BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Turunya ayat tentang menjauhi istri ketika sedang dalam
keadaan haidh yakni dikarenakan dulu Kaum yahudi apabila istrinya sedang haidh,
mereka tidak diajak makan bersama, tidak diajak minum bersama dan tidak diajak
bergaul bersama dalam rumah-rumah. Kemudian nabi Muhammad SAW ditanya tentang
hal itu, maka turunlah ayat;”mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: Haidh itu kotoran, maka jauhilah wanita-wanita pada waktu haidh”.
Lalu nabi Muhammad SAW menyuruh mereka makan dan minum bersama-sama dan hendaknya
berkumpul dalam satu rumah serta boleh berbuat apa saja kecuali bersetubuh, dan
diperbolehkan bersetubuh apabila istri sudah dalam keadaan suci.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang harus dijauhi atas perempuan yang dalam keadaan haidh?
2.
Apa Kafarat
bagi orang yang menggauili istrinya yang sedang dalam keadaan haidh?
3.
Berapakah
lama masa haidh?
4.
Kapankah
diperbolehkanya mengumpuli perempuan yang dalam keadaan haidh?
5.
Apakah
yang dilarang terhadap perempuan yang berhaidh?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Yang harus dijahui atas perempuan yang dalam keadaan haidh.
Ulama’
berbeda pendapat tentang apa yang wajib dijauhi dari perempuan yang sedang
haidh
a.
Menurut
Ibnu Abbas dan Ubaidillah As-Silmi, yang wajib dijauhi adalah seluruh tubuhnya
b.
Menurt
madzhab abu hanifah dan Imam Malik, yang wajib dijauhi adalah antara lutut dan
pusar
c.
Menurut
madzhab Syafi’i, yang wajib dijauhi adalah tempat kotoran, yakni vagina itu
saja.
Alasan Madzhab yang pertama
Bahwa
Allah SWT menyuruh menjauhi perempuan-perempuan itu, dan tidak mengecualikan
sesuatu dari padanya, maka wajiblah dijauhi seluruh tubuhnya karena keumuman
ayat” maka jauhilah perempuan-perempuan dalam keadaan haidh”.
Al-Qurthubi
berkata: ini adalah pendapat yang janggal yang keluar dari pendapat ulama’(pada
umumnya), meskipun ayat tersebut menunjukkan arti umum, tetapi toh ada sunnah
yang berbeda (dengan pendapat ini).
Alasan madzhab
yang kedua
Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik beralasan dengan riwayat dari aisyah r.a. bahwa ia
berkata: “Aku pernah mandi dengan nabi muhammad SAW. Dari satu bejana,
sedangkan kami berdua dalam keadaan junub, lalu nabi Muhammad SAW menyuruhku,
maka aku berkain cawat, kemudian ia memelukku sedangkan aku dalam keadaan haidh
“
Dan
ada riwayat dari Maimunah, bahwa ia berkata: “Adalah Rosulallah SAW bisa
memeluk istri-istrinya di atas kain, sedang mereka dalam keadaan haidh”.
Alasan madzhab
yang ketiga
Imam
Syafi’i beralasan dengan sabda nabi Muhammad SAW: “aku pernah bertanya kepada
aisyah r.a. (tentang) apa yang boleh bagi laki-laki (suami) terhadap istrinya
apabila istrinya itu dalam keadaan haidh? Ia menjawab: (Boleh berbuat) apa saja
kecuali bersetubuh”.
Dan
dalam riwayat yang lain bahwa Masruq pergi kerumah Aisyah, lalu ia mengucapkan “assalamu’alaikum
an nabiyyi wa’ala ahli baitihi (semoga kesejahteraan melimpah kepada nabi
Muhammad SAW dan keliarganya)”, kemudian aisyah berkata: Ayah Aisyah, selamat,
izinkanlah dia masuk! Lalu masruk berkata: Sesungguhnya aku mau bertanya
sesuatu kepadamu akan tetapi aku malu.
Kemudian Aisyah berkata: Sesungguhnya aku adalah ibumu dan engkau anakku. Lalu
ia berkata: Apakah yang boleh bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang
dalam keadaan haidh? Aisyah menjawab: Baginya boleh berbuat apa saja kecuali
terhadap farjinya.
2.
Kafarat bagi orang yang menggauili istrinya yang sedang dalam
keadaan haidh
Ulama’
telah ijma’, bahwa mengumpuli istri dalam keadaan haidh adalah haram, tetapi
mereka berbeda pendapat tenteng ada kafaratnya atau tidak.
Jumhur
ulama’ berpendapat, ia harus beristighfar dan tidak ada kafarat apapun selain
taubat dan istighfar itu.
Menurt
imam Ahmad, ia harus bersedekah sedinar atau setengah dinar, karena ada hadits
dari Ibnu Abbas dari nabi Muhammad SAW tentang orang yang mengumpuli istrinya
dalam keadaan haidh, Nabi Muhammad SAW besabda;”ia harus bersedekah sedinar
atau setengah dinar”.
Sebagian
ahli hadits berkata; jika disetubuhi dalam keadaan masih ada darahnya, maka
wajib bersedekah satu dinar, dan jika darahnya sudah berhenti, setengah dinar.
3.
Berapakah lama masa haidh?
Ahli
Fiqih berbeda pendapat tentang lama masa haidh, masa yang terpendek dan masa
yang terpanjang.
a.
Menurut
Abu Hanifah dan Ats-Tsauri, paling pendek 3 hari dan paling lama 10 hari
b.
Menurut
Syafi’I dan Ahmad, paling pendek sehari semalam dan paling lama 15 hari
c.
Dan
menurut pendapat yang termasyhur dari Imam Malik, yakni tidak ada batas waktu
paling pendek atau paling lama, sedangkan yang dianggap adalah kebiasaan
perempuan yang bersangkutan.
Alasan-alasan
Abu Hanifah beralasan dengan hadits Abi Umamah yang artinya: ”paling
sedikit haidh itu 3 hari dan paling lama 10 hari”. Al-Jashash berkata; “jika
hadits ini sah, maka siapapun tidak boleh beralih daripadanya.
Imam syafi’iyyah berhujjah dengan hadits ; “seseorang diantara
perempuan yang haidh itu hendaknya berdiam diri sampai separuh dari umurnya”.
Sedangkan imam Ali Ash-Shabuni berpendapat: Dalam ayat Al-Qur’an,
tidak ada petunjuk tentang sedikit dan lamanya masa haidh, masalah ini
merupakan masalah ijtihadiah yang dapat dilihat dalam kitab-kitab furu’(fiqih).
4.
Kapankah bolehnya mengumpuli perempuan yang dalam keadaan haidh?
Firman Allah: ”dan janganlah kamu mengimpuli mereka sehingga mereka
suci” itu menunjukkan tidak halal laki-laki mengumpuli istrinya yang dalam
keadaan haidh sehingga suci, sedang ulama’ fiiqh masih berbeda pendapat tentang
apa yang dimaksud “suci” disini.
a.
Imam
Abu Hanifah berpendapat, bahwa yang dimaksud suci disini adalah berhentinya
darah, apa bila darah haidh telah berhenti, maka boleh bagi si laki-laki
mengumpuli istrinya sebelum mandi, hanya apabila berhentinya itu melebihi
lamanya masa haidh yaitu 10 hari, tetapi jika berhentinya darah itu kurang dari
10 hari maka belum boleh dikumpuli sebelum mandi.
b.
Menurut
jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad), bahwa yang dimaksud suci disini adalah suci
yang boleh bagi laki-laki mengumpuli istrinya, yaitu bersuci dengan air
sebagaimana bersuci karena junub dan bahwasanya perempuan itu tetap belum halal
dikumpuli sebelum darahnya berhenti dan telah mandi dengan air.
c.
Menurut
Ath-Thawus dan mujahid, bahwa untuk bolehnya dikumpuli, cukup hanya dengan
membasuh varjinya dengan air lalu berwudlu seperti wudlu untuk sholat.
5.
Apakah yang dilarang terhadap perempuan yang berhaidh?
Ulama’ telah ittifaq, bahwa perempuan yang sedang ber haidh,
dilarang mengerjakan sholat, puasa, thowaf, masuk masjid, menyentuh mushaf
Al-Qur’an dan tidak boleh badi suaminya mengumpulinya sehingga suci. Adapun
hukum-hukum ini dapat diketahui secara terperinci dalam kitab fiqih.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Bahwa
wajib menjahui perempuan yang sedang haidh sehingga suci dari haidhnya.
2.
Bahwa
boleh mengumpulinya sesudah berhenti darahnya dan telah mandi dengan air
3.
Bahwa
haram menyetibuhi perempuan pada duburnya, karna bukan tempat yang semestinya.
4.
Bahwa
boleh bersenang-senang dengan cara bagaimana saja dalam bersetubuh asal
ditempat yang semestinya, yakni farji
5.
Bahwa
kita harus waspada jangan sampai menyalahi perintah Allah dan melanggar apa
yang di perintahnya
syukron atas infonya :)
BalasHapus