MENGENANG NASER HAMID ABU ZAID
Baginya, Alqur’an
harus dipahami secara objektif dan kontekstual dan, sebaliknya, Alqur’an tak
boleh dipahami secara harfiah demi kepentingan ideologis dan politis seperti
yang dilakukan kalangan Islam garis keras. Alquran bagi Abu Zayd adalah kitab
yang menganjurkan perdamaian, kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan demikian Alqur’an tak boleh dibajak guna melegalkan
kekerasan, diskriminasi, kedzaliman dan aksi-aksi lain yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan.
Setelah kehilangan
pemikir fenomenal sekelas Abid al-Jabri yang meninggal 3 Mei 2010 lalu, kini
dunia Islam kembali kehilangan Nasr Hamid Abu Zayd, mantan dosen Fakultas
Sastra Universitas Cairo. Ia menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 5 Juli
2010, akibat serangan virus langka yang secara medis belum ditemukan cara
pengobatannya. Semoga virus langka tersebut tak mengurangi kedudukan
intelektualnya, tapi justru mengangkat derajatnya di sisi Allah sebagaimana
Nabi Ayub yang ditinggikan derajatnya setelah diuji dengan penyakit kulit yang
kronis.
Abu Zayd merupakan
pemikir Mesir yang sangat kontroversial karena karya-karyanya yang telah
mengundang perdebatan di dunia Islam sejak tahun 1970-an. Di satu sisi, banyak
kalangan mengapresiasi karya-karyanya yang mempromosikan pencerahan dalam studi
Islam. Namun, di sisi lain, ia dikafirkan kaum konservatif dan pengadilan Mesir
(tahun 1995) karena pemikirannya dituduh menyeleweng. Vonis pengkafiran ini
memaksa Abu Zayd hijrah ke Leiden kemudian menjadi guru besar studi Islam di
Universitas Leiden dan profesor pada Universitas for Humanistics di Utrecth. Vonis
pengkafiran ini pun menjadi topik hangat yang ramai diperdebatkan kalangan
sarjana, baik yang pro maupun kontra.
Abu Zayd adalah
penulis prolifik yang telah menyumbangkan karya-karya kritis seperti Mafhûm
al-Nash: Dirâsah fi `Ulûm al-Qur’ân (Konsep Teks: Studi Ilmu-ilmu
Alqur’an), Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyât al-Ta’wîl (Problem Pembacaan
dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl al-Qur’ân
`inda Ibn `Arabî (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alqur’an
menurut Ibn Arabi), al-Imâm al-Syâfi’i wa Ta`sîs al-Aidiulujiyyah
al-Wasathiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittijâh
al-`Aqli fi at-Tafsîr (Rasionalisme dalam Tafsir), Naqd al-Khithâb
al-Dînî (Kritik Wacana Agama), dan lain-lain.
Karya-karyanya juga terbit
dalam bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical
Historical Analysis; Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics;
dan Voice of an Exile: Reflections on Islam. Karya-karyanya sebagian
telah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Perancis, Indonesia, Itali, Persia, dan
Turki. Meski mendapatkan aspresiasi luas, karya-karyanya tak jarang dibaca
secara reduktif oleh sebagian kalangan konservatif sehingga menimbulkan
kesalahpahaman yang berakhir tuduhan sasat dan pengkafiran.
Mafhûm al-Nash, misalnya, dituduh
sebagai karya yang menempatkan teks Alqur’an sebagai teks buatan Muhammad SAW.
Tuduhan semacam ini ditolak mentah-mentah oleh Abu Zayd dalam wawancaranya, “I
treat the Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That
text is put in a human language, which is the Arabic language. When I said so,
I was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not
a crisis of thought, but a crisis of conscience”. Jelas sudah bahwa Abu
Zayd secara eksplisit meyakini bahwa teks Alqur’an adalah wahyu Tuhan yang
diturunkan kepada Muhammad. Teks Alqur’an turun melalui bahasa manusia, yakni
bahasa Arab, agar dapat dipahami oleh penerimanya. Dengan demikian, tuduhan
yang menyatakan bahwa Abu Zayd menganggap Alqur’an sebagai kitab buatan
Muhammad adalah tuduhan yang muncul dari krisis hati nurani.
Kesalahpahaman itu
terjadi akibat kesalahan para kritikus Abu Zayd dalam memahami istilah
“Alqur’an adalah produk budaya” (muntâj tsaqâfiy). Untuk mengantisipasi
kesalahpahaman itu, Abu Zayd dalam Mafhûm al-Nash menjelaskan, “wa
al-maqshûd bi dzalika annahu tasyakkala fi al-wâqi’ wa al-tsaqâfat khilâla
fatrah tazîdu ‘ala ‘isyrîna ‘âman”. Artinya, “Yang dimaksud dengan ‘produk
budaya’ di sini adalah: Alqur’an terbentuk di tengah-tengah kenyataan sosial
dan budaya Arab selama lebih dari dua puluh tahun”. Abu Zayd menegaskan lebih
lanjut bahwa keimanan terhadap sumber Ilahi teks Alqur’an tidak bertentangan
dengan upaya menganalisanya melalui pendekatan kultural dimana teks tersebut
muncul.
Untuk memahami lebih
jelas kerangka pemikiran Abu Zaid dalam Mafhûm al-Nash, Charles
Hirschkind dalam Heresy or Hermeneutics: the Case of Nashr Hamid Abu Zayd
menyatakan, “Titik tolak argumentasi Abu Zayd adalah gagasan bahwa setelah diturunkan
kepada Muhammad, Alqur’an masuk ke dalam dimensi sejarah dan menjadi tunduk
pada hukum-hukum yang bersifat historis dan sosiologis. Teks Alqur’an kemudian
menjadi manusiawi (humanized/muta’annas), memasukkan relung-relung
budaya yang partikular, kondisi politik, dan unsur-unsur ideologis masyarakat
Arab abad ketujuh”. Dikatakan manusiawi sebab Alqur’an turun melalui media
bahasa manusia agar dapat dipahami penerimanya. Juga karena Alquran telah
bermetamorfosis dari “teks Ilahi” menjadi “teks yang ditafsiri secara
manusiawi” .
Konsepsi Abu Zayd ini
sama sekali tak menyeleweng sebab senada dengan QS. Yusuf: 2, “Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Alqur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya”. Dengan demikian sah-sah saja jika Alqur’an dipahami dengan
pendekatan bahasa dan sosial budaya.
Abu Zayd juga dikenal
sebagai tokoh yang mengenalkan diskursus hermeneutika melalui tulisannya yang
berjudul al-Hirminiyutiqa wa Mu’dilat Tafsîr al-Nash (Hermeneutika dan
Problema Penafsiran Teks). Namun tawaran ini ditolak secara massif oleh
kalangan konservatif dengan alasan hermeneutika adalah metode penafsiran Bibel
yang tak sepantasnya diaplikasikan dalam penafsiran Alqur’an. Pandangan
konservatif yang simplistik ini diluruskan Abu Zayd dengan statemennya, “Al-hirminiyutiqa
idzan qadhiyyatun qadimatun wa jadîdatun fî nafs al-waqti, wa hiya fî tarkizihâ
‘alâ ‘alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasatan bi al-fikri
al-gharbi, bal hiya qadliyyatun lahâ wujudûha al-mulih fî turâtsina al-‘arabi al-qadîm
wa al-hadîts ‘alâ sawâ”.
Artinya, hermeneutika
adalah diskursus lama sekaligus baru. Pokok pembahasannya adalah tentang relasi
penafsir dengan teks. Hermeneutika bukan hanya semata diskursus pemikiran
Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga telah ada dalam turâts Arab,
baik Arab klasik maupun modern.
Untuk membuktikan
bahwa hermeneutika bukan hanya diskursus Barat tetapi juga ada dalam khazanah
Islam klasik, Abu Zaid menulis Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyât al-Ta’wîl
(Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi) dan Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah
fi Ta’wîl al-Quran ‘Inda Ibn `Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi
Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi). Melalui karya-karya ini Abu Zayd
mencoba mengkomparasikan hermeneutika Barat dan hermeneutika Islam. Abu Zayd
menyimpulkan bahwa khazanah Islam klasik telah memiliki konsep hermeneutika
yang sejajar dengan hermeneutika Barat. Dengan demikian, wacana studi Alqur’an
sepatutnya membuka diri untuk berdialog dengan wacana interpretasi teks dari
peradaban Barat untuk saling mengkayakan satu sama lain.
Karya-karya Abu Zayd
tersebut muncul sebagai respons terhadap stagnansi pemikiran, kemunduran
peradaban Islam, diskriminasi, dan semakin maraknya gerakan fundamentalisme
Islam yang muncul akibat skripturalisme. Salah satu buku Abu Zayd yang concern
menyikapi fundamentalisme dan skripturalisme adalah Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kritik
Wacana Agama). Buku ini mengekspresikan kegundahan Abu Zayd atas penafsiran
tekstualis para aktivis militan Islam yang acap mempolitisasi ayat-ayat
Alqur’an. Baginya, Alqur’an harus dipahami secara objektif dan kontekstual dan,
sebaliknya, Alqur’an tak boleh dipahami secara harfiah demi kepentingan
ideologis dan politis seperti yang dilakukan kalangan Islam garis keras.
Alquran bagi Abu Zayd adalah kitab yang menganjurkan perdamaian, kebebasan,
kesetaraan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian Alqur’an tak
boleh dibajak guna melegalkan kekerasan, diskriminasi, kedzaliman dan aksi-aksi
lain yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Kontribusi pemikiran
Abu Zayd sangat banyak bagi kemajuan studi Islam, namun penulis tak bisa
menjelaskan semuanya dalam obituari singkat ini. Sebagai kata akhir, penulis
berdoa agar Abu Zayd disatukan di surga bersama Muhammad SAW, Ibn Abbas, Ibn
Mas’ud, dan para ahli Alqur’an lainnya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa
taqabbal amalahu fi tajdid al-khithab al-dini al-Islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar