BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat indah dan sangat sarat akan makna itu tidaklah
mudah. Apalagi Al-Qur’an merupakan mukjizat terindah dan teragung yang
diberikan kepada nabi besar kita Muhammad SAW, kitab suci yang menjadi pedoman
hidup umat islam yang menuntun kita untuk meraih kebahagiaan hakiki yaitu
menggapai keridhoannya semata. Salah satu sarana dari sekian banyak disiplin
ilmu yang dapat dipergunakan untuk mencapai maksud itu adalah balaghoh, karena
balaghoh merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kejernihan jiwa dan
ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara
macam-macam uslub (ungkapan).
Dengan
demikian kami sebagai pemakalah akan menjelaskan makna yang terkandung dan
penjelasan balaghoh pada surat Al-‘Adiyat .
1.2
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini penulis akan membahas seputar :
1.
Bagaimana shorhul
mufrodat dari surat Al-‘Adiyat ?
2.
Bagaimana shorhul makna
dari surat Al-‘Adiyat ?
3.
Bagaimana shorhul
Balaghoh dari surat Al-‘Adiyat ?
1.3
Tujuan Makalah
Dalam
pembuatan makalah ini, penulis bertujuan untuk membantu para pembaca khususnya
para mahasiswa agar dapat mengetahui dan memahami tentang Surat
Al-‘Adiyat.
1.4
Manfaat Makalah
Dalam
pembuatan makalah ini, semoga kita dapat mengambil banyak manfaat diantaranya
kita dapat mengetahui dan memahami tentang Surat Al-‘Adiyat.
BAB II
PEMBAHASAN
بسم الله الرحمن الرحيم
والعديت ضبحا (1) فا
لموريت قدحا (2) فا لمغيرت صبحا (3) فاثرن به نقعا (4) فوسطن به جمعا (5) إن
الإنسان لربه لكنود (6) وإنه على ذلك لشهيد (7) وإنه لحب الخير لشديد (8) افلا
يعلم إذا بعثر ما في القبور (9) و حصل ما في الصدور (10) إن ربهم بهم يومئذ لخبير
(11)
“ (1) Demi yang berlari kencang
terengah-engah, (2) dan yang mencetuskan api, (3) dan yang menyerang dengan
tiba-tiba di waktu pagi,(4) maka ia menerbangkan debu, (5)dan menyerbu ke
tengah-tengah kelompok,(6) Sesungguhnya manusia, terhadap Tuhannya sangat
ingkar,(7) dan sesungguhnya dia atas hal itu menjadi saksi, (8) dan
sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir. (9) Maka apakah dia
tidak mengetahui apabila dibongkar apa yang ada di dalam kubur, (10) dan
dilahirkan apa yang ada di dalam dada?(11) Sesungguhnya Tuhan mereka terhadap
mereka pada hari itu Maha Mengetahui.”
2.1 Shorhul
Mufrodat
Ø
Ayat pertama sampai kelima
“(1)
Demi yang berlari kencang terengah-engah, (2) dan yang memercikkan bunga api
(dengan pukulan kuku kakinya),(3) dan kuda yang menyerang (dengan tiba-tiba)
pada waktu pagi,(4) sehingga menerbangkan debu, (5) lalu menyerbu ke
tengah-tengah kumpulan musuh,”
Kata
العا ديات ) ( Al-‘Adiyat
terambil dari kata (عدا - يعدو) ‘ada - ya’du yang berarti jauh atau
melampaui batas. Dari akar kata itu terbentuk aneka bentuk dengan makna
yang beragam, namun kesemuanya mengandung makna jauh. Misalnya (عدو) ‘aduw / musuh karena yang
bermusuhan berjauhan hati, pikiran, dan atau fisik; (العدو) al-‘aduw / berlari dengan cepat karena
yang bersangkutan dengan kecepatannya dapat menempuh jarak yang jauh dalam
waktu yang relatif lebih singkat dibanding langkah-langkah biasa. Demikian juga
kata (عدوان) ‘udwan / agresi karena yang
melakukannya telah berada jauh dari kebenaran dan keadilan.
Kata
العا ديات ) ( Al-‘Adiyat secara harfiah berarti
yang berlari kencang. Kata ini tidak menjelaskan apa atau siapa yang
melakukannya. Ada yang berpendapat kuda dan menurut sementara penganut
pendapat ini yang dimaksud adalah kuda yang digunakan kaum muslimin dalam
peperangan Badr, yaitu peperangan pertama dalam sejarah islam (624 M). Ada lagi
yang memahami al-‘adiyat adalah unta. Dalam hal ini, ada yang
menyatakan bahwa unta dimaksud adalah yang membawa jama’ah haji dari Arafah ke
Muzdalifah. Pendapat kedua ini berdasar sebuah riwayat yang disandarkan kepada
Ibn ‘Abbas ra. yang menurut riwayat itu menguraikan pendapat Sayyidina Ali Ibn
Abi Thalib ra.
Memahami
al-‘adiyat yang berbentuk jamak (lebih dari dua) dalam arti kuda yang
digunakan dalam Perang Badr tidak sejalan dengan informasi sejarah bahwa ketika
itu kaum muslimin hanya menggunakan dua ekor kuda. Tetapi, di sisi lain, kata al-muriyat
tidak mendukung memahaminya dalam arti unta-unta apalagi jika
dikatakan yang larinya mengakibatkan debu-debu beterbangan.
Kata
(ضبحا
) dhabhan
diartikan sebagai “suara yang terdengar dari mulut kuda pada saat ia berlari kencang”
dan juga diartikan sebagai “suara kelinci, kancil, dan anak panah ketika lepas
dari busurnya.”
Kata
( الموريت)
al-muriyat menunjuk kepada pelaku yang menyalakan
api. Kata ini diambil dari kata (
وريا -
ورى ) wara –
waryan atau ( يري - وري )
wariya – yari, yakni menyalakan api. Sedang, kata (قدحا
) qadhan
terambil dari kata (قدح ) qadaha yang pada mulanya
berarti mengeluarkan atau memercikkan baik air dari kolam, kuah
dari mangkuk, atau api dari batu, dengan catatan bahwa yang keluar itu sedikit.
Karena itu, al-muriyat qadhan dipahami dengan arti yang berlari kencang
sehingga menimbulkan percikan-percikan api yang terjadi akibat benturan kaki
yang melaju di tengah batu-batuan sepanjang jalan.
Huruf
( ف)
fa yang mendahului kata al-muriyat menunjukkan
bahwa percikan api tersebut adalah akibat dari lari yang cepat itu atau bahwa
itu terjadi sesaat setelah terjadinya lari yang cepat itu. Unta, walaupun dapat
menyaingi kuda dalam kecepatan larinya, binatang ini tidak menimbulkan percikan
api ketika sedang berlari betapapun kencang larinya. Kalau demikian, tidaklah
wajar kata al-adiyat dipahami dengan unta-unta. Sebagaimana tidak
tepat menafsirkan al-muriyat dengan “para jamaah haji yang berkemah
sambil menyalakan api di Arafah.”
Kata
(ا لمغيرت)
al-mughirat adalah benntuk jamak dari kata (ا
لمغير ) al-mughir.
Ia terambil dari kata (أغار )
aghara yang pada mulanya berarti bercepat-cepat melangkah.
Tetapi, pada umumnya yang dimaksud adalah serangan mendadak dan cepat yang
dilakukan dengan mengendarai kuda. Kuda di sini terlibat lagi, yakni
bahwa kata aghara dan mughirat dari segi bahasa dapat dipahami
bahwa pelakunya adalah kuda. Ini adalah penggunaan bahasa pada mulanya,
walaupun dalam perkembangan lebih jauh kata tersebut telah diartikan sebagai serangan
mendadak, siapa pun pelakunya. Serangan melalui pesawat udara pun dinamai ( غارة جوية )
gharah jawwiyyah.
Kata
(صبحا )
shubhan \ waktu subuh menggambarkan dadakan serangan itu sehingga
menjadi paniklah kelompok yang diserang itu. Al-Qur’an secara umum menggunakan
kata (صبح )
shubh, (صباح )
shabah, dan (مصبحين )
mushbihin yang kesemuanya terambil dari akar kata
yang sama, dalam arti dadakan atau ancaman.
Kata
( جمعا
) jam’an
digunakan oleh al-Qur’an dalam arti “Kelompok yang besar dan yang selalu
menduga akan mampu meraih kemenangan,”
Ø
Ayat keenam sampai
ketujuh
(6)
Sesungguhnya manusia, terhadap Tuhannya sangat ingkar,(7) dan sesungguhnya dia
atas hal itu menjadi saksi,
Kata
(كنود)
kanud adalah bentuk superlatif dari kata (كند
)
kanada. Kata ini pada mulanya berarti “tanah yang tidak ditumbuhi
sesuatu atau dengan kata lain tandus”. Dari sini, maknanya berkembang
menjadi durhaka, kafir, kikir, dan tidak bersyukur. Bentuk superlatif itu
mengisyarakat berapa besar kekufuran dan kekikiran yang bersangkutan
sampai-sampai enggan memberi bantuan walaupun dalam hal-hal yang kecil
sekalipun. Dalam konteks ini, Rasul bersabda : “Tahukah kalian, apa yang
dimaksud dengan al-kanud?”. Para sahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui.” Nabi bersabda : “Al-Kanud adalah orang yang tidak mensyukuri
nikmat, yang memukul hamba sahaya (termasuk pembantunya), yang menghalangi
(bantuan dalam bentuk) memboncengkan seseorang di kendaraannya, serta yang
makan sendirian.” (HR. Ath-Thabarani melalui Abu Umamah al-Bahili). Hadits ini walau
nilainya lemah, namun contoh-contoh yang dikemukakan dapat dinilai tepat.
Ulama berbeda
pendapat menyangkut siapa yang dimaksud dengan kata (إنه) innahu / sesungguhnya dia. Apakah Dia Allah ataukah dia
manusia yang kufur dan kikir itu? Dengan memerhatikan susunan redaksi
ayat-ayat berikut yang kesemuanya
berbicara tentang manusia yang kufur lagi kikir itu, demi menjaga keserasian
makna dan susunan redaksi ayat-ayat sebelumnya, tentu saja lebih tepat memahami
ayat tujuh ini pun menunjuk kepada manusia tersebut.
Kata (شهيد) syahid terambil dari kata (شهد) syahida / menyaksikan. Kesaksian
manusia tentang kekikirannya pasti akan terjadi di akhirat nanti, namun di
dunia ini pun kesaksian itu dapat terlaksana. Ayat QS. Al-A’raf [7] :37
menjelaskan bahea manusia pada saat-saat menjelang kematiannya, bersaksi atas
dirinya bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Kesaksian itu Sangat logis
karena ketika itu setiap orang akan mengalami kesadaran penuh tentang
kesalahan-kesalahannya, tentunya termasuk mereka yang enggan bersyukur (kikir)
itu. Fir’aun sendiri, tokoh yang menjadi lambang kedurhakaan kepada Allah,
menyadari kesalahan-kesalahannya dan menyatakan keimanannya sesaat sebelum
nyawanya terpisah dengan tubuhnya.
Bisa juga kata syahid
di atas adalah kesaksian manusia tentang kekikirannya dalam kehidupan dunia ini
begitu pula dalam kesehariannya, yaitu dengan kesadarannya akan keburukab sifat
kikir. Semua orang mengakui kekikiran adalah sifat tercela. Sebaliknya,
kemurahan adalah sikap terpuji. Pengakkuan ini bersifat universal dan sangat
manusiawi. Ia diakui walau oleh orang-orang kikir sekalipun. Karena itu, mereka
enggan dinamai kikir. Nah, pada saat mereka enggan memberi bantuan padahal hati
kecil mereka mengakui bahwa kekikiran adalah sifat atau sikap yang tidak
terpuji, ketika itu ia telah mengakui bahwa dirinya bersifat kikir. Demikian
tiga makna yang dapat dikandung oleh kata syahid pada ayat ke-7 ini.
Ø
Ayat ke delapan
(8)
dan sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir.
Perbedaan
makna itu terlahir akibat perbedaan pemahaman menyangkut arti huruf lam
pada kata (لحب ) li hubbi.
Ia dapat dipahami dalam arti disebabkan karena atau oleh karena,
juga terhadap atau dalam hal.
Kata
(الخير)
al-khair biasa diartikan kebaikan. Tetapi, yang dimaksud di sini
adalah harta benda. Demikian pendapat mayoritas ulama. Surat al-Baqarah
[2] : 180 juga menggunakannya untuk makna itu. Hal ini, menurut sementara
ulama, untuk memberi isyarat bahwa harta benda harus diperoleh dan digunakan
untuk tujuan kebaikan. Dapat juga dikatakan bahwa ia dinamai demikian untuk
memberi isyarat bahwa harta benda adalah sesuatuyang baik semakin banyak ia
semakin baik. Yang menjadikan harta tidak baik adalah kecintaan yang berlebihan
terhadapnya dan yang mengantar seseorang untuk bersifat kikir, atau
menggunakannya bukan pada tempatnya.
Kata
(شديد
) syadid terambil dari kata (شد
)
syadda yang diantara lain berarti menguatkan ikatan, baik
bersifat material maupun non-material. Dalam kaitannya dengan al-khair yang
diartikan dengan harta benda, mengikatnya, baik secara material maupun
non-material berarti enggan mengeluarkannya atau, dengan kata lain, kikir.
Karena sesuatu yang terikat berarti tidak terbuka, baik ia tangan maupun hati.
Kalau kata terikat (terkunci) dikaitkan dengan li hubbi yang diartikan “dalam
hal kecintaan”, keterkaitan dengan kecintaan menunjukkan kemantapan cinta
tersebut. Kata (لشديد )
la syadid diartikan sangat keras atau berlebih-lebihan. Kecintaan
yang amat sangat dan berlebih-lebihan pada akhirnya mengantar kepada kekikiran.
Kata (شديد )
syadidi biasa digunakan al-Qur’an dalam konteks ancaman dan siksa-Nya di
akhirat kelak atau perlindungan dari gangguan orang-orang yang berlaku aniaya.
Hal ini berarti bahwa ayat yang ditafsirkan ini pada akhirnya mengandung
ancaman dan kecaman bagi setiap orang yang terlalu mencintai harta benda.
Ø
Ayat ke sembilan sampai
ke sebelas
(9)
Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibongkar apa yang ada di dalam kubur,
(10) dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada?(11) Sesungguhnya Tuhan mereka
terhadap mereka pada hari itu Maha Mengetahui.”
Kata
( بعثر
) bu’tsira pada asalnya berarti membolak-balik
sesuatu. Kata ini memberi kesan adanya semacam kegelisahan dan
ketergesa-gesaan, seperti keadaan seseorang yang membuka lemari ketika mencari
sesuatu dengan tergesa-gesa. Keadaan serupa dalam bentuk yang lebih besar dan
serius kelak akan terjadi di dalam kubur. Di sana, dibongkar dan di cari segala
sesuatu disertai dengan ketergesa-gesaan membongkar serta kegelisahan siapa
yang dibongkar isi hatinya.
Kata
(حصل)
hushshila biasa juga diartikan dengan memisahkan,
mengemukakan, atau menghimpun, kata ini berasal dari kata (حوصل ) haushal
dan (حوصلة )
haushalah. Bila kata ini dinisbahkan kepada burung, yang dimaksud adalah
“pencernaan”-nya. Kalau pada kolom adalah “bagian kolom yang paling dasar”.
Tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata lain yang dibentuk oleh akar kata ini.
Kata
(الصدور)
ash-shudur adalah bentuk jamak dari kata (الصدر
)
ash-shadr yang biasa diterjemahkan dengan dada.
Kata ini secara umum diartikan hati manusia dan atau gejolak serta detak-detiknya.
Dengan demikian, dipahami bahwa kelak di hari Kemudian akan dibongkar dan
dicari segala sesuatu yang terdapat dalam lubuk jiwa manusia, bahkan bawah-sadarnya
pun akan diperiksa. Di hari Kemudian, semua terbongkar, terbuka, dan jelas.
Detak-detik kalbu pun dapat diketahui, apalagi perbuatan-perbuatan yang
mempunyai wujud di alam nyata, walau
tidak terlihat oleh orang lain. Sebagian ulama memahami kata (حصل) hushshila dalam arti dihimpun sehingga, menurut
mereka, ayat ini menginformasikan bahwa segala amal perbuatan manusia akan
dihimpun di dalam satu kitab, yakni kitab amalan.
Penggunaan
kata (ربهم)
Rabbahum yang berarti Tuhan Pemelihara dan Pendidik mereka kendati
ayat ini dalam konteks ancaman mengisyaratkan bahwa segala yang dilakukan Tuhan
tidak terlepas dari pendidikan dan pemeliharaan-Nya, walaupun hal tersebut
dalam bentuk ancaman dan siksaan.
Kata
(خبير)
khabir terambil dari kata ( خبر ) khabar yang menurut asal penggunaan bahasa, berarti sumber
air di pegunungan. Ia juga berarti pencarian untuk mencapai pengetahuan
yang pasti tentang hakikat sesuatu. Sedangkan, dalam pemakaian sehari-hari,
kata khabir diartikan sebagai tenaga ahli. Sementara itu, (إختبار
)
ikhtibar berarti “ujian”. Imam Ghazali menjelaskan bahwa kata ini, bila
yang demaksud dengannya adalah Tuhan, iamengandung arti pengetahuan-Nya
menyangkut hal-hal yang mendetail dan terperinci serta yang tersembunyi, pasti
diketahui oleh-Nya.
Kata
yauma’idzin / pada hari itu didahulukan, walau Allah telah
mengetahui secara detail sejak kini bahkan sebelum terjadinya suatu aktivitas,
agaknya disebabkan yang dimaksud dengan informasi tentang pengetahuan-Nya itu adalah
balasan dan ganjaran-Nya; yang baru akan terjadi ketika itu. Bukankah balasan
dan ganjaran itu berdasarkan pengetahuan-Nya? Di sisi lain, ayat ini ditujukan
kepada orang-orang yang lalai, yang tidak menyadari bahwa Allah mengetahui
detak detik hatinya. Kini mereka belum menyadari bahwa Allah mengetahuinya.
Kelak, ketika itu baru mereka sadar, dan untuk itulah maka ayat di atas
menegaskan bahwa ketika itu mereka menyadari hal tersebut. Ini serupa
dengan firman-Nya : (مالك يوم الدين ) malik yaum ad-din /
yang menguasai hari Pembalasan. Walaupun Allah menguasai hari duniawi,
karena sebagian manusia ada yang menolak atau tidak mengakui secara jelas hal
itu, baik dengan kata-kata atau sikapnya, kekuasaan yang secara tegas
ditekankan dan dagarisbawahi adalah kekuasaan di hari Kemudian.
2.2 Shorhul
Makna
v
Ayat pertama sampai
lima
“Demi
yang berlari kencang terengah-engah, dan yang mencetuskan api, dan yang
menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan
menyerbu ke tengah-tengah kelompok.”
Ayat-ayat
ini dipahami dalam arti gambaran tentang dadakan kehadiran Kiamat. Seperti
dadakan serangan tentara berkuda di tengah-tengah kelompok yang merasa dirinya
kuat, tetapi ternyata mereka diporakpondakan. Permisalan yang dikemukakan
ayat-ayat di atas boleh jadi tidak berkenan atau berkesan di hati sebagian
orang yang hidup pada abad ke-20 ini. Abad ini adalah abad peluru kendali,
senjata nuklir, dan perang bintang sehingga dapat saja kesan itu mengantar
kepada pernyataan bahwa apa yang diungkapkan Al-Qur’an sudah ketinggalan zaman.
Kita tidak dapat mengabaikan kesan tersebut, namun pada saat yang sama, kita
harus menyadari bahwa seandainya ayat-ayat di atas menggambarkan mandadaknya
Kiamat dengan gambaran yang dikenal atau dapat berkesan di hati generasi abad
ke-20 ini, pasti gambaran tersebut tidak akandipahami oleh mereka yang hidup
pada masa turunyya Al-Qur’an. Di sisi lain, tidak mustahil gambaran yang
mengesankan generasi abad ke-20 akan dinilai oleh generasi abad ke-21 dan
menyarankan kepada semua pihak yang membaca Al-Qur’an agar tidak bersifay
egoistis dengan mengharapkan gambaran serta petunjuk-petunjuk Al-Qur’an ditujukan untuk dirinya atau generasinya
saja. Al-Qur’an turun kepada masyarakat abad ke-6, juga abad ke-20, dan
abad-abad selanjutnya. Masing- masing dapat memetik petunjuk-petunjuk yang
bermanfaat serta nilai-nilai yang terkandung dalam redaksi petunjuknya
seandainya pesan harfiahnya tidak sejalan denag pengalaman hidup atau perubahan
sosial mereka. Apalagi memang tidak ada suatu ajaran yang universal sekalipun
yang menguraikan ide dan nilai-nilai ajarannya dengan memberikan contoh-contoh
yang seluruhnya bersifat universal pula, atau mengemukakannya dengan bahasa
yang dipahami atau digunakan oleh seluruh manusia, seluruh generasi, kapan dan
dimana pun mereka berada. Tidak ada yang demikian, Semuanya selalu memulai
dengan bahasa dan contoh yang dialami pada lokasi dan waktu dimana ia muncul
agar pesan-pesannya dapat dimengerti dan diamalkan terlebih dahulu oleh
masyarakat tersebut. Ajaran Tuhan dalam kitab-kitab suci demikian juga. Ini
adalah akibat keterbatasan makhluk manusia sehingga Dia menyesuaikan
petunjuk-petunjuk-Nya denagn sifat manusia yang serba terbatas itu.
Gambaran
tentang Kiamat yang dikemukakan oleh lima ayat pada awal surah ini sungguh
sangat berkesan bagi mereka yang hidup pada masa turunnya Al-Qur’an, jauh
melebihi kesan yang kita peroleh sekarang ini. Tetapi, kita pun dapat
memahaminya dengan baik jika memahami bagaimana kondisi mereka ketika itu sehingga nilai pesamn-pesannya atau substansi
peringatannya mampu kita temukan.
v
Ayat keenam sampai
tujuh
“Sesungguhnya
manusia, terhadap Tuhannya sangat ingkar dan Sesungguhnya dia atas hal itu
menjadi saksi.”
Pada
ayat-ayat lalu Allah bersumpah untuk manyakinkan para pendengarnya tentang
hakikat kerugian besar yang pasti akan dialami oleh mereka yang dilukiskan oleh
ayat-ayat di atas. Kerugian tersebut baru disadarisetelah terjadi dan tidak
dapat diperbaiki lagi, persis seperti serangan mendadak yang digambarkan oleh
ayat-ayat yang lalu. Di sini, Allah menjelaskan siapa yang merugidan celaka itu
dengan menyatakan bahwa : Sesungguhnya jenis manusia secara umum,
khususnya terhadap Tuhan Pemelihara yang selalu berbuat baik kepada-Nya
sangat ingkar sehingga tidak bersyukur kepada-Nya, Dan sesungguhnya dia
secara pribadi atas hal itu, yakni keingkaran itu, menjadi saksi.
v
Ayat ke delapan
“Dan
sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir.”
Pada ayat-ayat yang lalu telah
dikemukakan bahwa manusia memiliki sifat kikir dan bahwa kekikirannya itu
disaksikannya sendiri. Ayat 8 ini mengemukakan sifat lain manusia sekaligus
dapat merupakan penjelasan mengapa ia begitu kekei. Ayat diatas dapat dipahami
dalam arti : Dan sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir
atau sesunngguhnya dia menyangkut kecintaan terhadap harta sangat keras. Yakni,
cintanya kepada harta meluap-luap dfan berlebih-lebih.
Ayat di atas tidak dapat dipahami
bahwa Al-Qur’an melarang seseorang memiliki harta, betapapun banyaknya, selama
cara dan penggunaannya benar dan baik. Yang dilarangnya adalah sikap terlalu
cinta terhadap harta sehingga menjadikan seseorang kikir dan lupa akan
kewajiban-kewajibannya. Nabi Sulaiman as. adalah seorang Nabi yang kaya raya.
Kekayaan beliau melimpah, kekuasaannya pun mencakup kerajaan manusia, jin, dan
binatang. Apa yang dimilikinya itu tidak mengurangi sedikit pun kedudukannya di
sisi Allah karena harta dan kekuasannya tidak menjadikan beliau lengah atau
berlarut-larut di dalam kelengahan.
Hati seseorang memang tidak dapat
mencintai dua hal dalam kadar dan waktu yang sama, apalagi bila keduanya
bertentangan. Kecintaan kepada dunia dan kecintaan kepada Allah adalah dua
jenis kecintaan yang berbeda. Setiap kecintaan kepada sesuatu mempunyai dua
bentuk atau tingkat.
Pertama,
sesuatu yang dicintai menjadi pusat dan landasan bagi segala aktivitas, emosi,
cita-cita, dan harapan si pecinta. Di sini, mungkin yang bersangkutan melakukan
hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan apa yang dicintainya itu, tetapi
ini hanya bersifat sementara, segera sesudahnya ia akan kembali ke landasan
kecintaannya. Bukankah itu merupakan pusat segala aktivitasnya?
Kedua, kecintaan
kepad sesuatu telah mendarah daging pada diri seseorang, bersenyawa dengan
kepribadiannya, sehingga ia tidak lagi melihat sesuatu kecuali apa yang
dicintainya. Segala aktivitasnya hanya bertumpu kepadanya, demikian pula emosi
dan harapannya, tidak ada lagi hubungan sekunder. Berbeda dengan bentuk
pertama.
Cinta terhadap apa pun tidak
terlepas dari kedua bentuk di atas, baik cinta kepada Allah maupun kepada
benda. Seseorang yang mengaku cinta kepada Allah dalam bentuk pertama yang
dikemukakan di atas dapat melakukan apa saja yang tidak berkaitan dengan objek
kecintaannya, bahkan mungkin bertentangan dengannya, tetapi yang demikian itu
hanya bersifat sementara. Sehingga, bila pekerjaan-pekerjaan tersebut
dihadapkan dengan kecintaannya kepada dunia atau dia berada dalam posisi
memilih salah satunya, pasti yang dipilihnya adalah yang sesuai dengan objek
kecintaannya, serta yang menjadi pusat dan landasan segala akyivitasnya.
Seseorang dapat mengukur dirinya ketika dihadapkan dengan pilihan semacam ini.
Ada orang yang mencintai harta benda seperti yang digambarkan dalam bentuk
pertama, ada pula dalam bentuk kedua yang jauh lebih keras dari bentuk pertama.
Bentuk kedua ini mengantarnya untuk mempergunakan segala daya dan cara demi
memeroleh apa yang dicintainya itu dan dia tidak akan pernah puas.
Bagi mereka yang seperti ini, Tuhan
tidak mempunyai tempat lagi di dalam hatinya, dan Tuhan pun tidak akan
memberinya tempat yang layak. “Siapa yang menjadikan dunia sebagai tumpuan
perhatiannya, sedikit pun tidak akan diperolehnya dari Allah.” Pada ayat di
atas, Allah mengecam orang-orang yang mencintai harta benda secara
berlebih-lebihan, baik yanfg digambarkan dalam bentuk pertama, lebih-lebih
dalam bentuk kedua. Yang diharapkan adalah menjadikan kecintaan kepada Allah
sebagai sumber segala aktivitas. Kalau tidak dapat mencapai puncak kecintaan
itu, paling tidak kecintaan bentuk pertamalah yang harus diraih.
v
Ayat ke sembilan sampai
sebelas
“Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibongkar
apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada?
Sesungguhnya Tuhan mereka terhadap mereka pada hari itu Maha Mengetahui.”
Ayat-ayat
lalu berbicara tentang yang kecintaannya kepada harta benda berlebihan.
Ayat-ayat di atas melanjutkan kecamannya kepada mereka dengan menyatakan : Maka
, apakah dia, manusia yang kikir dan amat mencintai harta itu, tidak
mengetahui apa yang akan dialaminya apabila dibongkar dengan mudah apa
yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan, serta dipisahkan apa yang ada
di dalam dada dari kebaikan dan keburukan? Sesungguhnya Tuhan
Pendidik dan Pemelihara mereka terhadap mereka pada hari dibongkarnya
segala sesuatu di dalam kubur itu Maha Mengetahui.
Dari
ayat di atas didahulukannya kata yauma’idzin / pada hari itu, walau
Allah telah mengetahui secara detail sejak kini bahkan sebelum terjadinya suatu
aktivitas, agaknya disebabkan yang dimaksud dengan informasi tentang
pengetahuan-Nya itu adalah balasan dan ganjaran-Nya ; yang baru akan terjadi
ketika itu. Bukankah balasan dan ganjaran itu berdasarkan pengetahuan-Nya? Di
sisi lain, ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang lalai, yang tidak
menyadari bahwa Allah mengetahui detak detik hatinya. Kini mereka belum
menyadari bahwa Allah mengetahuinya. Kelak, ketika itu baru mereka
sadar, dan untuk itulah maka ayat di atas menegaskan bahwa ketika itu
mereka menyadari hal tersebut. Ini serupa dengan firman-Nya (مالك
يوم الدين ) malik
yaum ad-din / yang menguasai hari Pembalasan. Walaupun Allah menguasai hari
duniawi, karena sebagian manusia ada yang menolak atau tidak mengakui secara
jelas hal itu, baik dengan kata-kata atau sikapnya, kekuasaan yang secara tegas
ditekankan dan dagarisbawahi adalah kekuasaan di hari Kemudian.
“Pada
hari itu”, yakni ketika terbongkar apa-apa yang terdapat di dalam kubur,
dan ditemukan apa-apa yang tersermbunyi atau disembunyikan di dalam lubuk hati
atau bawah sadar, barulah manusia sadar Allah SWT. Khabir / Maha Mengetahui.
Demikian
surah ini memulai dengan sumpah yang mengandung ilustrasi tentang kehadiran
Hari Kiamat dengan dadakannya, lalu diakhiri dengan uraian tentang
terbongkarnya segala sesuatu sejak di dalam kubur dalam perjalanan manusia
menuju hari Kebangkitan itu. Kalau dalam kehidupan dunia ini manusia lengah
sehingga tangannya tertutup dan hatinya sangat terpaut dengan harta benda, di
akhirat nanti dia akan sadar. Di sisi lain, seandainya manusia sadar bahwa
segala sesuatu akan terbongkar, diteliti, dicari, serta ditemukan, dan kemudian
diberi imbalan dan balasan, maka pasti ia tidak akan kikir, tidak pula
kecintaannya kepada harta kekayaan akan sedemikian hebat sehingga
melengahkannya.
2.3
Shorhul Balaghoh
1.
Ta’kid dengan “inna”
dan “lam” di beberapa tempat, seperti :
Tambahnyaتقرير
dan
بيان
( إن ربهم بهم يومئذ لخبير ), ( وإنه لحب الخير لشديد),
( إن الإنسان لربه لكنود )
2.
Jinas ghoiru tam antara
lafadz ( لشهيد)
dan ( لشديد),
begitu juga dengan lafadz (ضبحا) dan ( صبحا).
3.
Istifham Inkari
Lit-tahdid wal wa’iid ( افلا يعلم إذا بعثر ما
في القبور) ?
4.
Tadhmin pada ayat ( إن
ربهم بهم يومئذ لخبير) dhamin pada lafadz ( خبير) makna “al-majazah” atau mengijazkan kepada pelaku.
5.
Tawafiq al-fawashil,
seperti : “( شديد , شهيد)” dan ( القبور , الصدور). Dan dinamakan السجع المرصع ))
yaitu Ibadah (akhlak) yang baik (terpuji).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1)
Shorhul mufrodhat
Ø Ayat
pertama sampai kelima
1.
Kata العا
ديات ) ( Al-‘Adiyat
terambil dari kata (عدا - يعدو) ‘ada - ya’du yang berarti jauh atau melampaui
batas. Tetapi secara harfiah Al-‘Adiyat berarti “yang berlari kencang.”
2.
Kata (ضبحا ) dhabhan diartikan sebagai
“suara yang terdengar dari mulut kuda pada saat ia berlari kencang”
3.
Kata (الموريات
)
al-muriyat adalah “pelaku yang menyalakan api” karena
terambil dari wazan (ورى – وريا ) atau (وري
– يري )
yang berarti “menyalakan api”.
4.
Kata (قدحا
)
qadhan adalah mengeluarkan atau memercikkan,
yang berasal dari wazan (قدح
)
qadaha.
5.
Kata (ا
لمغيرت) al-mughirat adalah bentuk jamak
dari kata (ا لمغير )
al-mughir. Ia terambil dari kata (أغار
) aghara
yang pada mulanya berarti bercepat-cepat melangkah. Tetapi, pada
umumnya yang dimaksud adalah serangan mendadak dan cepat yang dilakukan
dengan mengendarai kuda.
6.
Kata (صبحا
) shubhan \ waktu subuh
menggambarkan dadakan serangan itu sehingga menjadi paniklah kelompok yang
diserang itu.
7.
Kata( جمعا ) jam’an digunakan oleh al-Qur’an dalam arti “Kelompok
yang besar dan yang selalu menduga akan mampu meraih kemenangan,”
Ø Ayat
ke-6 sampai 7
1.
Kata (كنود) kanud adalah bentuk superlatif dari kata (كند
) kanada.
Kata ini pada mulanya berarti “tanah yang tidak ditumbuhi sesuatu atau
dengan kata lain tandus”.
2.
Kata (شهيد) syahid terambil dari kata (شهد) syahida /
menyaksikan. Kesaksian manusia tentang kekikirannya pasti akan terjadi di
akhirat nanti, namun di dunia ini pun kesaksian itu dapat terlaksana.
Ø Ayat
ke-8
1.
Kata (لحب
) li
hubbi. Ia dapat dipahami dalam arti disebabkan
karena atau oleh karena, juga terhadap atau dalam hal.
2.
Kata (الخير) al-khair biasa diartikan kebaikan. Tetapi, yang
dimaksud di sini adalah harta benda.
3.
Kata (لشديد
) la
syadid diartikan sangat keras atau berlebih-lebihan. Kecintaan yang
amat sangat dan berlebih-lebihan pada akhirnya mengantar kepada kekikiran.
Ø Ayat
ke-9 sampai 11
1.
Kata ( بعثر ) bu’tsira pada asalnya berarti membolak-balik
sesuatu. Kata ini memberi kesan adanya semacam kegelisahan dan
ketergesa-gesaan, seperti keadaan seseorang yang membuka lemari ketika mencari
sesuatu dengan tergesa-gesa.
2.
Kata (حصل) hushshila biasa juga diartikan dengan memisahkan,
mengemukakan, atau menghimpun, kata ini berasal dari kata (حوصل ) haushal dan (حوصلة
) haushalah.
3.
Kata (الصدور) ash-shudur adalah bentuk jamak
dari kata (الصدر ) ash-shadr
yang biasa diterjemahkan dengan dada. Kata ini secara umum diartikan
hati manusia dan atau gejolak serta detak-detiknya. Dengan demikian, dipahami
bahwa kelak di hari Kemudian akan dibongkar dan dicari segala sesuatu yang
terdapat dalam lubuk jiwa manusia, bahkan bawah-sadarnya pun akan diperiksa.
4.
kata (ربهم) Rabbahum yang berarti Tuhan Pemelihara dan Pendidik
mereka kendati ayat ini dalam konteks ancaman mengisyaratkan bahwa segala
yang dilakukan Tuhan tidak terlepas dari pendidikan dan pemeliharaan-Nya,
walaupun hal tersebut dalam bentuk ancaman dan siksaan.
5.
Kata (خبير) khabir terambil dari kata ( خبر ) khabar yang menurut asal penggunaan bahasa, berarti sumber
air di pegunungan. Ia juga berarti pencarian untuk mencapai pengetahuan
yang pasti tentang hakikat sesuatu.
6.
Kata (يومئذ
) yauma’idzin
/ pada hari itu didahulukan, walau Allah telah mengetahui secara
detail sejak kini bahkan sebelum terjadinya suatu aktivitas, agaknya disebabkan
yang dimaksud dengan informasi tentang pengetahuan-Nya itu adalah balasan dan
ganjaran-Nya; yang baru akan terjadi ketika itu.
2)
Shorhul Makna
1.
Gambaran tentang
dadakan kehadiran Kiamat. Seperti dadakan serangan tentara berkuda di
tengah-tengah kelompok yang merasa dirinya kuat, tetapi ternyata mereka
diporakpondakan.
2.
Allah bersumpah untuk
manyakinkan para pendengarnya tentang hakikat kerugian besar yang pasti akan
dialami oleh mereka.
3.
Dikemukakan bahwa
manusia memiliki sifat kikir dan bahwa kekikirannya itu disaksikannya sendiri.
4.
Gambaran tentang
kecintaan manusia kepada harta benda yang berlebihan.
5.
Allah telah mengetahui
secara detail sejak kini bahkan sebelum terjadinya suatu aktivitas, agaknya
disebabkan yang dimaksud dengan informasi tentang pengetahuan-Nya itu adalah
balasan dan ganjaran-Nya ; yang baru akan terjadi ketika itu.
Surah ini memulai dengan sumpah
yang mengandung ilustrasi tentang kehadiran Hari Kiamat dengan dadakannya, lalu
diakhiri dengan uraian tentang terbongkarnya segala sesuatu sejak di dalam
kubur dalam perjalanan manusia menuju hari Kebangkitan itu. Kalau dalam
kehidupan dunia ini manusia lengah sehingga tangannya tertutup dan hatinya
sangat terpaut dengan harta benda, di akhirat nanti dia akan sadar. Di sisi
lain, seandainya manusia sadar bahwa segala sesuatu akan terbongkar, diteliti,
dicari, serta ditemukan, dan kemudian diberi imbalan dan balasan, maka pasti ia
tidak akan kikir, tidak pula kecintaannya kepada harta kekayaan akan sedemikian
hebat sehingga melengahkannya.
3)
Shorhul Balaghoh
1.
Ta’kid dengan “inna”
dan “lam” di beberapa tempat, seperti :
Tambahnyaتقرير
dan
بيان
( إن ربهم بهم يومئذ لخبير ), ( وإنه لحب الخير لشديد),
( إن الإنسان لربه لكنود )
2.
Jinas ghoiru tam antara
lafadz ( لشهيد)
dan ( لشديد),
begitu juga dengan lafadz (ضبحا) dan ( صبحا).
3.
Istifham Inkari
Lit-tahdid wal wa’iid ( افلا يعلم إذا بعثر ما
في القبور) ?
4.
Tadhmin pada ayat ( إن
ربهم بهم يومئذ لخبير) dhamin pada lafadz ( خبير) makna “al-majazah” atau mengijazkan kepada pelaku.
5.
Tawafiq al-fawashil,
seperti : “( شديد , شهيد)” dan ( القبور , الصدور). Dan dinamakan السجع المرصع ))
yaitu Ibadah (akhlak) yang baik (terpuji).
3.2.
Saran
Dari
makalah ini pemakalah mengharapkan agar para pembaca khususnya para mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami tentang surat Al-‘Adiyat.
___________, 2010, Al-Qur’an & Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi.
Shihab,
M. Quraish, 2002, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Abadi.
As-Shobuniy,
M. Ali, 1999, صفوة التفاسير, Jakarta: Darul kutubul Islamiyah.
Al-Jarim Ali
dan Amin Musthafa, 2011, Balaghaaghatul
Waadhihah, Bandung: Sinar Baru Algensido offset Bandung,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar