BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Pada februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak,
yaitu dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU -
VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi
anak luar kawin. Putusan ini lantas mengundang pro dan kontra
dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI,
bahkan masyarakat.
Putusan
MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan “mengejutkan”. Walaupun melegakan sejumlah
pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah
konstitusi tersebut.
Atas
dasar hal tersebut diatas, penulis
hendak mencoba membedah kedudukan anak
lahir di luar nikah pasca putusan
MK sebagaimana telah disebut sebelumnya.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
anak diluar nikah ?
2.
Bagaimana peresfektik fiqih terhadap anak diluar nikah ?
3. Bagaimana
hasil keputusan MK terhadap anak Diluar Nikah ?
1.3.. Tujuan Masalah
Tujuan yang ingin dicapai oleh pemakalah dari materi
ini antara lain ialah : Para pendengar dan pembaca wabil khusus pemakalah
sendiri dapat memahami dari rumusan- rumusan masalah yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian anak diluar nikah
Anak
yang lahir di luar nikah, adalah
anak yang lahir dari perkawinan
yang dilakukan menurut masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya
perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang
demikian ”sah” dalam perspektif fikih
Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata
agama, yaitu sah secara
materiil, namun karena tidak tercatat
baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor Catatan Sipil (anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica Mochtar dengan Moerdiono), maka tidak
sah secara formil. Untuk istilah ”anak yang lahir di luar perkawinan”, maka
istilah ini yang tepat untuk kasus Machica, mengingat anak yang lahir itu
sebagai hasil perkawinan dengan memenuhi syar at dan rukun secara agama, namun
tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana berkembangnya
persepsi yang
salah yang menganggap kasus anak dari Machica dengan Moerdiono sebagai anak
hasil zina. Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan ” di luar perkawinan ”
karena perkawinannya hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1
Tahun 1974, dan tidak memenuhi Pasal 2 ayat 2
UU Nomor 1 Tahun 1974. Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus
dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan perkawinan
yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jika perkawinan
dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat 1 saja, maka perkawinan itu disebut ”luar perkawinan”, oleh karena itu pasal 43
ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan itu tidak berdiri
sendiri, sangat berkaitan dengan adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh
pasal 2 UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu
dilakukan di luar prosedur pada pasal 2
ayat 2. Tidak bisa "luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan,
karena perbuatan zina itu dilakukan
sama sekali tanpa ada perkawinan,
beda sekali antara luar perkawinan dengan tanpa perkawinan. Analoginya bandingkan dengan kata-kata : saya tidur di luar rumah, artinya rumahnya
ada tetapi saya tidur di luarnya,
tetapi kalau saya tidur tanpa rumah, berarti rumahnya tidak ada. Oleh
karena itu jika disebut "perkawinan" sudah pasti perkawinan itu sudah
dilakukan minimal 8 sesuai dengan pasal 2
ayat 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang disebut " luar perkawinan ", sedangkan perzinaan sama sekali tidak
tersentuh dengan teren ”perkawinan”.
Anak yang lahir
tanpa perkawinan, adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada
ikatan perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas pertemuan ovum dengan sperma
dari pasangan suami istri yang menikah secara sah keberadaan anak melalui Bayi Tabung, namun anak tersebut ketika dalam masa
kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya yang sah. Anak yang lahir
demikian tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil.
Pemahaman yang
keliru terhadap putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU- VIII/2010 terutama terhadap
kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa kepada perdebatan
panjang. Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan frasa “
tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir dari perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak tercatat
pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil tapi
tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan orang
tuanya atau
anak yang
dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan
perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara
formil (anak zina). “Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan dengan
perzinahan atau akibat perzinahan, kasus yang melatarbelakangi putusan ini
hanya berkaitan dengan ”pencatatan
perkawinan”.
2.3. Presfektif
fiqih terhadap anak diluar nikah
Semua madzhab yang empat (Madzhab
Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu
tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki
bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu
mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak
tersebut hasil hubungan di luar nikah.
Di dalam hal
ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak
bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak. (Al Mabsuth 17/154, Asy Syarhul Kabir
3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338, dan Ar Raudlah 6/44. dikutip
dari Taisiril Fiqh 2/828.) Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi
(pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).”
(HR: Al-Bukhari dan Muslim)
Dikatakan di
dalam kitab Al-Mabsuth, “Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang
wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si
wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya,
berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki
pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” (HR: Al Bukhari dan Muslim). Rasulullah
telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya
tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan)
nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al Mabsuth 17/154). Ibnu
Abdil Barr berkata, Nabi bersabda, “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu
(kerugian dan penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak
zina di dalam Islam.” (At Tamhid 6/183 dari At Taisir)
Oleh karena itu
anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
* Anak itu
tidak berbapak.
* Anak itu
tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
Bila anak itu
perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim,
karena dia itu tidak memiliki wali. Rasulullah bersabda, “Maka sulthan
(pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali?”
(Hadits hasan Riwayat Asy Syafi\’iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah.)
Satu masalah
lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra dengan
satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi
sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu
hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini
adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu
?
Bila si orang
itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang
memboleh-kannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah,
maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan
dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang
pernikahan wanita di masa ?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa
pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu
sedang dalam masa iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan
kepada-nya padahal pernikahan di masa iddah itu batal dengan ijma para ulama,
berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. (Al-Mughniy
6/455.)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa, beliau berkata, “Barangsiapa
menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah), maka
nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah
(kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada
hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga
setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram,
(maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).” (Dinukil dari nukilan Al Bassam
dalam Taudlihul Ahkam 5/104)
Semoga orang
yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu
wa Ta\’ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya danMaha berat siksanya.
Selanjutnya,
coba kita pahami beberapa hukum fikih berikut, semoga ini membuat kita semakin
merinding dan takut untuk membuka peluang kesempatan bagi lelaki untuk
melampiaskan nafsu birahinya.
Pertama, anak
hasil zina (anak di luar nikah) tidak dinasabkan ke bapak biologis.
Anak zina pada
asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada
ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya (lihat Al
Mughni: 9:123).
Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan tentang anak zina,
ولد
زنا لأهل أمه من كانوا حرة أو أمة
“Untuk keluarga
ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.”(HR. Abu Dawud,
kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no.2268 dan dinilai hasan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.1983)
Dalam riwayat
yang lain, dari Ibnu Abbas, dinyatakan,
ومن
ادعى ولدا من غير رشدة فلا يرث ولا يورث
“Siapa yang
mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak
biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.” (HR. Abu
Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2266)
Dalil lain yang
menegaskan hal itu adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,
قَضَى
النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ
يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا
يَرِثُ
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan
dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak
dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud,
dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Dalil lainnya
adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الولد
للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu
menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”
Imam An-Nawawi
mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak
wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy
bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama
sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita
tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil
yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya
hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak
hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim,
An-Nawawi, 10:37)
Berdasarkan
keterangan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI
bukan anak bapaknya. Karena itu, tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana Jika Di-bin-kan
ke Bapaknya?
Hukumnya
terlarang bahkan dosa besar. Ini berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
من
ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang
mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga
haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385)
Karena bapak
biologis bukan bapaknya maka haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya.
Lantas kepada siapa dia di-bin-kan?
Mengingat anak
ini tidak punya bapak yang ‘legal’, maka dia di-bin-kan ke ibunya. Sebagaimana
Nabi Isa ‘alaihis salam, yang dengan kuasa Allah, dia diciptakan tanpa ayah.
Karena beliau tidak memiliki bapak, maka beliau di-bin-kan kepada ibunya,
sebagaimana dalam banyak ayat, Allah menyebut beliau dengan Isa bin Maryam.
Kedua, Tidak ada
hubungan saling mewarisi.
Tidak ada
hubungan saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena
sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya. Memaksakan
diri untuk meminta warisan, statusnya merampas harta yang bukan haknya. Bahkan
hal ini telah ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya: Abdullah bin Amr bin Ash
mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak
dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan
wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR.
Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Jika bapak
biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak biologisnya, ini bisa
dilakukan melalu wasiat. Si Bapak bisa menuliskan wasiat, bahwa si A (anak
biologisnya) diberi jatah sekian dari total hartanya setelah si Bapak
meninggal. Karena wasiat boleh diberikan kepada selain ahli waris.
Ketiga,
siapakah wali nikahnya?
Tidak ada wali
nikah, kecuali dari jalur laki-laki. Anak perempuan dari hasil hubungan zina
tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah bapaknya.
Dengan
demikian, dia memliki hubungan kekeluargaan dari pihak bapak biologis. Bapak
biologis, kakek, maupun paman dari bapak biologis, tidak berhak menjadi wali.
Karena mereka bukan paman maupun kakeknya. Lalu siapakah wali nikahnya? Orang
yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah
a. Anak
laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak.
b. Hakim
(pejabat resmi KUA).
2.3.
Keputusasan MK
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
A. Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut
undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863
KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar
kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam
3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai
dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo
283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak
mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUH Perdata. Pembagian
seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri)
atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak
sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah,
tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata, dapat
diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang
yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273
KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya.
Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan
perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan
kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui
dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata).
Perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina.
Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan
atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu
salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan
hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain
atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina
adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat
perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang
dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang
antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling
menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang
dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,
yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada
larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui
secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata). Hubungan antara ibu dan anak
terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu
"overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak hanya
terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata). Pasal 280
KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap
seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau
ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah"
(biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum.
hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau
"ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan
demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu
bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun. Kalau
kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa
hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya
hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak
luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya,
didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan demikian,
hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan
dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas
adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris
yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah.
Selain hal tersebut anak sah berada di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana
diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui
secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306
KUHPerdata.
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi
ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan
menjadi ahli waris melalui pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur
dalam Pasal 874 KUHPerdata.
b. Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus
sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi
oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si
anak menghendakinya.
Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli
waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin.
Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak
pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata
dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata
tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin.
KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana
diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap
anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan
batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa
yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
a. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
b. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkanPerkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu.” Namun perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan
Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam, karena
Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun
keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan
anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Begitu pula di
dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun
1946 Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab
dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup umur; namun perkawinan
tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara
hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat
dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak
hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang
mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil
dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya
pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya
tetap dianggap anak sah. Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab
kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial
atau batu hukuman.” Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab
(hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia
adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah
mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya
layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada
ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya. Pasal
42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi
anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah.
Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai
bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan
sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat
menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.
B. Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki
hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah.
Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang
tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak
maupun ibu biologisnya. Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan
dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2)
disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut
dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh
pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini
KUHPerdata. Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu
pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin
dengan orang tuanya. Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan
:
1. Pengakuan sukarela Pengakuan sukarela yaitu : suatu
pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan
undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah
dilahirkan di luar perkawinan).
Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan
si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280
KUHPerdata. Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan
dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
a. Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata,
untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau
kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan
sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.
b. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat
perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan
sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan
ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.
c. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta
oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1)
KUHPerdata.
d. Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan
dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.
2. Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat
dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara
mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar
supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau
ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata. Anak luar kawin
yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang
terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di
antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak
sumbang).
Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4
(empat) golongan, yaitu :
a. Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah
bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b. Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau
keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856,
dan 857 KUHPerdata.
c. Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus
terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat
(1) KUHPerdata.
d. Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai
tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861,
832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Anak yang lahir di luar nikah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing- masing agamanya dan
kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika
dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian ”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang
memenuhi syarat dan rukun perkawinan
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di
atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah
berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus
didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan
adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu
pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada
penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah,
maka menurut saya dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan
mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah. Mengharapkan
pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan
perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan
kepercayaannya sehingga tidak menimbulkan pendapat/ opini yang tumpang
tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta
rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.
Sedangkan menurut pandangan fiqih anak diluar nikah
tidakdapat menjadi waris dari ayah biologisnya,dan ayah biologisnya tidak dapat
menjadi wali nikahnya. dan nasab nya disandarkan padaibunya.
Semua
madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat
bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti
dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang
menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak
dianggap,
kang untuk daftar pustakanya gmna?
BalasHapus