yang haram dikawinkan dengan
perempuan-perempuan Mukminah itu ?
Firman Allah “dan janganlah kamu mengawinkan laki-laki
musyrik dengan perempuan-perempuan mukminah sehingga mereka beriman” itu,
menunjukkan haramnya mengawinkan lai-laki musyrik dengan perempuan mukminah,
sedang yang dimaksud “ laki-laki musyrik” disini, ialah semua orang
kafir, pemeluk agama non Islam, maka mencakupi penyambah berhala, Majusi,
Yahudi, Nasrani dan orang murtad dari islam, maka semuanya itu haram dikawinkan
dengan perempuan muslimah, karena Isalam itu tinggi tidak dapat diatasi, maka
laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Yahudi atau Nasrani sedang laki-laki
mereka tidak boleh mengawini perempuan Muslimah, dan Allah yang Mahatinggi lagi
Mahaagung telah menjelaskan dalam firman-Nya “Mereka itu mengajak ke nerka” (
QS. 2:221 ) yakni mengajak kepada kekufuran yang akan menjadikan sebab masuk ke
neraka, karena toh seorang laki-laki memiliki kekuasaan dan wewenang atas
perempuan ( istrinya ), maka dikhawatirkan ia akan memaksa istrinya yang
Muslimah itu kepada kekufuran sehingga akan meninggalkan agamanya dan anak-anak
mereka akan mengikuti agama ayahnya. Kalau si ayah Yahudi atau Nasrani tentu ia
akan mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka sesuai agama yadipeluknya
sehingga menjadilah anak-anak mereka sebagai orang kafir ahli neraka.
Dan dari sisi lain, bahwa
sesungguhnya seseorang laki-laki muslim tetap menghormati dan mengagungkan Nabi
Musa dan Isa a.s. serta mempercayai kerasullan mereka dan mempercayai kitab
Taurat dan Injil sebagai kitab –kitab yang diturunkan Allah SWT ( sebelum
diubah-ubah dan dikotori oleh tangan-tangan pemalsuan-pemalsunya), dan
tentu saja si laki-laki Muslim yang beristrikan wanita Yahudi dan Nasrani tidak
akan I’tiqad-I’tqadnya tersebut menganggu perasaan keimana istrinyayang Yahudi
atau Nasrani itu. Hal itu berbeda sekali situasinya kalau laki-lakinya Yahudi
atu Nasrani sedang istrinya perempuan Muslimah, dimana sang suami tidak
mempercayai kitab suci al-Qur’an dan tidak mempercayai kerasullan Muhammad SAW,
maka hal itu tentu akan menganggu perasan istrinya yang perempuan Muslimah itu
serta secara tidak langsung merupakan
penghinaan atas keimanannya kepada agamanya.
Syekh ash-Shabuni pernah
ditanya seorang mahasiswa non muslim,
yang pada waktu itu sedan menyampaikan kuliah agama di kota Aleppo : Mengapa
laki0laki Muslim ( boleh ) mengawini perempuan Nasrani sedangkan laki-laki
Nasrani tidak beleh mengawini perempuan muslimah ? beliau menjawab : Kami, kaum
muslimmengimani Nabimu, Isa dan kitabmu,Injil, maka jika akmu mengimani Nabi
kami dan Kitab Kami, tentu kami akan mengaeinkan kamu dengan putri-putri kami.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a.
Bahwa haram mengawini perempuan musyrikah penyembah berhala yang
tidak memiliki kiktab samawi.
b.
Bahwa haram mengawinkan lak-laki kafir dengan perempuan-perempuan
Muslimah
c.
Bahwa yang mebedakan diantara manusia dalam penilaan Allah adalah
amalnya yang saleh, maka seseorang perempuan hamba Mukminah adalah lebih utma
daripada perempuan merdeka musyrikah.
d.
Bahwa boleh laki-laki Muslim mengawini perempuan Ahli Kitab (
Yahudi atau Nasrani ) apabilah tidak ada kekhawatiran membahayakan keimananya
dan keimanan anak-anaknya kelak.
e.
Bahwa laki-lki musyrik berusah dengan susah paya untuk menari
perempuan-perempuan Mukminah menjadi kufur kepada Allah, maka tidak patut
mempertemukan antara keduanya (dalam ikatan perkawinan ).