Jumat, 05 April 2013

PROBLEMA WANITA HAIDH


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Turunya ayat tentang menjauhi istri ketika sedang dalam keadaan haidh yakni dikarenakan dulu Kaum yahudi apabila istrinya sedang haidh, mereka tidak diajak makan bersama, tidak diajak minum bersama dan tidak diajak bergaul bersama dalam rumah-rumah. Kemudian nabi Muhammad SAW ditanya tentang hal itu, maka turunlah ayat;”mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu kotoran, maka jauhilah wanita-wanita pada waktu haidh”. Lalu nabi Muhammad SAW menyuruh mereka makan dan minum bersama-sama dan hendaknya berkumpul dalam satu rumah serta boleh berbuat apa saja kecuali bersetubuh, dan diperbolehkan bersetubuh apabila istri sudah dalam keadaan suci.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang harus dijauhi atas perempuan yang dalam keadaan haidh?
2.      Apa Kafarat bagi orang yang menggauili istrinya yang sedang dalam keadaan haidh?
3.      Berapakah lama masa haidh?
4.      Kapankah diperbolehkanya mengumpuli perempuan yang dalam keadaan haidh?
5.      Apakah yang dilarang terhadap perempuan yang berhaidh?


  


BAB II
PEMBAHASAN
1.    Yang harus dijahui atas perempuan yang dalam keadaan haidh.
Ulama’ berbeda pendapat tentang apa yang wajib dijauhi dari perempuan yang sedang haidh
a.    Menurut Ibnu Abbas dan Ubaidillah As-Silmi, yang wajib dijauhi adalah seluruh tubuhnya
b.    Menurt madzhab abu hanifah dan Imam Malik, yang wajib dijauhi adalah antara lutut dan pusar
c.    Menurut madzhab Syafi’i, yang wajib dijauhi adalah tempat kotoran, yakni vagina itu saja.
Alasan Madzhab yang pertama
Bahwa Allah SWT menyuruh menjauhi perempuan-perempuan itu, dan tidak mengecualikan sesuatu dari padanya, maka wajiblah dijauhi seluruh tubuhnya karena keumuman ayat” maka jauhilah perempuan-perempuan dalam keadaan haidh”.
Al-Qurthubi berkata: ini adalah pendapat yang janggal yang keluar dari pendapat ulama’(pada umumnya), meskipun ayat tersebut menunjukkan arti umum, tetapi toh ada sunnah yang berbeda (dengan pendapat ini).
Alasan madzhab yang kedua
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik beralasan dengan riwayat dari aisyah r.a. bahwa ia berkata: “Aku pernah mandi dengan nabi muhammad SAW. Dari satu bejana, sedangkan kami berdua dalam keadaan junub, lalu nabi Muhammad SAW menyuruhku, maka aku berkain cawat, kemudian ia memelukku sedangkan aku dalam keadaan haidh “
Dan ada riwayat dari Maimunah, bahwa ia berkata: “Adalah Rosulallah SAW bisa memeluk istri-istrinya di atas kain, sedang mereka dalam keadaan haidh”.
Alasan madzhab yang ketiga
Imam Syafi’i beralasan dengan sabda nabi Muhammad SAW: “aku pernah bertanya kepada aisyah r.a. (tentang) apa yang boleh bagi laki-laki (suami) terhadap istrinya apabila istrinya itu dalam keadaan haidh? Ia menjawab: (Boleh berbuat) apa saja kecuali bersetubuh”.
Dan dalam riwayat yang lain bahwa Masruq pergi kerumah Aisyah, lalu ia mengucapkan “assalamu’alaikum an nabiyyi wa’ala ahli baitihi (semoga kesejahteraan melimpah kepada nabi Muhammad SAW dan keliarganya)”, kemudian aisyah berkata: Ayah Aisyah, selamat, izinkanlah dia masuk! Lalu masruk berkata: Sesungguhnya aku mau bertanya sesuatu kepadamu akan tetapi aku  malu. Kemudian Aisyah berkata: Sesungguhnya aku adalah ibumu dan engkau anakku. Lalu ia berkata: Apakah yang boleh bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang dalam keadaan haidh? Aisyah menjawab: Baginya boleh berbuat apa saja kecuali terhadap farjinya.

2.    Kafarat bagi orang yang menggauili istrinya yang sedang dalam keadaan haidh
Ulama’ telah ijma’, bahwa mengumpuli istri dalam keadaan haidh adalah haram, tetapi mereka berbeda pendapat tenteng ada kafaratnya atau tidak.
Jumhur ulama’ berpendapat, ia harus beristighfar dan tidak ada kafarat apapun selain taubat dan istighfar itu.
Menurt imam Ahmad, ia harus bersedekah sedinar atau setengah dinar, karena ada hadits dari Ibnu Abbas dari nabi Muhammad SAW tentang orang yang mengumpuli istrinya dalam keadaan haidh, Nabi Muhammad SAW besabda;”ia harus bersedekah sedinar atau setengah dinar”.
Sebagian ahli hadits berkata; jika disetubuhi dalam keadaan masih ada darahnya, maka wajib bersedekah satu dinar, dan jika darahnya sudah berhenti, setengah dinar.

3.    Berapakah lama masa haidh?
Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang lama masa haidh, masa yang terpendek dan masa yang terpanjang.
a.    Menurut Abu Hanifah dan Ats-Tsauri, paling pendek 3 hari dan paling lama 10 hari
b.    Menurut Syafi’I dan Ahmad, paling pendek sehari semalam dan paling lama 15 hari
c.    Dan menurut pendapat yang termasyhur dari Imam Malik, yakni tidak ada batas waktu paling pendek atau paling lama, sedangkan yang dianggap adalah kebiasaan perempuan yang bersangkutan.
Alasan-alasan
Abu Hanifah beralasan dengan hadits Abi Umamah yang artinya: ”paling sedikit haidh itu 3 hari dan paling lama 10 hari”. Al-Jashash berkata; “jika hadits ini sah, maka siapapun tidak boleh beralih daripadanya.
Imam syafi’iyyah berhujjah dengan hadits ; “seseorang diantara perempuan yang haidh itu hendaknya berdiam diri sampai separuh dari umurnya”.
Sedangkan imam Ali Ash-Shabuni berpendapat: Dalam ayat Al-Qur’an, tidak ada petunjuk tentang sedikit dan lamanya masa haidh, masalah ini merupakan masalah ijtihadiah yang dapat dilihat dalam kitab-kitab furu’(fiqih).
4.    Kapankah bolehnya mengumpuli perempuan yang dalam keadaan haidh?
Firman Allah: ”dan janganlah kamu mengimpuli mereka sehingga mereka suci” itu menunjukkan tidak halal laki-laki mengumpuli istrinya yang dalam keadaan haidh sehingga suci, sedang ulama’ fiiqh masih berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud “suci” disini.
a.    Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa yang dimaksud suci disini adalah berhentinya darah, apa bila darah haidh telah berhenti, maka boleh bagi si laki-laki mengumpuli istrinya sebelum mandi, hanya apabila berhentinya itu melebihi lamanya masa haidh yaitu 10 hari, tetapi jika berhentinya darah itu kurang dari 10 hari maka belum boleh dikumpuli sebelum mandi.
b.    Menurut jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad), bahwa yang dimaksud suci disini adalah suci yang boleh bagi laki-laki mengumpuli istrinya, yaitu bersuci dengan air sebagaimana bersuci karena junub dan bahwasanya perempuan itu tetap belum halal dikumpuli sebelum darahnya berhenti dan telah mandi dengan air.
c.    Menurut Ath-Thawus dan mujahid, bahwa untuk bolehnya dikumpuli, cukup hanya dengan membasuh varjinya dengan air lalu berwudlu seperti wudlu untuk sholat.
5.    Apakah yang dilarang terhadap perempuan yang berhaidh?
Ulama’ telah ittifaq, bahwa perempuan yang sedang ber haidh, dilarang mengerjakan sholat, puasa, thowaf, masuk masjid, menyentuh mushaf Al-Qur’an dan tidak boleh badi suaminya mengumpulinya sehingga suci. Adapun hukum-hukum ini dapat diketahui secara terperinci dalam kitab fiqih.
















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Bahwa wajib menjahui perempuan yang sedang haidh sehingga suci dari haidhnya.
2.    Bahwa boleh mengumpulinya sesudah berhenti darahnya dan telah mandi dengan air
3.    Bahwa haram menyetibuhi perempuan pada duburnya, karna bukan tempat yang semestinya.
4.    Bahwa boleh bersenang-senang dengan cara bagaimana saja dalam bersetubuh asal ditempat yang semestinya, yakni farji
5.    Bahwa kita harus waspada jangan sampai menyalahi perintah Allah dan melanggar apa yang di perintahnya






1 komentar: