BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam masalah ubudiyah banyak sekali hukum-hukum yang perlu di
jelaskan di antaranya adalah masalah kesucian dan juga masalah halal haram
suatu makanan. Sering terjadi ketabuan pemahaman masyarakat tentang hukum suatu
makanan apakah itu halal atau haram..?. dan tidak sedikit dari mereka
meninggalkan suatu makanan padahal halal di makan ataupun sebaliknya. Untuk itu
penulis menjelaskan tentang satu aspek dari masalah tersebut, yaitu masalah
bangkai dan darah yang di perbolehkan untuk di makan.
Masalah wadah memang di dalam islam di haramkan menggunakan yang
terbuat dari emas dan perak. Akan tetapi masih perlu di jelaskan hukum
menambalnya dengan perak.
Sekilas pembahasan kami akan memberikan pemahaman tentang masalah
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Bangkai dan
Darah
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ,
فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ, وَأَمَّا الدَّمَانُ:
فَالْكَبِدُ والطِّحَال - أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَفِيهِ ضَعْفٌ
Artinya : Dari Ibnu Umar r.a., beliau berkata, Rasulullah SAW
bersabda : “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai
itu adalah belalang dan ikan dan dua darah adalah hati dan limpa. (Dikeluarkan
oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Dan dalam sanadnya ada kelemahan.)
Makna secara umum
Allah mengharamkan bangkai secara nash dalam al-quran yang jelas.
Dan Allah mengecualikan sesuatu darinya melalui lisan Rasulullah Saw al-amin.
Maka Allah membolehkan bagi kita memakan Bangkai laut dan bangkai belalang, dan
Allah SWT membolehkan bagi kita hati dan limpa.
Fiqih Hadits
1.
Keharaman
memakan bangkai dan dikecualikan darinya bangkai belalang dan ikan , maka halal
memakan keduanya. Di dalamnya terdapat beberapa perincian ,imam syafi’i dan abu
hanifah mengatakan bangkai belalang halal ditemukan dalam keadaan apapun baik
mati karna terjepit hidungnya atau sebab dibunuh manusia. Sedangkan imam Ahmad
dan imam Malik mengatakan tidak halal kecuali yang matinya sebab manusia
semisal diputus sebagian tubuhnya, atau menyakitinya, atau membakarnya
hidup-hidup, atau memanggangnya, maka
apabila mati terjepit hidungnya atau
(mati sendiri) dalam sebuah wadah maka hukum memakannya haram. Sedangkan ikan,
maka halal memakannya baik yang matinya sebab manusia atau ikan itu keluar dari
air (melompat).Hal ini adalah madzhab jumhur ulama. Dan menurut mereka ikan
yang mati mengambang hukumnya haram. Sedangkan menurut imam Syafi’i tetap
halal.
2.
Keharaman
memakan darah dan dikecualikan darinya hati dan limpa maka halal memakan
keduanya.
Ibnu Mulaqqan
mengatakan :
“Hadits ini diriwayat oleh para imam ; Syafi’i, Ahmad dalam musnad
keduanya, Ibnu Majah, Darulquthni dan Baihaqi dalam sunan mereka dari riwayat
Abdurrahman bin al-Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Ibnu Umar secara marfu’.
Darulquthni dan Baihaqi mengatakan, hadits ini juga telah diriwayat oleh
Sulaiman bin Bilal dari Zaid bin Aslam dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya
beliau berkata : “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah…” al-hadits.
Selanjut Darulquthni dan Baihaqi mengatakan ini lebih sahih, yakni orang yang
mengatakan “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah…” adalah Ibnu Umar,
karena riwayat pertama, yaitu riwayat yang marfu’ adalah sangat dha’if, karena
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah dha’if dengan kesepakatan para hafizh dan
telah didha’ifkan juga oleh Imam Ahmad dan Ali bin al-Madiny.”
Penjelasan hadits ini menurut al-Manawy sebagai berikut :
1.
Penghalalan dua
bangkai dan dua darah hanya berlaku untuk syari’at Muhammad, tidak untuk
syari’at umat lain
2.
Bangkai menurut
fuqaha adalah binatang yang hilang hidupnya tanpa disembelih secara syara’
3.
Yang dimaksud
dengan ikan di sini adalah hewan laut yang halal memakannya, meskipun tidak
dinamakan dengan ikan dan tidak berbentuk ikan sama sekali.
4.
Pengkhususan
dengan dua bangkai dan dua darah di atas tidak menunjukkan yang halal hanya dua
bangkai dan dua darah saja, karena mafhum laqab tidak dapat menjadi hujjah.
Hadits lain
mengenai hukum makan hewan laut adalah hadits riwayat Abu Hurairah, berbunyi :
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي اَلْبَحْرِ: -
هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ,
وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ
ورواه مالك والشافعي واحمد
Artinya
: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda tentang laut,
"Airnya menyucikan dan halal bangkainya."(Dikeluarkan oleh imam yang
empat, lbnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazh miliknya dan oleh Ibnu Khuzaimah
dan at Tirmidzi. Juga diriwayat oleh Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad)
Menurut
keterangan Imam Nawawi, hadits ini shahih. Masih dalam kitab yang sama, Imam
al-Nawawi mengutip keterangan Qadhi Abu Thaib dan lainnya, mengatakan bahwa
telah terjadi perbedan pendapat mengenai hukum makan hewan laut yang tidak
berbentuk ikan pada umumnya dalam tiga pendapat, yaitu :
1.
Pendapat yang
lebih shahih di sisi sahabat Syafi’i, yaitu halal semuanya. Ini merupakan
pendapat yang disebut oleh Syafi’i dalam al-Um, Mukhtashar al-Muzni dan
Ikhtilaf al-Iraqiyun. Alasannya, nama ikan mencakup semua hewan dalam laut.
Allah SWT berfirman :
حل لكم صيد البحر وطعامه
Artinya : Dihalalkan bagimu perburuan laut dan makanannya (Q.S.
al-Baqarah : 96)
Ibnu Abbas dan lainnya berkata : “Perburuan laut adalah hewan yang
diburu, sedang makanannya adalah sesuatu yang dimuntahnya (makanan yang berasal
dari laut)”. Alasan yang lain adalah berdasarkan sabda Rasululullah SAW : “Air
laut itu menyucikan serta halal bangkainya.”
2.
Haram, ini
merupakan mazhab Abu Hanifah
3.
Hewan laut yang
dimakan semisal dengannya di darat seperti lembu, kambing dan lainnya adalah
halal. Sedangkan hewan laut yang tidak dimakan semisal dengannya di darat
seperti babi laut dan anjing laut, adalah haram.
B. Menggunakan Bejana Orang Musyrik atau Ahli
Kitab
-وَعَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ
الْخُشَنِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: - قُلْتُ: يَا رَسُولَ الْلَّهِ، إِنَّا
بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: "لَا
تَأْكُلُوا فِيهَا، إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا
فِيهَا" - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya : Dari Abu Tsa’labah al-Khusyani r.a. beliau berkata : Aku mengatakan : “Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami tinggak di tengah-tengah
ahli kitab, bolehkah kami makan dengan menggunakan bejana mereka ?” Beliau
bersabda : “Janganlah makan dengannya kecuali jika tidak ada yang lainnya, maka
basuhlah dan makan dalamnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Makna
Secara Umum
Hukum syara’ melarang kita untuk makan dan minum dalam
wadah orang yahudi dan nasrani. Karna mungkin saja terdapat najis di wadah
tersebut menurut kebiasaan mereka, karna mereka tidak memeperdulikan perkara
suci dan najis. Namun apabila dalam keadaan terpaksa maka syara’ membolehkan
bagi kita untuk menggunakan wadah orang yahudi atau nasrani tersebut setelah membasuhnya
dengan air supaya kita tahu kalau kita benar-benar menyucikannya.
Fiqih Hadits
1. Kebolehan menggunakan wadah ahli kitab setelah
membasuhnya.
2. Larangan dalam hadits tersebut menunjukkan kemakruhan
karna menganggap kotor wadah-wadah mereka sebab mereka sering memakai
barang-barang najis.
-وَعَنْ عِمْرَانَ
بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا؛ - أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه
وسلم - وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ اِمْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ. -
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ
Artinya : Dari Imran bin Hushain r.a., sesungguhnya
Nabi SAW dan para sahabatnya berwudhu’ dari bejana milik seorang perempuan
musyrik (Muttafaqun ‘alaihi dalam hadits yang panjang)
Makna Secara Umum
Hadits ini adalah potongan dari hadits yang
panjang. Lafadznya “Sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus sayyidina ali RA dan
sahabat lain yang bersamanya di tengah-tengah perjalanan beliau, dan mereka
kehabisan air, maka Rasulullah SAW berkata pergilah kalian berdua untuk mencari
air, maka mereka berdua berangkat dan bertemu perempuan diantara tempat
perbekalan air diatas unta miliknya, mereka bertanya dimanakah terdapat air?
Perempuan itu menjawab “ kemarin saya menemukan air, Mereka berdua berkata,
pergilah kepada Rosulullah sekarang, kemudian rosulullah berkata dan mengajak
dengan sebuah wadah dan menuangkan di dalamnya dari mulut dua tempat perbekalan
tersebut dan orang-orang diundang,siramilah (dirimu) dan ambillah air (darinya)
,maka mereka menyiram (dirinya) dan mengambil air (darinya)
Fiqih Hadits
1. Sucinya wadah orang musyrik
2. Dibagh (sama’) mampu mensucikan kulit
bangkai, maka tempat perbekalan air (mazadataini) itu dari kulit hewan
sembelihan Orang-orang Musyrik. Sedangkan sesembelihan mereka di hukumi najis
3. Kemurahan agama islam
C. Bejana yang di tambal dengan perak
وَعَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - - أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه
وسلم - اِنْكَسَرَ، فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ. -
أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ
Artinya : Dari
Anas bin Malik r.a., sesungguhnya mangkok Nabi SAW retak, lalu beliau (Anas bin
Malik) menambal tempat yang retak itu dengan sambungan yang terbuat dari perak
(Dikeluarkan oleh Bukhari)
Imam Nawawi menjelaskan dalam
al-Majmu’ bahwa perkataan “فَاتَّخَذ” dalam hadits di atas, mewahamkan yang
menambalkan itu adalah Nabi SAW, padahal tidaklah demikian, karena yang
menambal dalam hadits tersebut adalah Anas bin Malik sendiri. Hal ini sesuai
dengan riwayat lain, berkata Anas bin Malik :
فجعلت
مكان الشعب سلسلة
Artinya : Maka
aku menambal tempat yang retak itu. (H.R. Baihaqi)
Hukum Secara
Umum
Menurut pendapat shahih dalam Mazhab
Syafi’i, haram hukumnya menggunakan bejana yang terdiri perak, karena beramal
dengan hadits Ummi Salamah, beliau berkata :
قَالَ
رَسُولُ الْلَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ
إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya : Dari
Ummi Salamah, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang minum
dalam bejana perak, sesungguhnya ia telah memasukkan dalam perutnya neraka
jahannam (Muttafaqun’alaihi)
Adapun hukum menggunakan bejana yang
ditambal dengan perak adalah sesuai dengan penjelasan di bawah ini :
Imam Syafi’i
mengatakan :“Makruh bejana yang ditambal dengan perak, supaya orang tidak minum
dalam bejana perak.”
Kalangan Syafi’iyah berbeda pendapat
dalam menentukan hukum menambal bejana dengan perak kepada empat pendapat:
1.
Merincikan
dalam empat katagori
Jika
tambalan dengan perak tersebut sedikit dan ada hajad, hukumnya tidak makruh.
Dalilnya adalah hadits riwayat Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Bukhari di
atas. Jika tambalannya sedikit dan karena hiasan, maka hukumnya makruh, karena
tidak ada hajad dan tidak haram dikarenakan hadits riwayat Anas bin Malik,
beliau berkata :
كان
نعل سيف رسول الله صلي الله عليه وسلم من فضة وقبيعة سيفه فضة وما بين ذلك حلق
الفضة
Artinya : Keadaan
bawah sarung pedang Rasulullah SAW adalah dari perak, pegangannya juga dari
perak dan di antaranya itu lingkaran perak.(H.R. Abu Daud dan Turmidzi, dengan
kualitasi hasan) Jika tambalan tersebut besar dan tidak ada hajad, hukumnya
haram, karena perkataan Ibnu Umar : لا يتوضأ ولا يشرب من قدح فيه حلقة من فضة أو ضبة من فضة
Artinya :
Jangan berwudhu’ dan minum dari bejana yang lingkaran dan tambalannya dari
perak (H.R Baihaqi dan lainnya dengan kualitas shahih)
dan atsar dari
Aisyah :
وعن
عائشة رضى الله عنها أنها نهت أن تضبب الاقداح بالفضة
Artinya : Dari
Aisyah r.a, sesungguhnya beliau melarang menambal bejana dengan perak (H.R.
Thabarany dan Baihaqi, dengan kualiatas hasan) dan jika tambalannya besar dan
ada hajad, maka makruh karena banyak dan tidak haram karena ada hajad.
Menurut Imam Nawawi, pendapat ini
adalah pendapat yang lebih shahih dan merupakan pendapat yang masyhur di
kalangan ahli Iraq serta telah meng-qatha’ oleh kebanyakan ahli Iraq. Telah
dishahihkan pendapat ini oleh Syeikh Abu Hamid, al-Muhamily, al-Mawardi,
al-Dariky dan mutaakhirin Syafi’iyah. Mereka ini mempertempatkan nash Imam
Syafi’i di atas dengan pengertian sesuai dengan pendapat ini
2.
Jika tambalan
perak itu terjadi pada bagian yang digunakan seperti bagian yang tersentuh
mulut orang yang minum, maka haram dan jika tidak seperti demikian, maka tidak
haram. Pendapat ini merupakan Abu Ishaq al-Maruzy
3.
Makruh dan
tidak haram dalam keadaan apapun. Yang mengatakan pendapat ini adalah Abu ‘Ali
al-Thabary dan lainnya
4.
Haram dalam
keadaan apapun. Abu Hasan al-Juwaini menghikayah pendapat ini dari Ibnu Umar R.A.dan
Aisyah R.A.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Keharaman
memakan bangkai dan dikecualikan darinya bangkai belalang dan ikan , maka halal
memakan keduanya. Di dalamnya terdapat beberapa perincian ,imam syafi’i dan abu
hanifah mengatakan bangkai belalang halal ditemukan dalam keadaan apapun baik
mati karna terjepit hidungnya atau sebab dibunuh manusia. Sedangkan imam Ahmad
dan imam Malik mengatakan tidak halal kecuali yang matinya sebab manusia
semisal diputus sebagian tubuhnya, atau menyakitinya, atau membakarnya
hidup-hidup, atau memanggangnya, maka
apabila mati terjepit hidungnya atau
(mati sendiri) dalam sebuah wadah maka hukum memakannya haram. Sedangkan ikan,
maka halal memakannya baik yang matinya sebab manusia atau ikan itu keluar dari
air (melompat).Hal ini adalah madzhab jumhur ulama. Dan menurut mereka ikan
yang mati mengambang hukumnya haram. Sedangkan menurut imam Syafi’i tetap
halal.
2.
Keharaman
memakan darah dan dikecualikan darinya hati dan limpa maka halal memakan
keduanya.
3. Kebolehan menggunakan wadah ahli kitab setelah
membasuhnya.
4. Larangan dalam hadits tersebut menunjukkan kemakruhan
karna menganggap kotor wadah-wadah mereka sebab mereka sering memakai
barang-barang najis.
5. Sucinya wadah orang musyrik
6. Dibagh (sama’) mampu mensucikan kulit
bangkai, maka tempat perbekalan air (mazadataini) itu dari kulit hewan
sembelihan Orang-orang Musyrik. Sedangkan sesembelihan mereka di hukumi najis
7. Kemurahan agama islam
8. Menurut pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’i, haram hukumnya
menggunakan bejana yang terdiri perak,
9. Imam Syafi’i mengatakan :“Makruh bejana yang ditambal dengan perak,
supaya orang tidak minum dalam bejana perak.”
10. Jika tambalan dengan perak tersebut sedikit dan ada hajad, hukumnya
tidak makruh
11. Jika tambalan perak itu terjadi pada bagian yang digunakan seperti
bagian yang tersentuh mulut orang yang minum, maka haram dan jika tidak seperti
demikian, maka tidak haram. Pendapat ini merupakan Abu Ishaq al-Maruzy
12. Menambal bejana dengan perak makruh dan tidak haram dalam keadaan
apapun. Yang mengatakan pendapat ini adalah Abu ‘Ali al-Thabary dan lainnya
13. Menambal bejana dengan perak haram dalam keadaan apapun. Abu Hasan
al-Juwaini menghikayah pendapat ini dari Ibnu Umar R.A.dan Aisyah R.A.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah,
Mesir, Juz. I, Hal. 25
2.
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir,
Hal. 23
3.
Al-Maliky, Alwi abbas, Ibanatul Ahkam, juz 1
4.
Hakim Taufiqul, Kamus At-TAufiq