Ada
sepuluh kelemahan utama yang menjadi alasan kuat bagi Kementrian Pendidikan
Nasional untuk segera menghentikan program sekolah bertaraf Internasional
(SBI). Mulai dari salah konsep hingga merusak bahasa dan mutu pendidikan,
program SBI dianggap tidak cocok dan harus segera ditinggalkan.
Demikian
dilontarkan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma dalam Petisi
Pendidikan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dinilai sebagai
program gagal. Petisi itu dipaparkan Ketua Umum IGI Satria Dharma di depan
Komisi X DPR RI, Selasa (8/3/2011), untuk mendesak Komisi X segera menghentikan
sementara seluruh program SBI.
“Program
SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya dan 90 persen pasti gagal. Di
luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan,” kata Satria tentang isi petisi
tersebut.
Menurutnya,
sepuluh kelemahan mendasar program SBI itu harus dievaluasi, diredefinisi, dan
perlu dihentikan. Kelemahan pertama, kata Satria,
program SBI jelas tidak didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.
program SBI jelas tidak didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.
“Bisa
dibuktikan, bahwa tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan,
diperdalam dalam SBI,” tegas Satria.
Kedua,
SBI adalah program yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model
pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru
pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school).
Ketiga,
program SBI telah salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat
mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus
memiliki TOEFL> 500.
“Padahal,
tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science
dalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogis,” paparnya.
Merusak
bahasa
Satria
memaparkan, kelemahan keempat pada SBI adalah telah terjadi kekacauan dalam
proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Menurutnya, guru tidak mungkin
disulap dalam lima hari agar bisa mengajarkan materinya dalam bahasa Inggris.
Akibatnya, banyak siswa SBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena
mereka tidak memahami materi bidang studinya.
“Itulah
fakta keras yang menunjukkan bahwa program SBI ini telah menghancurkan best
practice dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah
SBI,” tambahnya.
Di
sisi lain, hasil riset Hywel Coleman dari University of Leeds UK menunjukkan,
bahwa penggunaana bahasa Inggris dalam proses belajar-mengajar telah merusak
kompetensi berbahasa Indonesia siswa.
Sementara
itu, kelemahan kelima dari SBI adalah penggunaan bahasa pengantar pendidikan
yang salah konsep. Dengan label SBI, materi pelajaran harus diajarkan dalam
bahasa Inggris, sementara di seluruh dunia seperti Jepang, China, Korea justru
menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya tetap berkualitas dunia.
“Kalau
ingin fasih dalam berbahasa Inggris yang harus diperkuat itu bidang studi
bahasa Inggris, bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan,”
tegas Satria.
Keenam,
SBI dinilai telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
Sementara itu, kelemahan ketujuh menegaskan, bahwa SBI juga telah menjadikan
sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial.
“Komersialisasi
pendidikan inilah yang kita tentang, karena hanya anak orang kaya yang bisa
sekolah di SBI,” tandas Satria.
SBI
juga telah melanggar UU Sisdiknas. Karena menurut Satria, pada tingkat
pendidikan dasar sekolah publik atau negeri itu wajib ditanggung pemerintah.
Kenyataannya, dalam SBI peraturan ini tidak berlaku.
Kedelapan,
SBI telah menyebabkan penyesatan pembelajaran. Penggunaan piranti media
pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan
seolah karena tanpa itu semua sebuah sekolah tidak berkelas dunia.
“Program
ini lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih
ke masalah proses ketimbang alat,” katanya.
Kelemahan
kesembilan, lanjut dia, SBI telah menyesatkan tujuan pendidikan. Kesalahan
konseptual SBI terutama pada penekanannya terhadap segala hal yang bersifat
akademik dengan menafikan segala hal yang nonakademik.
“Seolah
tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa sebagai seorang yang cerdas
akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan mendidik manusia seutuhnya,
termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni, budaya, dan olahraga,”
ujar Satria.
Kelemahan
terakhir, SBI adalah sebuah pembohongan publik. SBI telah memberikan persepsi
yang keliru kepada orang tua, siswa, dan masyarakat karena SBI dianggap sebagai
sekolah yang “akan” menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai
kelebihannya. Padahal, kata Satria, kemungkinan tersebut tidak akan dapat
dicapai dan bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada.
“Ini
sama saja dengan menanam ‘bom waktu’. Masyarakat merasa dibohongi dengan
program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang
mengeluarkan program ini,” kata Satria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar