Sabtu, 09 Februari 2013

Makalah tentang ANAK DILUAR NIKAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Pada februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat  putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU - VIII/2010  terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin.  Putusan ini lantas  mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat.
  Putusan  MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan  “mengejutkan”. Walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut.
Atas dasar hal tersebut  diatas, penulis hendak mencoba membedah kedudukan anak  lahir di  luar nikah pasca putusan MK sebagaimana telah disebut sebelumnya.
1.2. Rumusan Masalah   
1.      Apa pengertian anak diluar nikah ?
2.       Bagaimana peresfektik fiqih terhadap anak diluar nikah  ?
3.      Bagaimana hasil keputusan MK terhadap anak Diluar Nikah ?
1.3.. Tujuan Masalah
Tujuan yang ingin dicapai oleh pemakalah dari materi ini antara lain ialah : Para pendengar dan pembaca wabil khusus pemakalah sendiri dapat memahami dari rumusan- rumusan masalah yang ada.










BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian anak diluar nikah  
 Anak  yang lahir di luar nikah, adalah  anak yang lahir dari perkawinan  yang dilakukan  menurut masing- masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian ”sah”  dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun  perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam  kacamata  agama, yaitu sah  secara materiil,  namun karena tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor Catatan Sipil  (anak hasil nikah sirri,  seperti halnya  Machica Mochtar dengan Moerdiono), maka tidak sah secara formil. Untuk istilah ”anak yang lahir di luar perkawinan”, maka istilah ini yang tepat untuk kasus Machica, mengingat anak yang lahir itu sebagai hasil perkawinan dengan memenuhi syar at dan rukun secara agama, namun tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana berkembangnya
persepsi yang salah yang menganggap kasus anak dari Machica dengan Moerdiono sebagai anak hasil zina. Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan ”  di luar perkawinan    karena  perkawinannya  hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, dan tidak memenuhi Pasal 2 ayat 2  UU Nomor 1 Tahun 1974. Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan 2  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah  yang dimaksud dengan perkawinan yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat 1 saja, maka perkawinan itu disebut  ”luar perkawinan”, oleh karena itu pasal 43 ayat 1  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan  itu tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 UU  No. 1  Tahun  1974 tentang perkawinan. Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur pada  pasal 2 ayat 2. Tidak bisa "luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan, karena perbuatan zina itu dilakukan   sama sekali  tanpa ada perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan tanpa perkawinan.  Analoginya bandingkan dengan kata-kata :  saya tidur di luar rumah, artinya rumahnya ada tetapi saya tidur di luarnya,   tetapi kalau saya tidur tanpa rumah, berarti rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika disebut "perkawinan" sudah pasti perkawinan itu sudah dilakukan minimal 8 sesuai dengan pasal 2   ayat 1  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang disebut "  luar perkawinan  ", sedangkan perzinaan sama sekali tidak tersentuh dengan teren  ”perkawinan”.
Anak yang lahir tanpa perkawinan,  adalah  anak yang dilahirkan dari  hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada ikatan perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas pertemuan ovum dengan sperma dari pasangan suami istri yang menikah secara sah  keberadaan anak  melalui Bayi Tabung,  namun anak tersebut ketika dalam masa kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya yang sah. Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil.
Pemahaman yang keliru terhadap putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU- VIII/2010 terutama terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa kepada perdebatan panjang. Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan frasa “ tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau  anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak tercatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil tapi tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau
anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil (anak zina). “Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan dengan perzinahan atau akibat perzinahan, kasus yang melatarbelakangi putusan ini hanya berkaitan dengan  ”pencatatan perkawinan”.
2.3. Presfektif fiqih terhadap anak diluar nikah
            Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah.
Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak. (Al Mabsuth 17/154, Asy Syarhul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338, dan Ar Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828.) Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” (HR: Al-Bukhari dan Muslim)
Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, “Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” (HR: Al Bukhari dan Muslim). Rasulullah telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al Mabsuth 17/154). Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi bersabda, “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam.” (At Tamhid 6/183 dari At Taisir)
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
* Anak itu tidak berbapak.
* Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali. Rasulullah bersabda, “Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali?” (Hadits hasan Riwayat Asy Syafi\’iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.)
Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?
Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang memboleh-kannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa ?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepada-nya padahal pernikahan di masa iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. (Al-Mughniy 6/455.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa, beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).” (Dinukil dari nukilan Al Bassam dalam Taudlihul Ahkam 5/104)
Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta\’ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya danMaha berat siksanya.
Selanjutnya, coba kita pahami beberapa hukum fikih berikut, semoga ini membuat kita semakin merinding dan takut untuk membuka peluang kesempatan bagi lelaki untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Pertama, anak hasil zina (anak di luar nikah) tidak dinasabkan ke bapak biologis.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya (lihat Al Mughni: 9:123).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan tentang anak zina,
ولد زنا لأهل أمه من كانوا حرة أو أمة
“Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.”(HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no.2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.1983)
Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, dinyatakan,
ومن ادعى ولدا من غير رشدة فلا يرث ولا يورث
“Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.” (HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2266)
Dalil lain yang menegaskan hal itu adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,
قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37)
Berdasarkan keterangan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya. Karena itu, tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana Jika Di-bin-kan ke Bapaknya?            
Hukumnya terlarang bahkan dosa besar. Ini berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385)
Karena bapak biologis bukan bapaknya maka haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya. Lantas kepada siapa dia di-bin-kan?
Mengingat anak ini tidak punya bapak yang ‘legal’, maka dia di-bin-kan ke ibunya. Sebagaimana Nabi Isa ‘alaihis salam, yang dengan kuasa Allah, dia diciptakan tanpa ayah. Karena beliau tidak memiliki bapak, maka beliau di-bin-kan kepada ibunya, sebagaimana dalam banyak ayat, Allah menyebut beliau dengan Isa bin Maryam.
Kedua, Tidak ada hubungan saling mewarisi.
Tidak ada hubungan saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya. Memaksakan diri untuk meminta warisan, statusnya merampas harta yang bukan haknya. Bahkan hal ini telah ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya: Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Jika bapak biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak biologisnya, ini bisa dilakukan melalu wasiat. Si Bapak bisa menuliskan wasiat, bahwa si A (anak biologisnya) diberi jatah sekian dari total hartanya setelah si Bapak meninggal. Karena wasiat boleh diberikan kepada selain ahli waris.
Ketiga, siapakah wali nikahnya?
Tidak ada wali nikah, kecuali dari jalur laki-laki. Anak perempuan dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah bapaknya.
Dengan demikian, dia memliki hubungan kekeluargaan dari pihak bapak biologis. Bapak biologis, kakek, maupun paman dari bapak biologis, tidak berhak menjadi wali. Karena mereka bukan paman maupun kakeknya. Lalu siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah
a. Anak laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak.
b. Hakim (pejabat resmi KUA).
2.3. Keputusasan MK
 PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA
           Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
A.  Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUH Perdata. Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak  diberikan untuk anak zina.
Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata). Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata). Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun. Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut anak sah berada di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui  pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
b.    Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.
Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
a. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
b. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkanPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Namun perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup umur; namun perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya  tetap dianggap anak sah. Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya. Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.
B.    Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya. Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUHPerdata. Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuanya. Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan :
1.    Pengakuan sukarela Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan).
Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata. Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
a. Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.
b. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.
c. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
d. Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.
2. Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata. Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).
Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
a. Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b. Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
c. Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
d. Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.




BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Anak  yang lahir di luar nikah, adalah  anak yang lahir dari perkawinan  yang dilakukan  menurut masing- masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian ”sah”  dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun  perkawinan
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut saya dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah. Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya  sehingga tidak menimbulkan pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.
Sedangkan menurut pandangan fiqih anak diluar nikah tidakdapat menjadi waris dari ayah biologisnya,dan ayah biologisnya tidak dapat menjadi wali nikahnya. dan nasab nya disandarkan padaibunya.
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap,

1 komentar: