Senin, 30 Desember 2013

OPPOSISI ILMU MANTEQ


BAB I


PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Telah kita ketahui, logika mempelajari cara bernalar yang benar dan kita tidak bisa melaksakanya tanpa memiliki dahulu pengetahuan yang menjadi promisnya. Bila kita bandingkan dengan sebuah bangunan, premis itu adalah batu, pasir dan semenya, sedangkan proses penalaran itu dapat kita samakan dengan bagan atau arsitekturnya, dengan semen, batu dan pasir serta arsitektur yang baik akan dihasilkan bangunan yang indah dan kokoh, dengan premis yang dapat dipertanggungjawabkan dan melalui proses penalaran yang sah akan dihasilkan kesimpulan yang benar.
Premis-premis dimana logika bergelut berupa pernyataan berupa bentuk kata-kata meskipun dalam penyelidikan lebih lanjut dijumpai pernyataan berupa rumus-rumus.
Kini kita telah memasuki permasalahan kedua dalam logika yaitu btentang relasi antara proposisi. Kita telah membahas struktur proposisi ketika kita membahas kata dan berbsagai jenisnya, dan ketika kita menyelidiki proposisi, unsur-unsurnya dan berbagai macamnya.
Apabila kita menghadapi dua pernyataan yang berlawanan keduanya menginformasikan permasalahan yang sama, begaimanakah menentukan kebenaran dua pernyataan tadi ? benar keduanya, salah keduanya atau satu salah dan satu benar?
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Opposisi?
2.    Apa macam-macam opposisi?
3.    Bagaimana hubungan antar proposisi?
BAB II


PEMBAHASAN
A.    Pengertian OPPOSISI (Pertentangan)
Tanaqud (opposisi) ialah pertentangan yang terdapat pada dua proposisi yang mempunyai subyek dan predikat yang sama tetapi beda dalam kuantitas atau kualitasnya, sehingga dapat menyebabkan yang lain benar dan yang lain salah. Contoh:
a.      Semua manusia hewan
Sebagian manusia tidak hewan
b.      Santri pondok pesantren berbudi luhur
Santri pondok pesantren tidak berbudi luhur

Dalam kedua contoh a dan b diatas merupakan suatu perlawanan dalam dua proposisi. Untuk mengambil kesimpulan dari dua proposisi yang berbeda, tentu harus terpatokkan pada ilmu logika. Dalam ilmu logika disebutkan: tak mungkin keterangan keduanya benar dan tak mungkin keduanya salah, apabila yang satu benar maka yang lain pasti salah, dengan demikian jalan selanjutnya dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu satunya mesti benar dan yang benar adalah semua manusia adalah hewan, setelah diteliti kebenaranya.[1]
B.     Pembagian OPPOSISI
OPPOSISI dalam logika itu bentuknya ada 4 (empat0, yaitu:[2]
1.      Sub kontraris
2.      Kontraris
3.      Sub alternasi
4.      Kontradiktoris
Sedangkan dalam ilmu logika ada 6 dengan ditambah:[3]
5.      Hubungan independen (tak bertautan)
6.      Hubungan ekuivalen (persamaan)
Keempat bentuk pertentangan dalam logika biasa digambarkan dengan bujur sangkar dan garis silang berikut:
                                                     A         : Universal Positif       Semua S adalah P
                                                     I           : Partikular Positif       Sebagian S adalah P
                                                     E          : Universal Negatif      Semua S bukan P
                                                     O         : Partikular Negatif     Sebagian S bukan P


1.      Opposisi subkontraris
Hubungan antara dua proposisi/individual (   qodhiyah syakhshiyah) yang mempunyai subyek dan predikat yang sama tetapi beda kualitasnya.
Jadi apabila proposisi (qodhiyah) itu berupa individual (      syakhshiyah), maka tanaqudh-nya hanya dengan mengubah kualitasnya (mujabah/salibah) jadi adalah hubungan antara proposisi I dan O.
Contoh:          I           : Sebagian pedagang kikir
                       O         : Sebagian pedagang tidak kikir
                       O         : Sebagian mahasiswa tidak malas
                       I           : sebagian mahasiswa malas

2.      Opposisi Kontraris
Hubungan yang terdapat antara dua proposisi universal (qadhiyah kulliyah) yang mempunyai subyek dan predikat yang sama tetapi beda kualitasnya.
Jadi, apabila proposisi (qodhiyah) itu berupa general (muhmalah), maka tanaqudhnya hanya dengan merubah kualitasnya. Jadi adalah hubungan A dan E.
Contoh:          A         : Semua politikus curang
                       E          : Semua politikus tidak curang
                       E          : Semua harimau tidak pemarah
                       A         : Semua harimau pemarah

3.      Opposisi Subalternasi
Hubungan yang terdapat antara proposisi universal (qadhiyah kulliyah) dan proposisi particular (           qadhiyah juziyyah) yang sama kualitasnya.
Jadi apabila proposisi itu berupa qodhiyah musyawarah (     juziyyah/kulliyah), maka tanaqudhnya cukup mengubah Sur-nya (kualitasnya). Jadi ialah hubungan antara proposisi A dan I serta E dan O.
Contoh:          A         : semua mahasiswa komplek c rajin
                       I           : sebagian mahasiswa komplek c rajin
                       E          : semua patriot tidak malas
                       O         : sebagian patriot tidak malas

4.      Opposisi Kontradiktaris
Yaitu pertentangan antara dua proposisi yang mempunyai predikat yang sama, tetapi berbeda kualitas dan kuantitasnya. Perbedaan kualitas adalah pertentangan antara sifat Afirmasi (mujabah) dan Negasi (salibah). Sedangkan perbedaan kuantitas adadlah pertentangan antara jumlah yaitu Universal (kulliyah) dan particular (juziyyah).
Jadi apabila proposisi itu berupa proposisi Universal Afirmatif (qadhiyah kulliyah salibah ), maka tanaqudhnya mesti berupa proposisi particular negative dan apabila proposisi itu berupa proposisi Universal Negatif, maka tanaqudhnya mesti berupa proposisi particular afirmasi(qadhiyah juziyyah salibah).
Jadi hubungan antara proposisi A dan O serta I dan E. Opposisi kontradiktari adalah bentuk opposisi yang sempurna dalam logoka.
Contoh:          A         : semua yang sukses rajin
                       O         : sebagian yang sukses tidak rajin
                       E          : semua yang soleh tidak pendengki
                       I           : sebagian yang soleh pendengki

5.      Hubungan independen (Tak bertautan)
Yaitu dua pernyataan mempunyai hubungan independen manakala keduanya menampilkan permasalahan yang sama sekali terpisah, serupa pernyataan berikut:
           Kuda Sumbawa kuat-kuat
           Pohon asam berakar tunggang
                       Semua kelinci adalah lemah
                       Semua kelinci pemakan daun-daunan
           Bahasa arab adalah sukar
           Logika adalah sukar
Hubungan independen mempunyai tabi’at: benar salahnya pernyataan pertama tidak dapat dipakai menentukan benar salahnya pernyataan yang lain, kebenaran pernyataan kuda Sumbawa kuat-kuat tidak dapat dipakai menentukan benar salahnya pernyataan pohon asam berakar tunggang, begitu pula sebaliknya

6.      Hubungan ekuivalen (persamaan)
Yaitu dua pernyataan mempunyai hubungan ekuivalen mana kala keduanya mempunyai makna yang sama, seperti:
           Semua besi adalah logam
           Sebagian logam adalah besi
                       Sebagian cendekiawan menjadi mentri
                       Sebagian cendekiawan bukan tak menjadi mentri
Hubungan ekuivalen mempunyai tabiat: benar salahnya pernyataan yang satu menentukan benar salahnya pernyataan yang lain. Dengan perkataan lain, bila pernyataan yang satu benar, maka benar pula pernyataan yang lain, bila pernyataan yang satu salah maka yang lain juga mengikutinya.
BAB III


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tanaqud (opposisi) ialah pertentangan yang terdapat pada dua proposisi yang mempunyai subyek dan predikat yang sama tetapi beda dalam kuantitas atau kualitasnya, sehingga dapat menyebabkan yang lain benar dan yang lain salah.
OPPOSISI dalam logika itu bentuknya ada 4 (empat0, yaitu:
1.      Sub kontraris
2.      Kontraris
3.      Sub alternasi
4.      Kontradiktoris
Sedangkan dalam ilmu logika ada 6 dengan ditambah:
5.      Hubungan independen (tak bertautan)
6.      Hubungan ekuivalen (persamaan)
DAFTAR PUSTAKA
H.M.Fadhil Said An-Nadwi,2005, Pengantar Ilmu Mantiq, Al-HIDAYAH, Surabaya.
Drs. H. Mundiri, 2011, Logika, Raja Wali Pres. Jakarta.



[1] H.M.Fadhil Said An-Nadwi,2005, Pengantar Ilmu Mantiq, Al-HIDAYAH, Surabaya.
[2] Ibid
[3] Drs. H. Mundiri, 2011, Logika, Raja Wali Pres. Jakarta.

Surat Al-‘Adiyat (TAFSIR DAN BLAGHONYA )


BAB I


PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat indah dan sangat sarat akan makna itu tidaklah mudah. Apalagi Al-Qur’an merupakan mukjizat terindah dan teragung yang diberikan kepada nabi besar kita Muhammad SAW, kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat islam yang menuntun kita untuk meraih kebahagiaan hakiki yaitu menggapai keridhoannya semata. Salah satu sarana dari sekian banyak disiplin ilmu yang dapat dipergunakan untuk mencapai maksud itu adalah balaghoh, karena balaghoh merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara macam-macam uslub (ungkapan).
Dengan demikian kami sebagai pemakalah akan menjelaskan makna yang terkandung dan penjelasan balaghoh pada surat Al-‘Adiyat .
1.2              Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas seputar :
1.    Bagaimana shorhul mufrodat dari surat Al-‘Adiyat ?
2.    Bagaimana shorhul makna dari surat Al-‘Adiyat ?
3.    Bagaimana shorhul Balaghoh dari surat Al-‘Adiyat ?
1.3              Tujuan Makalah
Dalam pembuatan makalah ini, penulis bertujuan untuk membantu para pembaca khususnya para mahasiswa agar dapat mengetahui dan memahami tentang Surat Al-‘Adiyat.
1.4              Manfaat Makalah
Dalam pembuatan makalah ini, semoga kita dapat mengambil banyak manfaat diantaranya kita dapat mengetahui dan memahami tentang Surat Al-‘Adiyat.
BAB II


PEMBAHASAN
بسم الله الرحمن الرحيم
والعديت ضبحا (1) فا لموريت قدحا (2) فا لمغيرت صبحا (3) فاثرن به نقعا (4) فوسطن به جمعا (5) إن الإنسان لربه لكنود (6) وإنه على ذلك لشهيد (7) وإنه لحب الخير لشديد (8) افلا يعلم إذا بعثر ما في القبور (9) و حصل ما في الصدور (10) إن ربهم بهم يومئذ لخبير (11)
“ (1) Demi yang berlari kencang terengah-engah, (2) dan yang mencetuskan api, (3) dan yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,(4) maka ia  menerbangkan debu, (5)dan menyerbu ke tengah-tengah kelompok,(6) Sesungguhnya manusia, terhadap Tuhannya sangat ingkar,(7) dan sesungguhnya dia atas hal itu menjadi saksi, (8) dan sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir. (9) Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibongkar apa yang ada di dalam kubur, (10) dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada?(11) Sesungguhnya Tuhan mereka terhadap mereka pada hari itu Maha Mengetahui.”
2.1 Shorhul Mufrodat
Ø Ayat pertama sampai kelima
“(1) Demi yang berlari kencang terengah-engah, (2) dan yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku kakinya),(3) dan kuda yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi,(4) sehingga menerbangkan debu, (5) lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,”
Kata العا ديات )  ( Al-‘Adiyat terambil dari kata (عدا - يعدو) ‘ada - ya’du yang berarti jauh atau melampaui batas. Dari akar kata itu terbentuk aneka bentuk dengan makna yang beragam, namun kesemuanya mengandung makna jauh. Misalnya (عدو)aduw / musuh karena yang bermusuhan berjauhan hati, pikiran, dan atau fisik; (العدو) al-‘aduw / berlari dengan cepat karena yang bersangkutan dengan kecepatannya dapat menempuh jarak yang jauh dalam waktu yang relatif lebih singkat dibanding langkah-langkah biasa. Demikian juga kata (عدوان)udwan / agresi karena yang melakukannya telah berada jauh dari kebenaran dan keadilan.
Kata العا ديات )  ( Al-‘Adiyat secara harfiah berarti yang berlari kencang. Kata ini tidak menjelaskan apa atau siapa yang melakukannya. Ada yang berpendapat kuda dan menurut sementara penganut pendapat ini yang dimaksud adalah kuda yang digunakan kaum muslimin dalam peperangan Badr, yaitu peperangan pertama dalam sejarah islam (624 M). Ada lagi yang memahami al-‘adiyat adalah unta. Dalam hal ini, ada yang menyatakan bahwa unta dimaksud adalah yang membawa jama’ah haji dari Arafah ke Muzdalifah. Pendapat kedua ini berdasar sebuah riwayat yang disandarkan kepada Ibn ‘Abbas ra. yang menurut riwayat itu menguraikan pendapat Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra.
Memahami al-‘adiyat yang berbentuk jamak (lebih dari dua) dalam arti kuda yang digunakan dalam Perang Badr tidak sejalan dengan informasi sejarah bahwa ketika itu kaum muslimin hanya menggunakan dua ekor kuda. Tetapi, di sisi lain, kata al-muriyat tidak mendukung memahaminya dalam arti unta-unta apalagi jika dikatakan yang larinya mengakibatkan debu-debu beterbangan.
Kata (ضبحا ) dhabhan diartikan sebagai “suara yang terdengar dari mulut kuda pada saat ia berlari kencang” dan juga diartikan sebagai “suara kelinci, kancil, dan anak panah ketika lepas dari busurnya.”
Kata ( الموريت) al-muriyat menunjuk kepada pelaku yang menyalakan api. Kata ini diambil dari kata ( وريا - ورى ) wara – waryan atau ( يري - وري ) wariya – yari, yakni menyalakan api. Sedang, kata (قدحا ) qadhan terambil dari kata (قدح ) qadaha yang pada mulanya berarti mengeluarkan atau memercikkan baik air dari kolam, kuah dari mangkuk, atau api dari batu, dengan catatan bahwa yang keluar itu sedikit. Karena itu, al-muriyat qadhan dipahami dengan arti yang berlari kencang sehingga menimbulkan percikan-percikan api yang terjadi akibat benturan kaki yang melaju di tengah batu-batuan sepanjang jalan.
Huruf ( ف) fa yang mendahului kata al-muriyat menunjukkan bahwa percikan api tersebut adalah akibat dari lari yang cepat itu atau bahwa itu terjadi sesaat setelah terjadinya lari yang cepat itu. Unta, walaupun dapat menyaingi kuda dalam kecepatan larinya, binatang ini tidak menimbulkan percikan api ketika sedang berlari betapapun kencang larinya. Kalau demikian, tidaklah wajar kata al-adiyat dipahami dengan unta-unta. Sebagaimana tidak tepat menafsirkan al-muriyat dengan “para jamaah haji yang berkemah sambil menyalakan api di Arafah.”
Kata (ا لمغيرت) al-mughirat adalah benntuk jamak dari kata (ا لمغير ) al-mughir. Ia terambil dari kata (أغار  ) aghara yang pada mulanya berarti bercepat-cepat melangkah. Tetapi, pada umumnya yang dimaksud adalah serangan mendadak dan cepat yang dilakukan dengan mengendarai kuda. Kuda di sini terlibat lagi, yakni bahwa kata aghara dan mughirat dari segi bahasa dapat dipahami bahwa pelakunya adalah kuda. Ini adalah penggunaan bahasa pada mulanya, walaupun dalam perkembangan lebih jauh kata tersebut telah diartikan sebagai serangan mendadak, siapa pun pelakunya. Serangan melalui pesawat udara pun dinamai ( غارة جوية ) gharah jawwiyyah.
Kata (صبحا ) shubhan \ waktu subuh menggambarkan dadakan serangan itu sehingga menjadi paniklah kelompok yang diserang itu. Al-Qur’an secara umum menggunakan kata (صبح  ) shubh, (صباح  ) shabah, dan (مصبحين  ) mushbihin yang kesemuanya terambil dari akar kata yang sama, dalam arti dadakan atau ancaman.
Kata ( جمعا ) jam’an digunakan oleh al-Qur’an dalam arti “Kelompok yang besar dan yang selalu menduga akan mampu meraih kemenangan,”
Ø Ayat keenam sampai ketujuh
(6) Sesungguhnya manusia, terhadap Tuhannya sangat ingkar,(7) dan sesungguhnya dia atas hal itu menjadi saksi,
Kata (كنود) kanud adalah bentuk superlatif dari kata (كند  ) kanada. Kata ini pada mulanya berarti “tanah yang tidak ditumbuhi sesuatu atau dengan kata lain tandus”. Dari sini, maknanya berkembang menjadi durhaka, kafir, kikir, dan tidak bersyukur. Bentuk superlatif itu mengisyarakat berapa besar kekufuran dan kekikiran yang bersangkutan sampai-sampai enggan memberi bantuan walaupun dalam hal-hal yang kecil sekalipun. Dalam konteks ini, Rasul bersabda : “Tahukah kalian, apa yang dimaksud dengan al-kanud?”. Para sahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi bersabda : “Al-Kanud adalah orang yang tidak mensyukuri nikmat, yang memukul hamba sahaya (termasuk pembantunya), yang menghalangi (bantuan dalam bentuk) memboncengkan seseorang di kendaraannya, serta yang makan sendirian.” (HR. Ath-Thabarani melalui Abu Umamah al-Bahili). Hadits ini walau nilainya lemah, namun contoh-contoh yang dikemukakan dapat dinilai tepat.
Ulama berbeda pendapat menyangkut siapa yang dimaksud dengan kata (إنه) innahu / sesungguhnya dia. Apakah Dia Allah ataukah dia manusia yang kufur dan kikir itu? Dengan memerhatikan susunan redaksi ayat-ayat  berikut yang kesemuanya berbicara tentang manusia yang kufur lagi kikir itu, demi menjaga keserasian makna dan susunan redaksi ayat-ayat sebelumnya, tentu saja lebih tepat memahami ayat tujuh ini pun menunjuk kepada manusia tersebut.
Kata (شهيد) syahid terambil dari kata (شهد)  syahida / menyaksikan. Kesaksian manusia tentang kekikirannya pasti akan terjadi di akhirat nanti, namun di dunia ini pun kesaksian itu dapat terlaksana. Ayat QS. Al-A’raf [7] :37 menjelaskan bahea manusia pada saat-saat menjelang kematiannya, bersaksi atas dirinya bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Kesaksian itu Sangat logis karena ketika itu setiap orang akan mengalami kesadaran penuh tentang kesalahan-kesalahannya, tentunya termasuk mereka yang enggan bersyukur (kikir) itu. Fir’aun sendiri, tokoh yang menjadi lambang kedurhakaan kepada Allah, menyadari kesalahan-kesalahannya dan menyatakan keimanannya sesaat sebelum nyawanya terpisah dengan tubuhnya.
Bisa juga kata syahid di atas adalah kesaksian manusia tentang kekikirannya dalam kehidupan dunia ini begitu pula dalam kesehariannya, yaitu dengan kesadarannya akan keburukab sifat kikir. Semua orang mengakui kekikiran adalah sifat tercela. Sebaliknya, kemurahan adalah sikap terpuji. Pengakkuan ini bersifat universal dan sangat manusiawi. Ia diakui walau oleh orang-orang kikir sekalipun. Karena itu, mereka enggan dinamai kikir. Nah, pada saat mereka enggan memberi bantuan padahal hati kecil mereka mengakui bahwa kekikiran adalah sifat atau sikap yang tidak terpuji, ketika itu ia telah mengakui bahwa dirinya bersifat kikir. Demikian tiga makna yang dapat dikandung oleh kata syahid pada ayat ke-7 ini.
Ø Ayat ke delapan
(8) dan sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir.
Perbedaan makna itu terlahir akibat perbedaan pemahaman menyangkut arti huruf lam pada kata (لحب  ) li hubbi. Ia dapat dipahami dalam arti disebabkan karena atau oleh karena, juga terhadap atau dalam hal.
Kata (الخير) al-khair biasa diartikan kebaikan. Tetapi, yang dimaksud di sini adalah harta benda. Demikian pendapat mayoritas ulama. Surat al-Baqarah [2] : 180 juga menggunakannya untuk makna itu. Hal ini, menurut sementara ulama, untuk memberi isyarat bahwa harta benda harus diperoleh dan digunakan untuk tujuan kebaikan. Dapat juga dikatakan bahwa ia dinamai demikian untuk memberi isyarat bahwa harta benda adalah sesuatuyang baik semakin banyak ia semakin baik. Yang menjadikan harta tidak baik adalah kecintaan yang berlebihan terhadapnya dan yang mengantar seseorang untuk bersifat kikir, atau menggunakannya bukan pada tempatnya.
Kata (شديد ) syadid terambil dari kata (شد  ) syadda yang diantara lain berarti menguatkan ikatan, baik bersifat material maupun non-material. Dalam kaitannya dengan al-khair yang diartikan dengan harta benda, mengikatnya, baik secara material maupun non-material berarti enggan mengeluarkannya atau, dengan kata lain, kikir. Karena sesuatu yang terikat berarti tidak terbuka, baik ia tangan maupun hati. Kalau kata terikat (terkunci) dikaitkan dengan li hubbi yang diartikan “dalam hal kecintaan”, keterkaitan dengan kecintaan menunjukkan kemantapan cinta tersebut. Kata (لشديد  ) la syadid diartikan sangat keras atau berlebih-lebihan. Kecintaan yang amat sangat dan berlebih-lebihan pada akhirnya mengantar kepada kekikiran. Kata (شديد  ) syadidi biasa digunakan al-Qur’an dalam konteks ancaman dan siksa-Nya di akhirat kelak atau perlindungan dari gangguan orang-orang yang berlaku aniaya. Hal ini berarti bahwa ayat yang ditafsirkan ini pada akhirnya mengandung ancaman dan kecaman bagi setiap orang yang terlalu mencintai harta benda.
Ø Ayat ke sembilan sampai ke sebelas
(9) Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibongkar apa yang ada di dalam kubur, (10) dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada?(11) Sesungguhnya Tuhan mereka terhadap mereka pada hari itu Maha Mengetahui.”
Kata ( بعثر ) bu’tsira pada asalnya berarti membolak-balik sesuatu. Kata ini memberi kesan adanya semacam kegelisahan dan ketergesa-gesaan, seperti keadaan seseorang yang membuka lemari ketika mencari sesuatu dengan tergesa-gesa. Keadaan serupa dalam bentuk yang lebih besar dan serius kelak akan terjadi di dalam kubur. Di sana, dibongkar dan di cari segala sesuatu disertai dengan ketergesa-gesaan membongkar serta kegelisahan siapa yang dibongkar isi hatinya.
Kata (حصل) hushshila biasa juga diartikan dengan memisahkan, mengemukakan, atau menghimpun, kata ini berasal dari kata (حوصل ) haushal dan (حوصلة  ) haushalah. Bila kata ini dinisbahkan kepada burung, yang dimaksud adalah “pencernaan”-nya. Kalau pada kolom adalah “bagian kolom yang paling dasar”. Tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata lain yang dibentuk oleh akar kata ini.
Kata (الصدور) ash-shudur adalah bentuk jamak dari kata (الصدر  ) ash-shadr yang biasa diterjemahkan dengan dada. Kata ini secara umum diartikan hati manusia dan atau gejolak serta detak-detiknya. Dengan demikian, dipahami bahwa kelak di hari Kemudian akan dibongkar dan dicari segala sesuatu yang terdapat dalam lubuk jiwa manusia, bahkan bawah-sadarnya pun akan diperiksa. Di hari Kemudian, semua terbongkar, terbuka, dan jelas. Detak-detik kalbu pun dapat diketahui, apalagi perbuatan-perbuatan yang mempunyai wujud  di alam nyata, walau tidak terlihat oleh orang lain. Sebagian ulama memahami kata (حصل) hushshila dalam arti dihimpun sehingga, menurut mereka, ayat ini menginformasikan bahwa segala amal perbuatan manusia akan dihimpun di dalam satu kitab, yakni kitab amalan.
Penggunaan kata (ربهم) Rabbahum yang berarti Tuhan Pemelihara dan Pendidik mereka kendati ayat ini dalam konteks ancaman mengisyaratkan bahwa segala yang dilakukan Tuhan tidak terlepas dari pendidikan dan pemeliharaan-Nya, walaupun hal tersebut dalam bentuk ancaman dan siksaan.
Kata (خبير) khabir terambil dari kata ( خبر ) khabar yang menurut asal penggunaan bahasa, berarti sumber air di pegunungan. Ia juga berarti pencarian untuk mencapai pengetahuan yang pasti tentang hakikat sesuatu. Sedangkan, dalam pemakaian sehari-hari, kata khabir diartikan sebagai tenaga ahli. Sementara itu, (إختبار  ) ikhtibar berarti “ujian”. Imam Ghazali menjelaskan bahwa kata ini, bila yang demaksud dengannya adalah Tuhan, iamengandung arti pengetahuan-Nya menyangkut hal-hal yang mendetail dan terperinci serta yang tersembunyi, pasti diketahui oleh-Nya.
Kata yauma’idzin / pada hari itu didahulukan, walau Allah telah mengetahui secara detail sejak kini bahkan sebelum terjadinya suatu aktivitas, agaknya disebabkan yang dimaksud dengan informasi tentang pengetahuan-Nya itu adalah balasan dan ganjaran-Nya; yang baru akan terjadi ketika itu. Bukankah balasan dan ganjaran itu berdasarkan pengetahuan-Nya? Di sisi lain, ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang lalai, yang tidak menyadari bahwa Allah mengetahui detak detik hatinya. Kini mereka belum menyadari bahwa Allah mengetahuinya. Kelak, ketika itu baru mereka sadar, dan untuk itulah maka ayat di atas menegaskan bahwa ketika itu mereka menyadari hal tersebut. Ini serupa dengan firman-Nya : (مالك يوم الدين  ) malik yaum ad-din / yang menguasai hari Pembalasan. Walaupun Allah menguasai hari duniawi, karena sebagian manusia ada yang menolak atau tidak mengakui secara jelas hal itu, baik dengan kata-kata atau sikapnya, kekuasaan yang secara tegas ditekankan dan dagarisbawahi adalah kekuasaan di hari Kemudian.
2.2 Shorhul Makna
v Ayat pertama sampai lima
“Demi yang berlari kencang terengah-engah, dan yang mencetuskan api, dan yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-tengah kelompok.”
Ayat-ayat ini dipahami dalam arti gambaran tentang dadakan kehadiran Kiamat. Seperti dadakan serangan tentara berkuda di tengah-tengah kelompok yang merasa dirinya kuat, tetapi ternyata mereka diporakpondakan. Permisalan yang dikemukakan ayat-ayat di atas boleh jadi tidak berkenan atau berkesan di hati sebagian orang yang hidup pada abad ke-20 ini. Abad ini adalah abad peluru kendali, senjata nuklir, dan perang bintang sehingga dapat saja kesan itu mengantar kepada pernyataan bahwa apa yang diungkapkan Al-Qur’an sudah ketinggalan zaman. Kita tidak dapat mengabaikan kesan tersebut, namun pada saat yang sama, kita harus menyadari bahwa seandainya ayat-ayat di atas menggambarkan mandadaknya Kiamat dengan gambaran yang dikenal atau dapat berkesan di hati generasi abad ke-20 ini, pasti gambaran tersebut tidak akandipahami oleh mereka yang hidup pada masa turunyya Al-Qur’an. Di sisi lain, tidak mustahil gambaran yang mengesankan generasi abad ke-20 akan dinilai oleh generasi abad ke-21 dan menyarankan kepada semua pihak yang membaca Al-Qur’an agar tidak bersifay egoistis dengan mengharapkan gambaran serta petunjuk-petunjuk Al-Qur’an   ditujukan untuk dirinya atau generasinya saja. Al-Qur’an turun kepada masyarakat abad ke-6, juga abad ke-20, dan abad-abad selanjutnya. Masing- masing dapat memetik petunjuk-petunjuk yang bermanfaat serta nilai-nilai yang terkandung dalam redaksi petunjuknya seandainya pesan harfiahnya tidak sejalan denag pengalaman hidup atau perubahan sosial mereka. Apalagi memang tidak ada suatu ajaran yang universal sekalipun yang menguraikan ide dan nilai-nilai ajarannya dengan memberikan contoh-contoh yang seluruhnya bersifat universal pula, atau mengemukakannya dengan bahasa yang dipahami atau digunakan oleh seluruh manusia, seluruh generasi, kapan dan dimana pun mereka berada. Tidak ada yang demikian, Semuanya selalu memulai dengan bahasa dan contoh yang dialami pada lokasi dan waktu dimana ia muncul agar pesan-pesannya dapat dimengerti dan diamalkan terlebih dahulu oleh masyarakat tersebut. Ajaran Tuhan dalam kitab-kitab suci demikian juga. Ini adalah akibat keterbatasan makhluk manusia sehingga Dia menyesuaikan petunjuk-petunjuk-Nya denagn sifat manusia yang serba terbatas itu.
Gambaran tentang Kiamat yang dikemukakan oleh lima ayat pada awal surah ini sungguh sangat berkesan bagi mereka yang hidup pada masa turunnya Al-Qur’an, jauh melebihi kesan yang kita peroleh sekarang ini. Tetapi, kita pun dapat memahaminya dengan baik jika memahami bagaimana kondisi mereka ketika itu  sehingga nilai pesamn-pesannya atau substansi peringatannya mampu kita temukan.
v Ayat keenam sampai tujuh
“Sesungguhnya manusia, terhadap Tuhannya sangat ingkar dan Sesungguhnya dia atas hal itu menjadi saksi.”
Pada ayat-ayat lalu Allah bersumpah untuk manyakinkan para pendengarnya tentang hakikat kerugian besar yang pasti akan dialami oleh mereka yang dilukiskan oleh ayat-ayat di atas. Kerugian tersebut baru disadarisetelah terjadi dan tidak dapat diperbaiki lagi, persis seperti serangan mendadak yang digambarkan oleh ayat-ayat yang lalu. Di sini, Allah menjelaskan siapa yang merugidan celaka itu dengan menyatakan bahwa : Sesungguhnya jenis manusia secara umum, khususnya terhadap Tuhan Pemelihara yang selalu berbuat baik kepada-Nya sangat ingkar sehingga tidak bersyukur kepada-Nya, Dan sesungguhnya dia secara pribadi atas hal itu, yakni keingkaran itu, menjadi saksi.
v Ayat ke delapan
“Dan sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir.”
Pada ayat-ayat yang lalu telah dikemukakan bahwa manusia memiliki sifat kikir dan bahwa kekikirannya itu disaksikannya sendiri. Ayat 8 ini mengemukakan sifat lain manusia sekaligus dapat merupakan penjelasan mengapa ia begitu kekei. Ayat diatas dapat dipahami dalam arti : Dan sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir atau sesunngguhnya dia menyangkut kecintaan terhadap harta sangat keras. Yakni, cintanya kepada harta meluap-luap dfan berlebih-lebih.
Ayat di atas tidak dapat dipahami bahwa Al-Qur’an melarang seseorang memiliki harta, betapapun banyaknya, selama cara dan penggunaannya benar dan baik. Yang dilarangnya adalah sikap terlalu cinta terhadap harta sehingga menjadikan seseorang kikir dan lupa akan kewajiban-kewajibannya. Nabi Sulaiman as. adalah seorang Nabi yang kaya raya. Kekayaan beliau melimpah, kekuasaannya pun mencakup kerajaan manusia, jin, dan binatang. Apa yang dimilikinya itu tidak mengurangi sedikit pun kedudukannya di sisi Allah karena harta dan kekuasannya tidak menjadikan beliau lengah atau berlarut-larut di dalam kelengahan.
Hati seseorang memang tidak dapat mencintai dua hal dalam kadar dan waktu yang sama, apalagi bila keduanya bertentangan. Kecintaan kepada dunia dan kecintaan kepada Allah adalah dua jenis kecintaan yang berbeda. Setiap kecintaan kepada sesuatu mempunyai dua bentuk atau tingkat.
Pertama, sesuatu yang dicintai menjadi pusat dan landasan bagi segala aktivitas, emosi, cita-cita, dan harapan si pecinta. Di sini, mungkin yang bersangkutan melakukan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan apa yang dicintainya itu, tetapi ini hanya bersifat sementara, segera sesudahnya ia akan kembali ke landasan kecintaannya. Bukankah itu merupakan pusat segala aktivitasnya?
Kedua, kecintaan kepad sesuatu telah mendarah daging pada diri seseorang, bersenyawa dengan kepribadiannya, sehingga ia tidak lagi melihat sesuatu kecuali apa yang dicintainya. Segala aktivitasnya hanya bertumpu kepadanya, demikian pula emosi dan harapannya, tidak ada lagi hubungan sekunder. Berbeda dengan bentuk pertama.
Cinta terhadap apa pun tidak terlepas dari kedua bentuk di atas, baik cinta kepada Allah maupun kepada benda. Seseorang yang mengaku cinta kepada Allah dalam bentuk pertama yang dikemukakan di atas dapat melakukan apa saja yang tidak berkaitan dengan objek kecintaannya, bahkan mungkin bertentangan dengannya, tetapi yang demikian itu hanya bersifat sementara. Sehingga, bila pekerjaan-pekerjaan tersebut dihadapkan dengan kecintaannya kepada dunia atau dia berada dalam posisi memilih salah satunya, pasti yang dipilihnya adalah yang sesuai dengan objek kecintaannya, serta yang menjadi pusat dan landasan segala akyivitasnya. Seseorang dapat mengukur dirinya ketika dihadapkan dengan pilihan semacam ini. Ada orang yang mencintai harta benda seperti yang digambarkan dalam bentuk pertama, ada pula dalam bentuk kedua yang jauh lebih keras dari bentuk pertama. Bentuk kedua ini mengantarnya untuk mempergunakan segala daya dan cara demi memeroleh apa yang dicintainya itu dan dia tidak akan pernah puas.
Bagi mereka yang seperti ini, Tuhan tidak mempunyai tempat lagi di dalam hatinya, dan Tuhan pun tidak akan memberinya tempat yang layak. “Siapa yang menjadikan dunia sebagai tumpuan perhatiannya, sedikit pun tidak akan diperolehnya dari Allah.” Pada ayat di atas, Allah mengecam orang-orang yang mencintai harta benda secara berlebih-lebihan, baik yanfg digambarkan dalam bentuk pertama, lebih-lebih dalam bentuk kedua. Yang diharapkan adalah menjadikan kecintaan kepada Allah sebagai sumber segala aktivitas. Kalau tidak dapat mencapai puncak kecintaan itu, paling tidak kecintaan bentuk pertamalah yang harus diraih.
v Ayat ke sembilan sampai sebelas
“Maka  apakah dia tidak mengetahui apabila dibongkar apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada? Sesungguhnya Tuhan mereka terhadap mereka pada hari itu Maha Mengetahui.”
     Ayat-ayat lalu berbicara tentang yang kecintaannya kepada harta benda berlebihan. Ayat-ayat di atas melanjutkan kecamannya kepada mereka dengan menyatakan : Maka , apakah dia, manusia yang kikir dan amat mencintai harta itu, tidak mengetahui apa yang akan dialaminya apabila dibongkar dengan mudah apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan, serta dipisahkan apa yang ada di dalam dada dari kebaikan dan keburukan? Sesungguhnya Tuhan Pendidik dan Pemelihara mereka terhadap mereka pada hari dibongkarnya segala sesuatu di dalam kubur itu Maha Mengetahui.
     Dari ayat di atas didahulukannya kata yauma’idzin / pada hari itu, walau Allah telah mengetahui secara detail sejak kini bahkan sebelum terjadinya suatu aktivitas, agaknya disebabkan yang dimaksud dengan informasi tentang pengetahuan-Nya itu adalah balasan dan ganjaran-Nya ; yang baru akan terjadi ketika itu. Bukankah balasan dan ganjaran itu berdasarkan pengetahuan-Nya? Di sisi lain, ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang lalai, yang tidak menyadari bahwa Allah mengetahui detak detik hatinya. Kini mereka belum menyadari bahwa Allah mengetahuinya. Kelak, ketika itu baru mereka sadar, dan untuk itulah maka ayat di atas menegaskan bahwa ketika itu mereka menyadari hal tersebut. Ini serupa dengan firman-Nya (مالك يوم الدين  ) malik yaum ad-din / yang menguasai hari Pembalasan. Walaupun Allah menguasai hari duniawi, karena sebagian manusia ada yang menolak atau tidak mengakui secara jelas hal itu, baik dengan kata-kata atau sikapnya, kekuasaan yang secara tegas ditekankan dan dagarisbawahi adalah kekuasaan di hari Kemudian.
     “Pada hari itu”, yakni ketika terbongkar apa-apa yang terdapat di dalam kubur, dan ditemukan apa-apa yang tersermbunyi atau disembunyikan di dalam lubuk hati atau bawah sadar, barulah manusia sadar Allah SWT. Khabir / Maha Mengetahui.
     Demikian surah ini memulai dengan sumpah yang mengandung ilustrasi tentang kehadiran Hari Kiamat dengan dadakannya, lalu diakhiri dengan uraian tentang terbongkarnya segala sesuatu sejak di dalam kubur dalam perjalanan manusia menuju hari Kebangkitan itu. Kalau dalam kehidupan dunia ini manusia lengah sehingga tangannya tertutup dan hatinya sangat terpaut dengan harta benda, di akhirat nanti dia akan sadar. Di sisi lain, seandainya manusia sadar bahwa segala sesuatu akan terbongkar, diteliti, dicari, serta ditemukan, dan kemudian diberi imbalan dan balasan, maka pasti ia tidak akan kikir, tidak pula kecintaannya kepada harta kekayaan akan sedemikian hebat sehingga melengahkannya.

2.3                        Shorhul Balaghoh
1.    Ta’kid dengan “inna” dan “lam” di beberapa tempat, seperti :
Tambahnyaتقرير   dan  بيان ( إن ربهم بهم يومئذ لخبير ), ( وإنه لحب الخير لشديد), ( إن الإنسان لربه لكنود )
2.    Jinas ghoiru tam antara lafadz ( لشهيد) dan ( لشديد), begitu juga dengan lafadz (ضبحا) dan ( صبحا).
3.    Istifham Inkari Lit-tahdid wal wa’iid ( افلا يعلم إذا بعثر ما في القبور) ?
4.    Tadhmin pada ayat ( إن ربهم بهم يومئذ لخبير) dhamin pada lafadz ( خبير) makna “al-majazah” atau mengijazkan kepada pelaku.
5.    Tawafiq al-fawashil, seperti : “( شديد ,     شهيد)” dan ( القبور , الصدور). Dan dinamakan  السجع المرصع )) yaitu Ibadah (akhlak) yang baik (terpuji).

BAB III


PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1)    Shorhul mufrodhat
Ø Ayat pertama sampai kelima
1.    Kata العا ديات )  ( Al-‘Adiyat terambil dari kata (عدا - يعدو) ‘ada - ya’du yang berarti jauh atau melampaui batas. Tetapi secara harfiah Al-‘Adiyat berarti “yang berlari kencang.”
2.    Kata (ضبحا ) dhabhan diartikan sebagai “suara yang terdengar dari mulut kuda pada saat ia berlari kencang”
3.    Kata (الموريات  ) al-muriyat adalah “pelaku yang menyalakan api” karena terambil dari wazan (ورى – وريا  ) atau (وري – يري  ) yang berarti “menyalakan api”.
4.    Kata (قدحا  ) qadhan adalah mengeluarkan atau memercikkan, yang berasal dari wazan (قدح  ) qadaha.
5.    Kata (ا لمغيرت) al-mughirat adalah bentuk jamak dari kata (ا لمغير ) al-mughir. Ia terambil dari kata (أغار  ) aghara yang pada mulanya berarti bercepat-cepat melangkah. Tetapi, pada umumnya yang dimaksud adalah serangan mendadak dan cepat yang dilakukan dengan mengendarai kuda.
6.    Kata (صبحا ) shubhan \ waktu subuh menggambarkan dadakan serangan itu sehingga menjadi paniklah kelompok yang diserang itu.
7.    Kata( جمعا ) jam’an digunakan oleh al-Qur’an dalam arti “Kelompok yang besar dan yang selalu menduga akan mampu meraih kemenangan,”
Ø Ayat ke-6 sampai 7
1.    Kata (كنود) kanud adalah bentuk superlatif dari kata (كند  ) kanada. Kata ini pada mulanya berarti “tanah yang tidak ditumbuhi sesuatu atau dengan kata lain tandus”.
2.    Kata (شهيد) syahid terambil dari kata (شهد)  syahida / menyaksikan. Kesaksian manusia tentang kekikirannya pasti akan terjadi di akhirat nanti, namun di dunia ini pun kesaksian itu dapat terlaksana.
Ø Ayat ke-8
1.      Kata (لحب  ) li hubbi. Ia dapat dipahami dalam arti disebabkan karena atau oleh karena, juga terhadap atau dalam hal.
2.      Kata (الخير) al-khair biasa diartikan kebaikan. Tetapi, yang dimaksud di sini adalah harta benda.
3.      Kata (لشديد  ) la syadid diartikan sangat keras atau berlebih-lebihan. Kecintaan yang amat sangat dan berlebih-lebihan pada akhirnya mengantar kepada kekikiran.
Ø Ayat ke-9 sampai 11
1.    Kata ( بعثر ) bu’tsira pada asalnya berarti membolak-balik sesuatu. Kata ini memberi kesan adanya semacam kegelisahan dan ketergesa-gesaan, seperti keadaan seseorang yang membuka lemari ketika mencari sesuatu dengan tergesa-gesa.
2.    Kata (حصل) hushshila biasa juga diartikan dengan memisahkan, mengemukakan, atau menghimpun, kata ini berasal dari kata (حوصل ) haushal dan (حوصلة  ) haushalah.
3.    Kata (الصدور) ash-shudur adalah bentuk jamak dari kata (الصدر  ) ash-shadr yang biasa diterjemahkan dengan dada. Kata ini secara umum diartikan hati manusia dan atau gejolak serta detak-detiknya. Dengan demikian, dipahami bahwa kelak di hari Kemudian akan dibongkar dan dicari segala sesuatu yang terdapat dalam lubuk jiwa manusia, bahkan bawah-sadarnya pun akan diperiksa.
4.    kata (ربهم) Rabbahum yang berarti Tuhan Pemelihara dan Pendidik mereka kendati ayat ini dalam konteks ancaman mengisyaratkan bahwa segala yang dilakukan Tuhan tidak terlepas dari pendidikan dan pemeliharaan-Nya, walaupun hal tersebut dalam bentuk ancaman dan siksaan.
5.    Kata (خبير) khabir terambil dari kata ( خبر ) khabar yang menurut asal penggunaan bahasa, berarti sumber air di pegunungan. Ia juga berarti pencarian untuk mencapai pengetahuan yang pasti tentang hakikat sesuatu.
6.    Kata  (يومئذ  ) yauma’idzin / pada hari itu didahulukan, walau Allah telah mengetahui secara detail sejak kini bahkan sebelum terjadinya suatu aktivitas, agaknya disebabkan yang dimaksud dengan informasi tentang pengetahuan-Nya itu adalah balasan dan ganjaran-Nya; yang baru akan terjadi ketika itu.
2)    Shorhul Makna
1.    Gambaran tentang dadakan kehadiran Kiamat. Seperti dadakan serangan tentara berkuda di tengah-tengah kelompok yang merasa dirinya kuat, tetapi ternyata mereka diporakpondakan.
2.    Allah bersumpah untuk manyakinkan para pendengarnya tentang hakikat kerugian besar yang pasti akan dialami oleh mereka.
3.    Dikemukakan bahwa manusia memiliki sifat kikir dan bahwa kekikirannya itu disaksikannya sendiri.
4.    Gambaran tentang kecintaan manusia kepada harta benda yang berlebihan.
5.    Allah telah mengetahui secara detail sejak kini bahkan sebelum terjadinya suatu aktivitas, agaknya disebabkan yang dimaksud dengan informasi tentang pengetahuan-Nya itu adalah balasan dan ganjaran-Nya ; yang baru akan terjadi ketika itu.
Surah ini memulai dengan sumpah yang mengandung ilustrasi tentang kehadiran Hari Kiamat dengan dadakannya, lalu diakhiri dengan uraian tentang terbongkarnya segala sesuatu sejak di dalam kubur dalam perjalanan manusia menuju hari Kebangkitan itu. Kalau dalam kehidupan dunia ini manusia lengah sehingga tangannya tertutup dan hatinya sangat terpaut dengan harta benda, di akhirat nanti dia akan sadar. Di sisi lain, seandainya manusia sadar bahwa segala sesuatu akan terbongkar, diteliti, dicari, serta ditemukan, dan kemudian diberi imbalan dan balasan, maka pasti ia tidak akan kikir, tidak pula kecintaannya kepada harta kekayaan akan sedemikian hebat sehingga melengahkannya.
3)    Shorhul Balaghoh
1.    Ta’kid dengan “inna” dan “lam” di beberapa tempat, seperti :
Tambahnyaتقرير   dan  بيان ( إن ربهم بهم يومئذ لخبير ), ( وإنه لحب الخير لشديد), ( إن الإنسان لربه لكنود )
2.    Jinas ghoiru tam antara lafadz ( لشهيد) dan ( لشديد), begitu juga dengan lafadz (ضبحا) dan ( صبحا).
3.    Istifham Inkari Lit-tahdid wal wa’iid ( افلا يعلم إذا بعثر ما في القبور) ?
4.    Tadhmin pada ayat ( إن ربهم بهم يومئذ لخبير) dhamin pada lafadz ( خبير) makna “al-majazah” atau mengijazkan kepada pelaku.
5.    Tawafiq al-fawashil, seperti : “( شديد ,     شهيد)” dan ( القبور , الصدور). Dan dinamakan  السجع المرصع )) yaitu Ibadah (akhlak) yang baik (terpuji).

3.2. Saran
Dari makalah ini pemakalah mengharapkan agar para pembaca khususnya para mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang surat Al-‘Adiyat.

 DAFTAR PUSTAKA
___________,   2010, Al-Qur’an  & Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi.
Shihab, M. Quraish, 2002, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Abadi.
As-Shobuniy, M. Ali, 1999, صفوة التفاسير, Jakarta: Darul kutubul Islamiyah.
Al-Jarim Ali  dan  Amin Musthafa, 2011, Balaghaaghatul Waadhihah, Bandung: Sinar Baru Algensido offset Bandung,