Sabtu, 24 November 2012

makalah hadist ahkam



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Dalam masalah ubudiyah banyak sekali hukum-hukum yang perlu di jelaskan di antaranya adalah masalah kesucian dan juga masalah halal haram suatu makanan. Sering terjadi ketabuan pemahaman masyarakat tentang hukum suatu makanan apakah itu halal atau haram..?. dan tidak sedikit dari mereka meninggalkan suatu makanan padahal halal di makan ataupun sebaliknya. Untuk itu penulis menjelaskan tentang satu aspek dari masalah tersebut, yaitu masalah bangkai dan darah yang di perbolehkan untuk di makan.
Masalah wadah memang di dalam islam di haramkan menggunakan yang terbuat dari emas dan perak. Akan tetapi masih perlu di jelaskan hukum menambalnya dengan perak.
Sekilas pembahasan kami akan memberikan pemahaman tentang masalah tersebut.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hukum Bangkai dan Darah

وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ, فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ, وَأَمَّا الدَّمَانُ: فَالْكَبِدُ والطِّحَال - أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَفِيهِ ضَعْفٌ

Artinya : Dari Ibnu Umar r.a., beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah belalang dan ikan dan dua darah adalah hati dan limpa. (Dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Dan dalam sanadnya ada kelemahan.)

Makna secara umum
Allah mengharamkan bangkai secara nash dalam al-quran yang jelas. Dan Allah mengecualikan sesuatu darinya melalui lisan Rasulullah Saw al-amin. Maka Allah membolehkan bagi kita memakan Bangkai laut dan bangkai belalang, dan Allah SWT membolehkan bagi kita hati dan limpa.

Fiqih Hadits
1.      Keharaman memakan bangkai dan dikecualikan darinya bangkai belalang dan ikan , maka halal memakan keduanya. Di dalamnya terdapat beberapa perincian ,imam syafi’i dan abu hanifah mengatakan bangkai belalang halal ditemukan dalam keadaan apapun baik mati karna terjepit hidungnya atau sebab dibunuh manusia. Sedangkan imam Ahmad dan imam Malik mengatakan tidak halal kecuali yang matinya sebab manusia semisal diputus sebagian tubuhnya, atau menyakitinya, atau membakarnya hidup-hidup,  atau memanggangnya, maka apabila mati  terjepit hidungnya atau (mati sendiri) dalam sebuah wadah maka hukum memakannya haram. Sedangkan ikan, maka halal memakannya baik yang matinya sebab manusia atau ikan itu keluar dari air (melompat).Hal ini adalah madzhab jumhur ulama. Dan menurut mereka ikan yang mati mengambang hukumnya haram. Sedangkan menurut imam Syafi’i tetap halal.
2.      Keharaman memakan darah dan dikecualikan darinya hati dan limpa maka halal memakan keduanya.

Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Hadits ini diriwayat oleh para imam ; Syafi’i, Ahmad dalam musnad keduanya, Ibnu Majah, Darulquthni dan Baihaqi dalam sunan mereka dari riwayat Abdurrahman bin al-Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Ibnu Umar secara marfu’. Darulquthni dan Baihaqi mengatakan, hadits ini juga telah diriwayat oleh Sulaiman bin Bilal dari Zaid bin Aslam dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya beliau berkata : “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah…” al-hadits. Selanjut Darulquthni dan Baihaqi mengatakan ini lebih sahih, yakni orang yang mengatakan “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah…” adalah Ibnu Umar, karena riwayat pertama, yaitu riwayat yang marfu’ adalah sangat dha’if, karena Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah dha’if dengan kesepakatan para hafizh dan telah didha’ifkan juga oleh Imam Ahmad dan Ali bin al-Madiny.”

Penjelasan hadits ini menurut al-Manawy sebagai berikut :

1.      Penghalalan dua bangkai dan dua darah hanya berlaku untuk syari’at Muhammad, tidak untuk syari’at umat lain
2.      Bangkai menurut fuqaha adalah binatang yang hilang hidupnya tanpa disembelih secara syara’
3.      Yang dimaksud dengan ikan di sini adalah hewan laut yang halal memakannya, meskipun tidak dinamakan dengan ikan dan tidak berbentuk ikan sama sekali.
4.      Pengkhususan dengan dua bangkai dan dua darah di atas tidak menunjukkan yang halal hanya dua bangkai dan dua darah saja, karena mafhum laqab tidak dapat menjadi hujjah.

Hadits lain mengenai hukum makan hewan laut adalah hadits riwayat Abu Hurairah, berbunyi :
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي اَلْبَحْرِ: - هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ ورواه مالك والشافعي واحمد 
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda tentang laut, "Airnya menyucikan dan halal bangkainya."(Dikeluarkan oleh imam yang empat, lbnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazh miliknya dan oleh Ibnu Khuzaimah dan at Tirmidzi. Juga diriwayat oleh Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad)
Menurut keterangan Imam Nawawi, hadits ini shahih. Masih dalam kitab yang sama, Imam al-Nawawi mengutip keterangan Qadhi Abu Thaib dan lainnya, mengatakan bahwa telah terjadi perbedan pendapat mengenai hukum makan hewan laut yang tidak berbentuk ikan pada umumnya dalam tiga pendapat, yaitu :
1.      Pendapat yang lebih shahih di sisi sahabat Syafi’i, yaitu halal semuanya. Ini merupakan pendapat yang disebut oleh Syafi’i dalam al-Um, Mukhtashar al-Muzni dan Ikhtilaf al-Iraqiyun. Alasannya, nama ikan mencakup semua hewan dalam laut. Allah SWT berfirman :
حل لكم صيد البحر وطعامه
Artinya : Dihalalkan bagimu perburuan laut dan makanannya (Q.S. al-Baqarah : 96)
Ibnu Abbas dan lainnya berkata : “Perburuan laut adalah hewan yang diburu, sedang makanannya adalah sesuatu yang dimuntahnya (makanan yang berasal dari laut)”. Alasan yang lain adalah berdasarkan sabda Rasululullah SAW : “Air laut itu menyucikan serta halal bangkainya.”

2.      Haram, ini merupakan mazhab Abu Hanifah
3.      Hewan laut yang dimakan semisal dengannya di darat seperti lembu, kambing dan lainnya adalah halal. Sedangkan hewan laut yang tidak dimakan semisal dengannya di darat seperti babi laut dan anjing laut, adalah haram.

B.  Menggunakan Bejana Orang Musyrik atau Ahli Kitab
-وَعَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: - قُلْتُ: يَا رَسُولَ الْلَّهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: "لَا تَأْكُلُوا فِيهَا، إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا" - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya : Dari Abu Tsa’labah al-Khusyani r.a. beliau berkata : Aku mengatakan : “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami tinggak di tengah-tengah ahli kitab, bolehkah kami makan dengan menggunakan bejana mereka ?” Beliau bersabda : “Janganlah makan dengannya kecuali jika tidak ada yang lainnya, maka basuhlah dan makan dalamnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Makna Secara Umum
Hukum syara’ melarang kita untuk makan dan minum dalam wadah orang yahudi dan nasrani. Karna mungkin saja terdapat najis di wadah tersebut menurut kebiasaan mereka, karna mereka tidak memeperdulikan perkara suci dan najis. Namun apabila dalam keadaan terpaksa maka syara’ membolehkan bagi kita untuk menggunakan wadah orang yahudi atau nasrani tersebut setelah membasuhnya dengan air supaya kita tahu kalau kita benar-benar menyucikannya.

Fiqih Hadits
1.      Kebolehan menggunakan wadah ahli kitab setelah membasuhnya.
2.      Larangan dalam hadits tersebut menunjukkan kemakruhan karna menganggap kotor wadah-wadah mereka sebab mereka sering memakai barang-barang najis.
-وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا؛ - أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ اِمْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ
Artinya : Dari Imran bin Hushain r.a., sesungguhnya Nabi SAW dan para sahabatnya berwudhu’ dari bejana milik seorang perempuan musyrik (Muttafaqun ‘alaihi dalam hadits yang panjang)

Makna Secara Umum
Hadits ini adalah potongan dari hadits yang panjang. Lafadznya “Sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus sayyidina ali RA dan sahabat lain yang bersamanya di tengah-tengah perjalanan beliau, dan mereka kehabisan air, maka Rasulullah SAW berkata pergilah kalian berdua untuk mencari air, maka mereka berdua berangkat dan bertemu perempuan diantara tempat perbekalan air diatas unta miliknya, mereka bertanya dimanakah terdapat air? Perempuan itu menjawab “ kemarin saya menemukan air, Mereka berdua berkata, pergilah kepada Rosulullah sekarang, kemudian rosulullah berkata dan mengajak dengan sebuah wadah dan menuangkan di dalamnya dari mulut dua tempat perbekalan tersebut dan orang-orang diundang,siramilah (dirimu) dan ambillah air (darinya) ,maka mereka menyiram (dirinya) dan mengambil air (darinya)

Fiqih Hadits
1.      Sucinya wadah orang musyrik
2.      Dibagh (sama’) mampu mensucikan kulit bangkai, maka tempat perbekalan air (mazadataini) itu dari kulit hewan sembelihan Orang-orang Musyrik. Sedangkan sesembelihan mereka di hukumi najis
3.      Kemurahan agama islam

C.  Bejana yang di tambal dengan perak

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - - أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - اِنْكَسَرَ، فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ. - أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ
Artinya : Dari Anas bin Malik r.a., sesungguhnya mangkok Nabi SAW retak, lalu beliau (Anas bin Malik) menambal tempat yang retak itu dengan sambungan yang terbuat dari perak (Dikeluarkan oleh Bukhari)
            Imam Nawawi menjelaskan dalam al-Majmu’ bahwa perkataan “فَاتَّخَذ” dalam hadits di atas, mewahamkan yang menambalkan itu adalah Nabi SAW, padahal tidaklah demikian, karena yang menambal dalam hadits tersebut adalah Anas bin Malik sendiri. Hal ini sesuai dengan riwayat lain, berkata Anas bin Malik :
فجعلت مكان الشعب سلسلة
Artinya : Maka aku menambal tempat yang retak itu. (H.R. Baihaqi)

Hukum Secara Umum
            Menurut pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’i, haram hukumnya menggunakan bejana yang terdiri perak, karena beramal dengan hadits Ummi Salamah, beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya : Dari Ummi Salamah, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang minum dalam bejana perak, sesungguhnya ia telah memasukkan dalam perutnya neraka jahannam (Muttafaqun’alaihi)
            Adapun hukum menggunakan bejana yang ditambal dengan perak adalah sesuai dengan penjelasan di bawah ini :
Imam Syafi’i mengatakan :“Makruh bejana yang ditambal dengan perak, supaya orang tidak minum dalam bejana perak.”
            Kalangan Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan hukum menambal bejana dengan perak kepada empat pendapat:

1.      Merincikan dalam empat katagori
Jika tambalan dengan perak tersebut sedikit dan ada hajad, hukumnya tidak makruh. Dalilnya adalah hadits riwayat Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Bukhari di atas. Jika tambalannya sedikit dan karena hiasan, maka hukumnya makruh, karena tidak ada hajad dan tidak haram dikarenakan hadits riwayat Anas bin Malik, beliau berkata :
كان نعل سيف رسول الله صلي الله عليه وسلم من فضة وقبيعة سيفه فضة وما بين ذلك حلق الفضة
Artinya : Keadaan bawah sarung pedang Rasulullah SAW adalah dari perak, pegangannya juga dari perak dan di antaranya itu lingkaran perak.(H.R. Abu Daud dan Turmidzi, dengan kualitasi hasan) Jika tambalan tersebut besar dan tidak ada hajad, hukumnya haram, karena perkataan Ibnu Umar :  لا يتوضأ ولا يشرب من قدح فيه حلقة من فضة أو ضبة من فضة
Artinya : Jangan berwudhu’ dan minum dari bejana yang lingkaran dan tambalannya dari perak (H.R Baihaqi dan lainnya dengan kualitas shahih)
dan atsar dari Aisyah :
وعن عائشة رضى الله عنها أنها نهت أن تضبب الاقداح بالفضة
Artinya : Dari Aisyah r.a, sesungguhnya beliau melarang menambal bejana dengan perak (H.R. Thabarany dan Baihaqi, dengan kualiatas hasan) dan jika tambalannya besar dan ada hajad, maka makruh karena banyak dan tidak haram karena ada hajad.

            Menurut Imam Nawawi, pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih dan merupakan pendapat yang masyhur di kalangan ahli Iraq serta telah meng-qatha’ oleh kebanyakan ahli Iraq. Telah dishahihkan pendapat ini oleh Syeikh Abu Hamid, al-Muhamily, al-Mawardi, al-Dariky dan mutaakhirin Syafi’iyah. Mereka ini mempertempatkan nash Imam Syafi’i di atas dengan pengertian sesuai dengan pendapat ini

2.      Jika tambalan perak itu terjadi pada bagian yang digunakan seperti bagian yang tersentuh mulut orang yang minum, maka haram dan jika tidak seperti demikian, maka tidak haram. Pendapat ini merupakan Abu Ishaq al-Maruzy

3.      Makruh dan tidak haram dalam keadaan apapun. Yang mengatakan pendapat ini adalah Abu ‘Ali al-Thabary dan lainnya

4.      Haram dalam keadaan apapun. Abu Hasan al-Juwaini menghikayah pendapat ini dari Ibnu Umar R.A.dan Aisyah R.A.






BAB III
KESIMPULAN

1.      Keharaman memakan bangkai dan dikecualikan darinya bangkai belalang dan ikan , maka halal memakan keduanya. Di dalamnya terdapat beberapa perincian ,imam syafi’i dan abu hanifah mengatakan bangkai belalang halal ditemukan dalam keadaan apapun baik mati karna terjepit hidungnya atau sebab dibunuh manusia. Sedangkan imam Ahmad dan imam Malik mengatakan tidak halal kecuali yang matinya sebab manusia semisal diputus sebagian tubuhnya, atau menyakitinya, atau membakarnya hidup-hidup,  atau memanggangnya, maka apabila mati  terjepit hidungnya atau (mati sendiri) dalam sebuah wadah maka hukum memakannya haram. Sedangkan ikan, maka halal memakannya baik yang matinya sebab manusia atau ikan itu keluar dari air (melompat).Hal ini adalah madzhab jumhur ulama. Dan menurut mereka ikan yang mati mengambang hukumnya haram. Sedangkan menurut imam Syafi’i tetap halal.
2.      Keharaman memakan darah dan dikecualikan darinya hati dan limpa maka halal memakan keduanya.
3.      Kebolehan menggunakan wadah ahli kitab setelah membasuhnya.
4.      Larangan dalam hadits tersebut menunjukkan kemakruhan karna menganggap kotor wadah-wadah mereka sebab mereka sering memakai barang-barang najis.

5.      Sucinya wadah orang musyrik
6.      Dibagh (sama’) mampu mensucikan kulit bangkai, maka tempat perbekalan air (mazadataini) itu dari kulit hewan sembelihan Orang-orang Musyrik. Sedangkan sesembelihan mereka di hukumi najis
7.      Kemurahan agama islam
8.      Menurut pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’i, haram hukumnya menggunakan bejana yang terdiri perak,
9.      Imam Syafi’i mengatakan :“Makruh bejana yang ditambal dengan perak, supaya orang tidak minum dalam bejana perak.”
10.  Jika tambalan dengan perak tersebut sedikit dan ada hajad, hukumnya tidak makruh
11.  Jika tambalan perak itu terjadi pada bagian yang digunakan seperti bagian yang tersentuh mulut orang yang minum, maka haram dan jika tidak seperti demikian, maka tidak haram. Pendapat ini merupakan Abu Ishaq al-Maruzy
12.  Menambal bejana dengan perak makruh dan tidak haram dalam keadaan apapun. Yang mengatakan pendapat ini adalah Abu ‘Ali al-Thabary dan lainnya
13.  Menambal bejana dengan perak haram dalam keadaan apapun. Abu Hasan al-Juwaini menghikayah pendapat ini dari Ibnu Umar R.A.dan Aisyah R.A.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Juz. I, Hal. 25
2.      Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 23
3.      Al-Maliky, Alwi abbas, Ibanatul Ahkam, juz 1
4.      Hakim Taufiqul, Kamus At-TAufiq

obyek dan ruang lingkup filsafat



OBYEK DAN RUANG LINGKUP KAJIAN FILSAFAT ISLAM



Obyek filsafat terbagi menjadi dua obyek yaitu; obyek materi dan obyek formal filsafat. Yang disebut obyek materi adalah hal atau bahan yang akan diselidiki (hal yang menjadi sasaran penyelidikan), sedangkan obyek forma adalah sudut pandang (point of view), dari mana hal atau bahan tersebut dipandang.
Obyek materi filsafat yang diselidiki mengenai semua yang ada : manusia, alam dan Tuhan, sedangkan obyek formal filsafat yang menyangkut hakikat, sifat dasar arti atau makna terdalam dari sesuaatu hal . Dengan kata lain bahwa objek filsafat Islam itu adalah meliputi :
1.     Objek materia filsafat ialah Semua yang ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok:  
1.1.  Hakekat Tuhan;  
1.2.  Hakekat Alam dan
1.3.  Hakekat Manusia .
2.     Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat .
Dari pemahaman di atas nampak bahawa Objek filsafat itu bukan main luasnya”, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya.
          Lebih lanjut DR Musa As’arie menjelaskan bahwa objek dari Filsafat islam adalah membahas hakikat semua yang ada, sejak dari tahapan ontologis, hingga metafisis, membahas nilai-nilai yang meliputi epistemologis,estetika,dan etika yang disesuaikan dengan kecendrungan perubahan dan semangat zaman. Kajian filsafat Islam terhadap objek material dari waktu ke waktu mengkin tidak berubah, tetapi corak dan sifat serta dimensi yang menjadi tekanan atau fokus kajiannya (objek formal) harus berubah dan menyesuaikan dengan perubahan, serta konteks kehidupan manusia, dan semangat baru yang selalu muncul dalam setiap perkembangan jaman.
Atas dasar pada bidang penyelidikan dari objeknya ini, maka filsafat dapat dibagi menurut objeknya adalah sebagai berikut:
1.     Ada Umum yakni menyelidiki apa yang ditinjau secara umum. Dalam realitanya terdapat bermacam-macam yang kesemuanya mungkin adanya. Dalam bahasa Eropa, ADA UMUM ini disebut “Ontologia” yang berasal dari perkataan Yunani “Onontos” yang berarti “ada”,
2.     Ada Mutlak, sesuatu yang ada secara mutlak yakni zat yang wajib adanya, tidak tergantung kepada apa dan siapapun juga. Adanya tidak berpermulaan dan tidak berpenghabisan ia harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti. Ia merupakan asal adanya segala sesuatu. Ini disebut orang “Tuhan” dalam Bahasa Yunani disebut “Theodicea” dan dalam Bahasa Arab disebut “Ilah” atau “Allah”.
3.     Comologia, yaitu filsafat yang mencari hakekat alam dipelajari apakah sebenarnya alam dan bagaimanakah hubungannya dengan Ada Mutlak. Cosmologia ini ialah filsafat alam yang menerangkan bahwa adanya alam adalah tidak mutlak, alam dan isinya adanya itu karena dimungkinkan Allah. “Ada tidak mutlak”, mungkin “ada” dan mungkin “lenyep sewaktu-waktu” pada suatu masa.
4.     Antropologia (Filsafat Manusia), karena manusia termasuk “ada yang tidak mutlak” maka juga menjadi objek pembahasan. Apakah manusia itu sebenarnya, apakah kemampuan-kemampuannya dan apakah pendorong tindakannya? Semua ini diselidiki dan dibahas dalam Antropologia.
5.     Etika: filsafat yang menyelidiki tingkah laku manusia. Betapakah tingkah laku manusia yang dipandang baik dan buruk serta tingkah laku manusia mana yang membedakannya dengan lain-lain makhluk.
6.     Logika: filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq. Akal budi adalah akal yang terpenting dalam penyelidikan manusia untuk mengetahui kebenaran. Tanpa kepastian tentang logika, maka semua penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya tanpa akal budi takkan ada penyelidikan. Oleh karena itu dipersoalkan adakah manusia mempunyai akal budi dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran? Dengan segera timbul pula soal, apakah kebenaran itu dan sampai dimanakah kebenaran dapat ditangkap oleh akal budi manusia. Maka penyelidikan tentang akal budi itu disebut Filsafat Akal
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya objek Filsafat Islam ialah sama dengan objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas, baik yang material maupun yang ghaib. Hanya Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai komitmen Qur’anik.
Ruang lingkup filsafat Islam  menurut beberapa ahli filsafat di anataranya :
I.          Al Kindi :
Di kalangan kaum muslimin, orang yang pertama-tama mem­berikan pengertian filsafat dan lapangannya ialah Al-Kindi. la membagi filsafat menjadi 3 bagian, yaitu :
1.        Ilmu fisika (ilmu-thabiyyat) sebagai tingkatan yang paling bawah.
2.        IImu matematika (al - ilmur - riyadhi) sebagai tingkatan tengah-tengah.
3.        Ilmu Ketuhanan (ilmur - rububiyyah) sebagai tingkatan yang paling tinggi.

II.         Al Farabi :
Menurut Al-Farabi, lapangan filsafat dibagi menjadi dua ba­gian, yaitu :
1.     Filsafat teori, yaitu mengetahui sesuatu yang ada, dimana seseorang tidak bisa (tidak perlu) mewujudkannya dalam per­buatan. Bagian ini meliputi :
-       ilmu matematika.    
-       ilmu fisika.
-       ilmu metafisika.
2.     Filsafat amalan, yaitu mengetahui sesuatu yang seharusnya diwujudkan dalam perbuatan dan yg menimbulkan kekuatan untuk mengerjakan bagian-bagian yg baik. Bagian ini meliputi :
2.1.        Ilmu akhlak  ; yaitu amalan yg berhubungan dgn perbuatan perbuatan yg baik
2.2.        Filsafat politik: yaitu amalan yg berhubungan dg perbuatan perbuatan baik yg seharusnya dikerjakan oleh penduduk negeri.

III.        Ibnu Sina :
Pembagian filsafat menurut Ibnu Sina pada pokoknya tidak berbeda dengan pembagian-pembagian sebelumnya, yaitu filsafat teori dan filsafat amalan. Akan tetapi ia menghubungkan kedua bagian tersebut kepada agama. Dasar-dasar filsafat tersebut terdapat dalam agama atau syari'at Tuhan, hanya penjelasannya didapatkan oleh kekuatan akal-pikiran manusia.
Pembagian filsafat Ketuhanan menurut Ibnu Sina ialah :
1.     Ilmu tentang cara turunnya wahyu dan makhluk-makhluk rohani yang membawa wahyu itu; demikian pula bagaimana cara wahyu itu disampaikan, dari sesuatu yang bersifat rohani kepada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar.
2.     Ilmu keakhiratan, antara lain memperkenalkan kepada kita bahwa manusia ini tidak dihidupkan lagi badannya, maka rohnya yang abadi itulah yang akan mengalami siksaan dan kesenangan.
               
      HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN ILMU KEISLAMAN LAINNYA
Di Indonesia sampai hari ini, keilmuan Islam yang dikembangakan masih dipengaruhi oleh adanya dikotomi ilmu yang membagi ilmu umum dan ilmu agama, dengan institusi pendidikan yang berbeda pula, yang satu berada di bawah DEPDIKBUD dan yang satunya berada berada di bawah DEPAG dan celakanya ilmu agamalah yang dianggap ilmu keislaman, sehingga dalam studi keislaman, yang menjadi fokus adalah kajian-kajian ilmu keagamaaan. Padahal, dalam al-Qur’an, semua ilmu (ilmu pasti, ilmu alam, ilmu humaniora, filsafat dan ilmu agama) merupakan satu kesatuan dan hakikatnya adalah penjelmaan dan perpanjangan saja dari ayat-ayat Tuhan sendiri, baik ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis dalam kitab al-Qur’an atau yang tersirat dalam alam semesta.

Dalam menghadapi kompleksitas dan pluralitas persoalan kemanusiaan dewasa ini, maka diperlukan suatu integrasi (kesatuan/tauhid) ilum-ilmu untuk medekati dan memecahkan persoalan tersebut, suatu pendekatan yang disebut sebagai multi disciplineapproach, yang bisanya adalah filsafat. 

Dan jika dilihat dari adanya kecendrungan makin kompleknya persoalan yang dihadapi manusia, seperti keterbelakangan dan kemiskinan, yang mana hal itu tidak mungkin dipecahkan dengan pendekatan tunggal saja. Maka mau tidak mau, berkerja sama berbagai ilmu itu mutlak diperlukan melalui berbagaio kerja sama ilmuan yang pada hakekatnya sangat dimungkimkan lahirnya integrasi ilmu, baik dalam sistem maupun dalam metodologinya, tampa menapikan dan membatalkan adanya spesialisasi ilmu. Apalagi jika dilihat pada dataran metrafisikanya, karena dalam pandangan tauhid, pada hakekatnya ilmu-ilmu itu, merupakan penjelmaan dialegtis dari ayat-ayat tuhan sendiri. 
Dan oleh karena itu tidaklah aneh kalau filsafat tersebut mencakup juga lapangan-lapangan ilmu keislaman lain, dan mempengaeruhi pula pembatasan-pembatasannya, apalgai penyelelidikan keilmuan pada waktu itu banyak bersifat ensiklopedis yang serba meliputi. Kita tidak akan mempunyai gambaran yang lengkap tentang kegiatran filsafat dalam dunia Islam, kalau kita membatasi diri kepada ahsil karya filosof-filosof islam saja, atau mereka yang terkenal dengan sebutan ”filosof peripatetik”, akan tetapi harus memperluasnya sehingga mencakup pembahasan ilmu kalam, tasauf dam usul fiqih serta tarikh tasyrik.
Selanjutnya dalam kajian keilmuan Islam, maka posisi filsafat Islam adalah landasan adanya integrasi berbagai disiplin dan pendekatan yang makin beragam, karena dalam bangunan epistemologi Islam mau tidak mau, filsafat Islam dengan metode rasional transendental dapat menjadi sumbernya. Contoh: Fiqih pada hakekatnya adalah pemahaman yang pada dasarnya adalah filsafat, yang kemudoan di kembangkan dalam usul Fiqh. Tampa filsafat fiqih akan kehilangan semangat untuk perobahan sehingganya fiqih dapat menjadi baku bahkan pintu ijtihad akan tertutup.
Jika ada petentangan antara fiqh dan filsafat, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, maka hal itu lebih disebabkan karena terjadinya kesalah pahaman dalam memahami risalah kenabian. Jadi filsaft bukanlah anak haram Islam, tetapi filsafat adalah anak kandung yang sah dari risalah kenabian. Filsafat Islam adalah basis studi keilmuan Islam, yang mengintegrasikan dan mengikatkannya, agar tidak terlepas dari cita-cita Islam. Filsafat Islam sebagai hikmah yang hadir, untuk pencerahan intelektual Islam, untuk keselamatan dan kedamaian hidup dunia dan akhirat, dan untuk peneguhan hati manusia sebagai khalifah dan sebagai hamba tuhan.

Daftar literatur :
1.     Drs.H.Abu Ahmadi, Filsafat Islam, CV.Toha putra , semarang, 1982
2.     DR.Musa Asy’arie, Filsafat islam sunah Nabi dalam berpikir, LESFI,Yogyakarta, 1999.
3.     Dr.H.Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, (Jakarta, Pedoman ilmu Jaya, 1992), cet. ke-1.
4.     Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang, Ramadhani, 1982), cet. ke-2