BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Berpijak
pada al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4, maka jelas bahwa segala yang terkait
dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW—fi’liyah, qouliyah dan taqririyah—merupakan
misi ilahiyah yang harus dicermati dan dipedomani manusia, baik oleh orang yang
tahu akan kebenaran Islam dan melaksanakannya atau orang yang pura-pura tidak
tahu dan enggan melaksanakannya.
Keterkaitan
antara hal ihwal Nabi Muhammad dengan umat-umat sesudahnya merupakan satu
rangkaian sejarah yang menimbulkan perbincangan serius. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan redaksi yang disebabkan individualitas penulisan para sahabat
dan perbedaan persepsi. Dengan demikian, untuk memahami hadits lebih lanjut,
kita dituntut menguasai ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Dari situ bisa kita
lihat kebenaran isi (matan) dan mata rantai sanad yang menjadi inti dari
memperbincangkan hadits Nabi Muhammad Saw. Juga bisa dilihat bagaimana sikap
para sahabat akan kebenaran “khabar” itu dan siapa yang berperan dalam
periwayatan tersebut.
Di samping
para sahabat, yang juga getol dalam membela eksistensi hadits adalah kalangan
Tabi’in. Di mana kalangan tabi’in merupakan periode kedua setelah sahabat yang
dengan kepiawaiannya mereka bisa mencari keaslian makna hadits. Sehingga, dari
rentetan pencarian kebenaran tersebut kita bisa menilai apakah hadits itu bisa
diterima atau tidak. Dalam makalah ini akan dikupas beberapa hal yang terkait
dengan Pesebaran hadits dimasa shahabat dan tabi’in,
1.2. Rumusan
masalah
1.
Siapa saja penghafal al-Qur’an
pada masa shohabat?
2.
Siapa saja perowi dan penghafal
Al-Qur’an pada masa shohabat?
3.
Siapa saja perowi dan penghafal
Al-Qur’an pada masa tabi’in tabi’in sampai alamah
sab’ah?
1.3. Tujuan masalah
Berdasarkan
rumusan masalah diatas,maka tujuan hendak dicapai adalah untuk mengetahui sipa
saja perowi dan penghafal al-Qur’an pada masa shohabat,tabi’in sampai alamah
sab’ah.
BAB II
Pembahasan
2.1. Shahabat
Sahabat
adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan mu’min dan
meninggal dalam keadaan mu’min. Selain memperhatikan al-Qur’an, pada masa ini
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan
perkembangan periwayatan hadits. Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk
menyampaikan hadits kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir saat hadits
disampaikan.
Setelah
Rasul SAW wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya. Abu
Bakar terpilih menjadi khalifah menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW
sebagai pemimpin temporal (politik) umat Islam, sekaligus mengurus perjuangan
spritual menegakkan syari’at Islam. Pada awalnya dua hal ini adalah satu
seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Setelah Abu Bakar, estafet
kepemimpinan dilanjutkan secara bergantian oleh Umar bin al-Khat-tab, Usman bin
Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Sunnah di dalam pemerintahan khalifah
ar-Rasyidun tersebut tetap menjadi pegangan utama sahabat setelah Al Qur’an.
Dalam dua
pemerintahan Islam, Abu Bakar dan Umar, tidak ditemukan gerakan periwayatan
sunnah yang signifikan sebagaimana yang terjadi setelahnya. Pada pemerintahan
Abu Bakar, konsentrasi umat terpusat pada upaya konsolidasi dan meredam
pemberontakan kelompok murtad, Nabi palsu, dan pengingkar zakat. Pada paruh
akhir kekuasaannya, perhatian tertuju pada pengumpulan dan kodifikasi Al Qur’an.
Demikian juga dalam masa pemerintahan Umar. Khalifah Umar, sangat selektif
menerima riwayat, bahkan terkesan sangat hati-hati. Dalam masa pemerintahan
Usman dan Ali, suasana telah berubah, maka mulailah muncul berbagai riwayat,
tidak terkecuali adanya pemalsuan yang dilakukan non sahabat untuk mendukung
fraksi-fraksi politik umat.
Selain Al
Qur’an sebagai sumber pertama hukum Islam, Sunnah Rasulullah SAW menempati
urutan kedua. Ketika menjelang wafatnya Rasul SAW ia bersabda, “Aku
meninggalkan bagi kamu dua hal, jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan
tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnahku.” Para sahabat berpegang teguh dengan
wasiat Rasul SAW tersebut. Yang dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah
adalah menjadikan Al Qur’an sebagai way of life. Ini berarti para sahabat
mengamalkan perintah yang terdapat di dalamnya dan menjauhi larangannya.
Berpegang pada Sunnah Nabi SAW berarti mengikuti petunjuk Nabi SAW dan
memelihara kemurniannya. Oleh sebab itu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih
lanjut, sahabat sangat hati-hati sekali meriwayatkan sunnah Nabi SAW.
Secara
umum dapat dikemukakan dua poin penting tentang metode sahabat memelihara
kemurnian Sunnah Nabi saw. Metode tersebut yaitu:
1. Taqlil ar-Riwayah
Secara
khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya upaya
meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin kuat ketika Umar memegang
tampuk kekhalifahan. Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang
memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Hurairah
ketika ditanya kenapa beliau tidak banyak meriwayatkan hadis pada era
pemerintahan Umar. “Jika aku memberitakan hadis pada masa Umar sebagai yang aku
beritakan kepada kamu (saat ini), niscaya ia akan memukulku.” Demikian jawaban
Abu Hurairah. Dalam masa berikutnya, kendatipun tidak ada lagi tekanan dari
Umar, Abu Hurairah tetap tidak mau memperbanyak periwayatan. Hal ini merupakan
kesadaran sendiri dari diri beliau untuk mengikuti sunnah dua Khalifah
al-Rasyidin, Abu Bakar dan Umar. Namun, dalam suatu saat sebagaimana yang
dikemukakan al-Bukhari, beliau membaca dua ayat Al Qur’an surah al-Baqarah ayat
159 dan 160. Sejak saat itu barulah beliau memperbanyak periwayatannya.
Sahabat-sahabat
lain, juga terkesan menyedikitkan riwayat. Abu ‘Ubaidah, ‘Abbas bin ‘Abd
al-muth-thalib, mereka tidak banyak meriwayatkan hadis, tidak seimbang jumlah
hadis yang mereka riwayatkan dengan kedekatan keseharian mereka dengan Rasul
SAW. Demikian pula misalnya dengan Sa’id bin Zaid, salah seorang sahabat yang
dijamin Rasul masuk surga, tidak meriwayatkan hadis kecuali hanya sekitar dua
sampai tiga hadis.
As-Sa’ib
bin Yazid pernah berkata, “Aku berteman dengan Sa’d bin Malik dari Madinah ke
Makkah, tidak satupun kudengar beliau menyampaikan hadis dari Nabi saw.
Az-Zubair pernah ditanya anaknya, “Abdullah bin Zubair, “Aku tidak mendengar
engkau menyampaikan hadis Rasul saw sebagaimana yang disampaikan sipulan dan si
pulan.” Beliau menjawab, “Sungguh aku tidak akan memenggalnya, tetapi aku
mendengar Nabi bersabda,” “Siapa yang berdusta atas namaku, maka ia menyediakan
tempat duduknya dari api neraka.”
Jika
diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di
sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian.
Pertama, pada masa Abu Bakar,
pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik, khususnya konsolidasi
dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam. Oleh
sebab itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.
Kedua, sahabat masih dekat
dengan era Nabi, dimana umumnya mereka mengetahui sunnah. Sehingga
persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya
pada diri mereka. Memang diakui adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan
munculnya masalah baru yang ditemui para sahabat, tetapi itu tidak terlalu
signifikan sebagaimana yang ditemukan generasi setelah sahabat. Dalam
masalah-masalah pengecualian seperti persoalan baru atau salah seorang diantara
mereka tidak mengetahui adanya sunnah, maka mereka saling memberi peringatan.
Abu Bakar,
ketika diajukan kepadanya persoalan hukum, beliau melihatnya di dalam kitab
Allah. Jika ia menemukannya ia memutuskan dengan ketentuan kitab Allah. Ketika
ia tidak menemukannya juga, ia melihatnya di dalam sunnah Nabi SAW. Lalu, ia
menghukum dengan sunnah tersebut. Jika ia tidak menemukannya, ia bertanya
kepada masyarakat, “Apakah kamu mengetahui Rasulullah memutuskan perkara ini?”
Maka, terkadang berdiri satu kaum, merka berkata, “Rasul menetapkannya begini
dan begitu.” Jika tidak ditemukan adanya sunnah Nabi saw yang menjelaskannya
maka para pemimpin masyarakat berkumpul dan memusyawarahkannya. Menurut ‘Ajjaj
al-Khatib, hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin al-Khattab.
Ketiga, para sahabat lebih
menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Al Qur’an. Kegiatan ini
bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi
tulisan-tulisan dan hapalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku,
mushaf. Zaid bin Tsabit, pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin
penyusunan kembali tulisan Al Qur’an bahwa ia lebih suka disuruh memindahkan
gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini.
Keempat, adanya kebijaksanaan
yang dilakukan penguasa, khususnya ‘Umar, agar sahabat menyedikitkan riwayat.
Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan
diiringi sikap ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan
penyebaran Al Qur’an lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab, andaikata
gerakan sunnah lebih diutamakan, maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk
Islam akan melupakan Al Qur’an dan lebih memprioritaskan Sunnah. Dengan
demikian, regenerasi penghafal Al Qur’an tentu tidak akan mencapai kesuksesan,
karena perhatian kepada Sunnah. Padahal diketahui bahwa Umar merupakan
pemarkasa penulisannya Al Qur’an dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas
wafatnya sahabat-sahabat Nabi penghafal Al Qur’an dalam memerangi kaum murtad
di masa Abu Bakar.
Kelima, sahabat khawatir
terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka yang baru masuk Islam,
sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Al Qur’an. Umar pernah
mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi atau melakukan
sumpah, namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu.
Keenam, sahabat takut
terjerumus ke dalam dosa kalau-kalau mereka salah dalam meriwayatkan Sunnah.
2. Tatsabbut Fi
Ar-Riwayah
Adanya
gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka
sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan
tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekwensi
dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan
meriwayatkan Sunnah. Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka
terima dan memeriksa sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara
mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.
Al Hakim
meriwayatkan, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang pembagian
warisan. Abu Bakar mengatakan bahwa hal itu tidak ditemukan di dalam Al Qur’an
dan Sunnah. Lalu, seorang sahabat, al-Mugirah, menyebutkan bahwa Rasul
memberinya seperenam karena kedudukannya sebagai kakek. Abu Bakar meminta
al-Mugirah untuk mengajukan saksi terhadap pengakuanya, lalu Muhammad bin
Maslamah menyaksikannya, barulah hadisnya diterima. Dengan demikian, pembatasan
dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak masa Abu Bakar.
Umar juga
melakukan hal yang sama seperti Abu Bakar. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan
bahwa Abu Musa al-Asy’ari memberi salam kepada Umar dari balik pintu rumah Umar
sebanyak tiga kali. Ia tidak mendengar ada jawaban dari dalam rumah, lalu ia
kembali. Setelah itu, Umar mengutus dan mempertanyakan kenapa Abu Hasan
al-Asy’ari kembali. Ia menjawab,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,”
“Apabila salah seorang kamu memberi salam sebanyak tiga kali, lalu ia tidak
menjawabnya, maka hendaklah ia kembali.” Umar meminta kesaksian terhadap
pernyataan itu. Abu Hasan datang dengan wajah suram ke satu majlis. Kami
menanyakan ihwalnya, lalu ia menjelaskan kepada kami problema yang dihadapinya.
Ia berkata,”Apakah ada di antara kamu yang mendengar sunnah Nabi tersebut?”
Kami menjawab, “Kami semua mendengarnya.” Mereka mengutus bersamanya salah
seorang di antara mereka dan memberitakan sunnah tersebut kepada Umar bin
al-Khattab.
Usman bin
Affan pernah berwudu’, ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung, kemudian
ia membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangannya tiga kali-tiga kali,
selanjutnya ia menyapu kepalanya, dan kedua kakinya tiga kali-tiga kali.
Kemudian, ia berkata,”Aku melihat Rasulullah saw berwudu’ demikian,” “Hai
hadirin, bukankah demikian!” Mereka menjawab, “benar”.
Asma’ bin
al-Hakam pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata,”… Apabila ada orang yang
menceritakan hadis kepadaku, aku menyuruhnya untuk bersumpah. Jika ia bersumpah
maka aku membenarkannya.” Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain, seperti
Aisyah.
Marwan bin
Hakam pernah menguji hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ada
kemungkinan, hal itu didasari kecurigaannya terhadap banyaknya riwayat yang
dikemukakan sahabat ini. Abu Hurairah diuandangnya untuk hadir ke tempatnya dan
dipersilakan duduk di dekat balai-balai. Lalu, marwan bertanya kepadanya dan
Salim Abu Zur’ah, sekretaris Marwan, menulis hadis yang disampaikan oleh Abu
Hurairah. Kemudian, setelah beberapa bulan berlalu, tepatnya di awal tahun,
Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan mempersilakannya duduk di balik
tabir. Lalu, ia kembali bertanya tentang catatan hadis tersebut, ternyata Abu
Hurairah menjawabnya persis sebagaimana yang ia utarakan sebelumnya, bahkan
susunannya pun tidak berubah.
Berdasarkan
keterangan di atas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat
untuk menerima periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap
terjadinya pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul
SAW. Sebaliknya, hal ini bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau
didasari sikap negatif untuk menyembunyikan dan meninggalkan sunnah sebagaimana
yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun yang
menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu.
3. Man’u Ar-Ruwat Min
At-Tahdits Bima Ya’lu ‘Ala Fahm Al ‘Ammah
Ditemukan
pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya
kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan ini khusus terhadap
riwayat yang dapat mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang
lain dengan pemahaman yang keliru tersebut. Misalnya, hadis yang menjelaskan
tentang syahadat. Nabi bersabda, “ Tidak seorang pun yang bersaksi bahwa tia
tuhan kecuali Allah dengan kesungguhan di dalam hatinya, kecuali Allah
mengharamkannya api neraka.” Mu’az berkata, “Wahai utusan Allah, aku akan
memberitahu manusia, maka niscaya mereka akan bergembira.” Sekoyong-koyong
berpeganglah kamu.” Umar bin al-Khattab melarang Abu Hurairah untuk menyebarkan
hadis yang dikemukakan kepada Mu’az tersebut. Ia bergegas menemui Rasul saw
seraya berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan kepada Abu Hurairah
begini dan begitu,“ Nabi SAW menjawab,”Benar,” Umar berkata,”Jangan engkau
lakukan itu, aku takut manusia akan berpegang padanya dan mencederai mereka
dalam bertindak.” Nabi SAW mengakuinya, dan berkata,”Mereka akan rusak.”
Pelarangan
ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan ilmu,
melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum
tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat seperti ini dapat
menjerumuskan mereka untuk meninggalkan syariat Allah. Oleh sebab itu, sangat
bijak jika Ibn Abbas berkata,”Ceritakan kamulah hadis kepada manusia sesuai
dengan kecerdasan mereka. Apakah kamu menghendaki mereka mendustakan Allah dan
Rasul.” Disebabkan salah memahami satu hadis mereka mendustakan seluruh syariat
yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Muslim meriwayatkan di dalam mukaddimahnya
bahwa Ibn Mas’ud mengatakan, “Orang yang menyampaikan hadis di luar jangkauan
kecerdasan mereka, maka akan menjadi fitnah bagi kaum tersebut.
2.2. Tabi’in
Tabi’in
Orang Islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar kepada sahabat,
tapi tidak bertemu dengan Nabi dan tidak pula semasa dengan Nabi. Tabi’in Besar
(Kibar Tabi’in) Tabi’in yang banyak bertemu sahabat, belajar dan berguru kepada
mereka. Tabi’in besar besar ini diantaranya yang dikenal dengan fukaha tujuh,
yaitu: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr, Urwah bin Zubair,
Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah
Ibn Abdurahman ibn Auf Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in): Tabi’in yang sedikit
bertemu sahabat dan lebih banyak belajar dan mendengar hadist dari Tabi’in
besar.
Peranan
Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadist tidak dapat dipungkiri merupakan salah
satu pernanan besar dalam kesinambungan dan pemeliharaan hadist. Khusunya
setelah masa pemerinatahan Utsman dan Ali. Setelah berakhirnya masa
pemerintahan Ali Bin Ali Thalib, mulailah usaha dan kesungguhan mencari hadist
dan menghafal hadist oleh kalangan Tabi’in dengan mengadakan perjalanan untuk
sekedar mencari ilmu (ilmu ketika itu berupa pencarian hadist-hadist Nabi).
Setelah
Islam menguasai Syam (Jordan sekarang), Irak, Mesir, Samarkand (Asia) dan
Spanyol, para sahabat banyak berhijrah ke daerah-daerah baru itu untuk
berdakwah dan sekaligus mendirikan madrasah-madrasah sebagai wadah untuk
menyebarkan ilmu. Daerah yang didatangi para sahabat itu kemudian dikenal
sebagai pusat penyebaran ilmu yang nantinya menghasilkan sarjana-sarjana Islam,
khususnya dalam disiplin ilmu hadist dari kalangan Tabi’in.
Dengan
demikian, para tabi’in ini menerima hadist dari para sahabat sekaligus mereka
pula belajar kepada sahabat tentang makna dan arti hadist yang mereka terima.
Di masa tabi’in pun, para shighor sahabat, masih terus menimba ilmu. Khususnya
mencari hadist dengan belajar kepada sahabat-sahabat besar. Jika sahabat besar
itu ternyata berhijrah ke daerah-daerah lainnya, seperti di Mesir, di Jordan
atau di Irak sekalipun, sahabat kecil inipun, yang berada di kota Mekkah
ataupun Madinah, langsung mengadakan perlawatan ke daerah itu hanya untuk
bertanya tentang satu hadist atau berguru langsung ke sahabat tersebut.
Hal ini
dibuktikan dari riwayat Bukhari, Ahmad, Thabarani ataupun Baihaqi, bahwa Jabir
pernah pergi ke Syam, yang memakan waktu sebulan untuk sampai di Syam hanya
untuk menanyakan satu hadist saja yang belum pernah di dengarnya. Sahabat yang
didatangi nya adalah Abdullah Ibn Unais Al-Anshary. Demikian pula halnya dengan
Abu Ayyub Al-Anshory yang pernah melawat ke Mesir untuk menemui Uqbah Ibn Amir
untuk bertanya satu hadist saja.
Para
Tabi’in Belajar Kepada Sahabat Mulailah babak baru penyebaran hadist di masa
tabi’in dan mereka mulai mencarinya sekaligus belajar kepada sahabat-sahabat
yang mulai bertebaran di beberapa pelosok bahkan di beberapa Negara. Ada yang
menarik dari periode tabi’in ini, jika diketahui ada seorang sahabat Nabi
berkunjung ke daerahnya, mereka berlomba-lomba mendatanginya untuk belajar.
Terkadang para tabi’in mengklasifikasi penerimaan hadist mereka dengan beberapa
kategori, artinya mereka mementingkan kriteria yang pertama kemudian kedua dan
seterusnya. Kriteria itu adalah:
1.
Sahabat yang pertamna kali masuk
Islam, seperti: Khulafa Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud dll
2.
Sahabat yang terus-menerus hidup
bersama Nabi dan kuat hafalannya seperti: Abu Hurairah, Ibnu Abbas dll
3.
Selain mendengar hadist langsung
dari Nabi dan dari sahabat lainya, sahabat inipun panjang umurnya, seperti:
Anas Bin Malik dll
4.
Riwayat dari para istri Nabi
5.
Sahabat yang memiliki catatan
hadist pribadi, seperti, Abdullah Bin Ash dll Tokoh-Tokoh Hadist Di Kalangan
Tabi’in Di Madinah: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr, Urwah
bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah,
Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf, Nafi, Az-Zuhry, Sulaiman Ibn Yassar dll Di
Mekkah: Ikrimah, Atha Ibn Aii Rabah, Dhohak, (ketiganya murid Ibn Abbas), Abul
Zubair dll Di Kuffah: Asy-Sya’by, Ibrahim An-Nakhai, Alqamah an-Nakhai dll
Basrah: Hasan al-Bashri, Muhammad ibn Sirrin, Qatadah Di Syam: Umar ibn Abdil
Aziz, Qabishah dll Di Mesir: Yazid Ibn Habib Di Yaman: Wahhab ibn Munabbih dll.
Para
tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala
sesuatu dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul
dan para sahabat. Mereka benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang
penulisan hadis dan kapan mereka memperbolehkannya. Mereka benar-benar
mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan generasi pertama yang membwa
Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menyebabkan khulafaurrasyidin dan
para sahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang
menjadi pertimbangan para tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu
pada titik yang sama. Para tabi’in akan melarang penulisan al-Sunnah bila
alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati kebolehan penulisannya ketika
alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas mereka menganjurkannya.
1) muncul pemalsuan
hadits
Pergolakan
politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan
perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan
tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam
ke dalam beberapa kelompok yaitu; pertama: golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin
Abi Thalib. Kedua: golongan khawarij, penentang Ali dan Mu’awiyah, ketiga:
golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas. Terpecahnya umat
Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan
kepentingan golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah
untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu:
a.
Mereka mencari ayat-ayat Alquran
dan hadits yang dapat dijadikan hujjah.
b.
Apabila mereka tidak
menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran dan menafsiri hadits-hadits
sesuai dengan golongannya.
c.
Langkah terakhir, apabila mereka
tidak mendapatkannya dari kedua sumber tersebut, maka mereka memalsukan
hadis-hadis, dan yang pertama mereka palsukan adalah hadits yang mengenai
orang-orang yang mereka agung-agungkan.
Yang
mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan Syi’ah, sebagaimana,
diakui Ibn Ali al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dengan mengatakan bahwa asal mula
timbulnya hadis yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan
syiah sendiri. Tindakan tersebut ditandingi oleh golongan jamaah memalsukan
hadis-hadis yang dibuat oleh golongan syiah.
Dengan
memperhatikan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula
mengembangkan hadis-hadis palsu adalah baghdad, karena kaum syi’ah berpusat di
sana. Bahkan al-Zuhri, seorang tabi’in berkata: “hadis keluar dari sejangkal,
lalu kembali kepada kami sehasta”, sehingga tidak aneh jika Imam Malik
menamakan Baghdad dengan pabrik hadis palsu.Mulai saat itu, terdapat
hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang palsu, tetapi di lain pihak
terdapat golongan yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis
palsu, dengan membedakan mana hadis yang shahih dari hadis yang palsu. Mereka
melakukan penelitian mengenai segala hal yang berkaiatan dengan hadits Nabi
SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan menetapkan aturan-aturan yang tetap
agar hadis dapat selamat sampai ke tangan penerusnya. Cara-cara ulama dalam
menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan menyebutkan sanad, mengadakan
perlawatan mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan
penelitian terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis palsu dan
memerangi mereka, menjelaskan keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk
dapat mengetahui hadis-hadis palsu.
Dari
pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hadits berikutnya, yaitu;
1.
Pengaruh yang langsung dan
bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (maudhu) untuk
mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan
posisi lawannya.
2.
Pengaruh positifnya ialah,
lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadis, sebagai
upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.
2) kodifikasi hadits
Dalam
fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang
diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar
bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para
sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah
sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. Pada masa tabi’in wilayah
islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama
untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah, termasuk ulama hadis.
Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu
sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi
tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis. Kodifikasi ini disinonimkan dengan
tadwin al-hadits tentunya berbeda dengan penulisan hadits kitabah al-hadits.
Tadwin
al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan,
dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari
lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu
sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda,
perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat
itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan
maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan
tulisan-tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan
perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis
adalah sebagai berikut:
1.
Kodifikasi hadis secara resmi
dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui masyarakat, sedang
penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2.
Kegiatan kodifikasi hadis tidak
hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun, dan mendokumentaskannya.
3.
Tadwin hadis dilakukannya secara
umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya,
sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Secara
resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang
ahli dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam
masalah ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi,
seperti terjadi pada masa-masa sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui
instruksi kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan
para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para
penghafalnya.
Khalifah
menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan
hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (wafat 98H) murid
kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H).
Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri
(wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis
dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat
mendapat penghargaan dari seluruh umat Islam. Mengingat pentingnya pernana
al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia,
di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang hilang. Beberapa pokok
mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini.
Pertama, ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan menginggalnya para ulama di
medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang
shahih dengan hadis-hadis yang palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya
daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan
yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
2.3. Para Sahabat
Penghafal Al-Qur’an
Al-qur’an
diturunkan Allah swt. Allah pula yang akan memelihara melalui manusia-manusia
yang di pilih-Nya. Di masa Rasulullah saw hidup, beliau menanamkan kecintaan
yang dalam kepada al-Qur’an di hati para sahabat. Di pundah para sahabat inilah
Rasulullah saw mengamanahkan teladan pelaksanaan al-Qur’an dan mewariskan
petunjuk kehudupan ini bagi generasi-generasi selanjutnya.
Rasulullah
saw memberi petunjuk untuk mempelajari al-Qur’an dari penghafalnya. Tujuh orang
yang terkenal sebagai penghafal al-Qur’an di zaman Rasulullah saw, mereka
adalah :
1. Abu musa Al-Asy’ari
Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim. Ia merupakan salah seorang
sahabat Rasulullah saw yang menghafal al-Qur’an. Ia mempunyai perhatian yang
besar terhadap kitab suci ini.
Abu Musa
dianugrahkan oleh Allah swt berupa suara yang merdu. Suara merdunya ini mampu
menembus tirai hati orang-orang mukmin dan melenakannya menembus kebesaran
Allah swt. Rasulullah pun pernah memuji suaranya yang merdu itu “Ia ( Abu Musa
) benar-benar telah diberi seruling Nabi Daud”, begiu kata Rasulullah saw.
Sampai-sampai banyak para sahabat yang menanti-nanti Abu Musa untuk menjadi
imam pada setiap kesempatan shalat.
Abu Musa
telah mempelajari al-Qur’an langsung dari Rasulullah saw, ia mengajarkan dan
menyebarkannya pada umat setiap negeri yang ia kunjungi. Perjalanan hidup dan
kisah mulianya banyak terekam dalam kitab-kitab tarikh. Abu Musa wafat di usia
63 tahun pada tahun 44 hijriah. Ia telah meriwayatkan 365 hadits.
2. Abu Darda
Abu Darda
adalah seorang hafidzh yang bijaksana. Ia termasuk orang yang mengumpulkan
al-Qur’an dan menjadi sumber bagi para pembaca di Damaskus pada masa khalifah
Utsman bin Affan.
Ia
memiliki kedudukan yang tin ggi dalam hal ilmu dan amal dari para sahabat yang
lainnya. Selama hidupnya ia mengajarkan kepada umat apa yang ia pelajari dari
Rasulullah saw. Ia guru yang selalu dinani-nanti murid-muridnya.
Dalam
pengakuan Suwaid bin Abdul Aziz dikatakan jika Abu Darda salat di masjid
Damaskus ribuan manusia mengelilinya untuk mempelajari al-Qur’an. Ia
membagi-bagikan satu kelompok dengan sepuluh orang dan dipilioh satu orang
ketua. Ia hanya mengawasinya di mihrab. Jika ada yang salah mereka kembali
kepada ketuanya. Jika ketua yang salah maka ketua tersebut menghadap Abu Darda
untuk bertanya. Jumlah penghafal al-Qur’an dalam majlis Abu Darda mencapai
1.600 orang.
Beliau
wafat tahun 32 hijriah pada masa khalifah Utsman di Syam. Ia telah meriwayatkan
179 hadits.
3. Zaid Bin Tsabit
Zaid
mempunyai nama lengkap Abu Said al-Khazraji al-Anshari. Ia merupakansahabat
anshar yang cerdas, penulis, penghafal dan mengusai ilmu. Ia mengalahkan orang
lain dalam pengusaan ilmu al-Qur’an dan faraid. Ia juga mampu mempelajari kitab
yahudi dalam waktu yang relative singkat atas permintaan Rasulullah saw.
Selain itu
zaid juga dikenal sebagai sekretaris kepercayaan Rasulullah saw dalam menerima
wahyu. Apabila Rasulullah saw menerima wahyu zaid selalu dipanggil untuk
menulisnya.
Zaid
adalah sebagai penghimpun al-Qur’an dan menguasai informasi tentang al-Qur’an.
Jasa Zaid dalam upaya kodifikasi al-Qur’an sangatlah mulia. Tiada yang mampu
menandinginya dalam menulis kalamullah.
Zaid wafat tahun 45
hijriah. Kepergiannya ditangisi seluruh penduduk madinah. Banyak orang yang
merasa kehilangan , diantaranya Ibnu Abbas yang berkata “hari ini telah pergi
seorang ulama besar dan tokoh cendekia”
4. Abdullah Bin Mas’ud
Ia memiliki nama
lengkap Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Abdirrahman al-Hadzali al-Maki
al-Muhajiri. Ia merupakan salah seorang penghimpun al-Qur’an di masa Rasulullah
saw dan membacakan dihadapannya. Ia pernah berkata “Aku telah menghafal dari
mulut Rasulullah saw tujuh puluh surat”
Abdullah selalu
mengikuti Rasulullah saw sejak usia belia. Pendengarannya selalu dihiasi dengan
ayat-ayat al-Qur’an sejak turun kepada Rasulullah saw. Kiprahnya dalam memelihara
al-Qur’an tidak diragukan lagi. Ia hidup bersama dan untuk al-Qur’an.
Abdullah menjadi ulama
yang paling tahu tentang al-Qur’an. Tak heran jika Rasulullah memujinya dan
mengajurkan para sahabat dan orang setelahnya untuk mempelajari kandungan al-Qur’an
dari Abdullah bin Mas’ud.
Abdullah bin Mas’ud
wafat pada tahun 32 hijriyah dalam usia 65 tahun. Ia wafat di madinah dan telah
meriwayatkan 840 hadits.
5. Utsman Bin Affan
Nama lengkapnya adalah
Utsman bin Affan bin Abi al-Ash Abu Amr Abu Abdillah al-Quraisy al-Amawi. Ia
dikenal sebagai sahabat Rasul yang hatinya nempel dengan al-Qur’an.
Dimasa kekhalifaannya
ia berhasil menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf dan menyebarkannya pada
beberapa kota. Ali bin Abi Thalib pun memujinya “kalaulah Utsman tak
melakukannya maka pasti akan kulakukan”. Selain itu Utsman juga mampu
menyatukan al-Qur’an yang tujuh jenis huruf atau dialek sehingga terhindarlah
malapetaka dan fitnah perpecahan umat.
Di akhir
kekhalifaannya ( tahun 35 hijriah ) terjadi kekacauan, Utsman di sekap di
rumahnya selama empat puluh hari. Ia syahid terbunuh saat membaca al-Qur’an.
Usianya 82 tahun.
6. Ali Bin Abi Thalib
Ali adalah seorang
penghafal al-Qur’an yang kuat dan termasuk diantara orang yang pertama kali
mendapat hidayah islam. Ali berislam dalam usia belia. Ia memiliki nama lengkap
Ali bin Abi Thalib Amir al-Mu’minin Abu al-Hasan al-Quraisyi al-Hasyimi.
Ali terkenal zuhud,
wara, dan dermawan ia menganggap rendah dunia dan selalu beramal untuk
keridhaan Allah swt. Ia sangat memahami ilmu al-Qur’an. Abu Abdurrahman
as-Sulmi berkata “aku tidak pernah melihat seorang yang lebih pandai dalam
al-Qur’an daripada Ali”.
Kehidupan Ali selalu
diwarnai dengan al-Qur’an. Ali berkata tentang dirinya dan karunia Allah
kepadanya “Demi Allah tidak satupun ayat yang diturunkan kecuali aku telah
mengetahui tentang apa dan dimana diturunkan. Sesungguhnya Allah telah
memberikan kecerdasan hati dan lidah yang fasih”
Ali syahid terbunuh
pagi hari tanggal 17 Ramadhan 40 hijriah di kuffah. Ia dibunuh Ibnu Muljam
al-Maradi.
7. Ubai Bin Ka’ab
Ia memiliki nama
lengkap Ubai bin Ka’ab bin Qais Abu al-Mudzir al-Anshari al-Madani. Ubai hidup
dalam naungan al-Qur’an. Ia selalu menyempatklan diri membaca al-Qur’an siang
malam dan khatam dalam delapan malam. Umar bin Khattab pernah berkata “Qari
paling baik diantara kami adalah Ubai”
Umar juga pernah
berkutbah di Jabiyah sembari menyatakan tentang pengetahuan Ubai terhadap
al-Qur’an. Umar berkata “barang siapa yang hendak menanyakan tentang al-Qur’an
datanglah ke Ubai”.
Ubai telah menjadikan
al-Qur’an sebagai sumber kebaikan dalam ucapan serta perbuatannya. Ubai selalu
menasehati orang-orang untuk menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam setiap
perbuatan.
Ubai termasuk
skretaris Rasulullah saw sebelum Zaid bin Tsabit. Ia bersama Zaid adalah
sahabat yang paling tekun menulis wahyu dan menulis banyak surat. Keduanya
menulis wahyu dalam pengawasan Rasulullah saw.
Ubai wafat di madinah
tahun 20 hijriah. Di hari wafatnya Umar berkata “hari ini telah meninggal
seorang tokoh islam, semoga Allah meridhainya”.
2.4. Beberapa ahli
tafsir yang memiliki kemampuan baik dan cukup berpengaruh dalam perkembangan
ilmu tafsir.
Imam Suyuthy dalam
kitabnya Al-Itqan mengatakan: “Kalangan sahabat yang populer dengan tafsir ada
sepuluh; khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Ibnu Mas’ud,
Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-’Asy’ari dan
Abdullah bin Zubair. Dan dari kalangan khalifah empat yang paling banyak
dikenal riwayatnya tentang tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. sedang dari
tiga khalifah yang lain hanya sedikit sekali, karena mereka lebih terdahulu
wafatnya.
Sebab sedikitnya
riwayat dari ketiga orang sahabat yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman, dapat
ditinjau kembali dari pendapat As-Suyuthy, yaitu karena pendeknya masa jabatan
mereka disamping mereka meninggal lebih dahulu. Dari segi yang lain karena
mereka bertiga hidup pada suatu masa dimana kebanyakan penduduk mengetahui dan
pandai tentang Kitabullah, sebab mereka selalu mendampingi Rasulullah SAW.
Karenanya, mereka mengerti dasar rahasia-rahasia penurunan, lagi pula
mengetahui makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayatnya. Sedang Ali r.a.
hidup berkuasa setelah khalifah yang ketiga, yaitu pada masa dimana daerah
Islam telah meluas. Banyak orang-orang luar Arab yang memeluk Islam sebagai
agama baru. Generasi keturunan shahabat banyak yang merasa perlu untuk
mempelajari Al-Qur’an serta memahami rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya.
Karena itu wajarlah riwayat daripadanya begitu banyak melebihi riwayat yang
dinukil dari tiga khalifah lainnya.
Berikut ini kami akan
membicarakan sedikit terperinci tentang kalangan sahabat yang terkenal dengan
tafsir Al-Qur’annya.
a. Abdullah Ibnu Abbas
Abdullah Ibnu Abbas
adalah orang yang ternama dikalangan ummat Islam. Ia adalah anak paman
Rasulullah SAW, yang pernah dido’akan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kata-kata,
“Ya Allah berilah pemahaman tentang urusan agama dan berilah ilmu kepadanya
lentang ta’wil”. Ia dikenal sebagai ahli bahasa/penterjemah Al-Qur’an. Ibnu
Mas’ud berkata, “Penterjemah Al-Qur’an yang paling baik adalah Abdullah bin
Abbas.” Dia adalah sahabat yang paling pandai/tahu tentang tafsir Al-Qur’an.
Pada waktu beliau masih berusia muda, para pemuka sahabat mereka telah menyaksikan
kebolehannya bahkan ia dapat menandingi mereka pula dapat menggugah keajaiban
mereka dengan usianya yang sangal muda. Umar r.a. pernah mengikutsertakan
Abdullah dalam Majelis Permusyawaratan bersama-sama dengan tokoh-tokoh Sahabat
untuk bermusyawarah. Ia seringkali disodori permasalahan. Karena Umar
menampilkan Ibnu Abbas maka agak sedikit mengundang perdebatan dikalangan
sahabat. Diantara mereka ada yang mengatakan “Kenapa anak kecil ini dimasukkan
bersama-sama kita”. Kami punya anak yang lebih besar/tua umurnya dibanding
dengan dia.
Dia mempunyai biografi
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya yang menunjukkan kebolehan
ilmunya dan kedudukannya yang tinggi dalam hal penggalian secara mendalam
tentang rahasia-rahasia Al-Qur’an sebagai berikut:
Riwayat Al-Bukhari
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jabir, dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: “Umar
mengikutkanku bersama tokoh-tokoh perang Badar. Dikalangan mereka ada yang
bertanya dalam dirinya, lalu mengemukakan pendapat; “Kenapa anak ini
diikutsertakan bersama kami padahal kami sungguh mempunyai anak yang seusia
dengannya?” Umar menjawab: Dia adalah seorang yang sudah kalian ketahui, ia
adalah orang yang terkenal kecerdasannya dan pengetahuannya. Pada suatu ketika,
Umar memanggil mereka dan mengikutkanku bersama mereka hanya sekedar
diperkenalkan kepada mereka. Tiba-tiba
Umar (memberi
kesempatan pada mereka untuk bertanya) berkata: “Apakah pendapat sekalian
tentang firman Allah: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
(QS. An-Nashr: 1).
Sebagian mereka ada
yang berpendapat: “Kami diperintah menuju Allah dan meminta ampun pada-Nya,
tatkala kami dibantu oleh-Nya dan diberi kemenangan”. Sebagain mereka yang lain
bungkam seribu bahasa. Umar bertanya kepadaku: Bagaimana dengan pendapatmu (hai
Ibnu Abbas). Aku jawab: “Tidak benar! Lalu menurut anda bagaimana?” Aku
menjawab:
“Persoalannya adalah
tentang ajal Rasulullah SAW dimana Allah memberitahukan kepadanya”.
Ia (Ibnu Abbas)
menafsirkan/penaklukan Makkah. Itu adalah suatu tanda tentang ajalmu (hai
Muhammad) karena itu bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan istighfarlah (mohon
ampun) kepada-Nya. Sungguh ia adalah Penerima Taubat”. Seraya Umar berkata:
“Demi Allah, saya tidak mengetahui kandungannya sebelum engkau jelaskan”.
Kisah tersebut
menyatakan begitu hebatnya daya kemampuan pemahaman serta pendapat Ibnu Abbas
dalam menyimpulkan petunjuk Al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh
orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. Tidaklah aneh kalau Ibnu Abbas
menempati kedudukan yang tinggi dalam memahami rahasia kandungan Al-Qur’an
karena Rasul telah mendo’akannya agar dia diberi pemahaman dan pendalaman dalam
urusan Agama sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas
sendiri dimana ia berkata: Rasul menyekapku seraya beliau bersabda:
“Ya Allah berilah ia
pemahaman dalam urusan Agama dan berilah ia pengetahuan tentang ta’wil”.
Dalam riwayat lain
redaksionalnya: “Ya Allah berilah ia pengetahuan tentang hikmah pengetahuan
yang sungguh mendalam”. Ibnu Abbas dikenal dengan sebutan lautan karena begitu
luas ilmunya. Diriwayatkan bahwa salah seorang datang kepada Abdullah bin Umar,
ia menanyakan tentang langit dan bumi semula bersatu kemudian keduanya kami
belah. Ibnu Umar menjawab: “Datanglah kepada Ibnu Abbas dan tanyakanlah
kepadanya.” Setelah anda tanyakan, kembali lagi dan jelaskan kepadaku”. Orang
tersebut pergi bertanya kepada Ibnu Abbas dan ia memberikan jawaban: “Langit
bersatu (ratqan) maksudnya tidak turun hujan, dan yang dimaksud dengan bumi
ratqan tidak tumbuh tanaman/gersang, kemudian Ia (Allah) menurunkan hujan dan
menumbuhkan tanaman-tanaman.
Setelah itu orang
tersebut kembali kepada Ibnu Umar untuk memberitahukan hasilnya, seraya
berkata: “Aku dulu telah mengatakan dengan geleng kepala karena keberanian Ibnu
Abbas dalam hal menafsirkan Al-Qur’an, sekarang aku telah mengetahui benar
bahwa ia telah dikaruniai ilmu”.
Diriwayatkan pula
bahwa Umar ibnu Khattab pada suatu ketika bertanya kepada Sahabat-sahabat Nabi:
“Siapa yang menjadi sebab turunnya ayat di bawah ini, menurut pendapat kalian?”
Seraya Umar membacakan ayat: “Apakah ada salah seorang diantaramu yang ingin
mempunyai kebun kurma dan anggur……” (QS. Al-Baqarah: 66)
Mereka menjawab:
“Allah Yang Maha Tahu”. Umar marah seraya berkata: “Jawab! Tahu atau tidak!”
Ibnu Abbas menjawab: “Ada sedikit yang tergores dalam hatiku”. Umar berkata:
“Hai anak saudaraku, katakanlah dan janganlah anda merasa minder/rendah diri”.
Ibnu Abbas berkata: “ayat itu dijadikan suatu contoh perbuatan”. Umar berkata:
“Perbuatan apa?”. Ibnu Abbas menjawab: “Seorang yang kaya lagi taat kepada
Allah, ia didatangi oleh syaitan, dan terperdaya untuk melakukan maksiat
sehingga amal Â
perbuatannya tenggelam”.
(HR. Al-Bukhari).
Semuanya itu berikut
dengan contoh-contohnya adalah menyatakan tentang keistimewaan ilmu pengetahuan
Ibnu Abbas dan pemahamannya yang begitu luas sejak beliau berusia muda. Oleh
karena itu ia tergolong dalam barisan tokoh pembesar Sahabat, ia sebagai pemuka
umat yang sangat pandai dengan disaksikan oleh kalangan Sahabat itu sendiri.
Guru-guru Ibnu Abbas
Diantara Guru-guru
besar yang mengajar ilmu kepada Ibnu Abbas selain Rasulullah SAW, yang
mempunyai pengaruh yang menonjol terhadap daya pikiran dan kebudayaannya,
antara lain Umar Ibnu Khattab, Ubay ibnu Ka’ab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Zaid
Ibnu Tsabit. Kelima orang tersebut adalah guru-gurunya yang tetap. Dari
merekalah hampir semua ilmu dan budayanya didapat. Mereka sangat berpengaruh
dalam mengarahkan Ibnu Abbas kepada masalah ilmu pengetahuan yang sangat
mendalam.
Murid-murid Ibnu Abbas
Banyak dari kalangan
Tabi’in yang mempelajari ilmu pengetahuan dari Ibnu Abbas. Diantara mereka yang
paling terkenal adalah murid-muridnya yang menukil tafsir dan ilmunya yang
melimpah ruah. yaitu: Sa’id Ibnu Jubair, Mujahid ibnu Jabar Al-Khazramy, Thawus
ibnu Kysan Al-Yamany, Ikrimah Maula (hamba) yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas,
Atha’ ibnu Abi Rabbah. Mereka itu adalah murid-murid yang paling terkenal
dimana mereka memindahkan lembaga ilmiah, buah pena Ibnu Abbas ke dalam tafsir
yang sampai pada kita sekarang.
b. Abdullah Ibnu
Mas’ud
Sahabat lain yang
terkenal sebagai ahli tafsir dan menukilkan atsar (hadits) Rasul kepada kita
ialah Abdullah ibnu Mas’ud r.a. Ia adalah salah seorang yang pertama untuk
Islam. Usia beliau pada waktu itu enam tahun, dimana belum ada di muka bumi ini
seorang anak yang masuk Islam selain dia. Ia adalah seorang pembantu Rasulullah
SAW, sering memakaikan sandalnya dan sarung, pergi bersama-sama beliau sebagai
penunjuk jalan. Dari segi hubungan kenabian ia adalah seorang yang sangat baik
lagi pula terdidik. Karena pertimbangan itulah sahabat lain memandangnya
sebagai seorang sahabat yang lebih banyak mengetahui bidang Kitabullah
Al-Qur’an, mengetahui tentang muhkam dan mutasyabih, halal dan haram.
As-Suyuthy mengatakan:
“Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud tentang tafsir adalah lebih banyak daripada
yang diriwayatan dari Ali…….”.
Al-Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud: “Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. tidak
ada satu suratpun yang diturunkan oleh Allah yang tidak saya ketahui dimana
turunnya. Tidak ada satu ayat Al-Qur’an pun yang tidak saya ketahui dalam kasus
apa diturunkannya. Kalau aku tahu ada seorang yang lebih tahu dariku tentang
Kitab Allah dan bisa ditempuh dengan kendaraan unta, niscaya akan kudatangi
rumahnya…..”. Diriwayatkan oleh para Tabi’in daripadanya.
2.5. Ahli Tafsir
Golongan Tabiin
Apabila disebutkan
ahli-ahli tafsir dari golongan tabi’in, mereka dianggap lebih banyak
bilangannya daripada ahli tafsir golongan sahabat, karena golongan sahabat yang
terkenal dengan ahli tafsir tidak lebih dari sepuluh orang.
Seperti telah
disebutkan oleh Imam Suyuthy dalam kitabnya Al-Itqan. Di atas telah kami
sebutkan nama-nama mereka dan telah kami cuplikkan pula otobiografi beberapa
ahli tafsir di kalangan mereka.
Adapun golongan
tabi’in di dalamnya banyak ahli tafsir dan mereka terkenal luas. Dikalangan
mereka terdapat pula tokoh-tokoh yang tiada bandingannya yang banyak
mencurahkan perhatiannya terhadap tafsir Kitab Allah SWT. Dari mereka pula para
ahli tafsir yang berikutnya mengutip sebagian banyak pendapatnya.
Ahli tafsir golongan
tabi’in ini terbagi tiga kelompok:
1. Kelompok ahli
Makkah
2. Kelompok ahli
Madinah
3. Kelompok ahli Iraq
Kelompok pertama:
Ialah kelompok ahli
Makkah, mereka mengambil ilmu pengetahuan dari seorang guru ahli-ahli tafsir
dan seorang penterjemah Al-Qur’an yaitu Sayyid Abdullah bin Abbas r.a.
Imam Suyuthy mengutip
pendapat Ibnu Taimiyah, bahwa berkata: “Orang yang paling pandai tentang tafsir
adalah orang-orang Makkah, karena mereka sahabat Abdullah bin Abbas”.
Dikalangan mereka
banyak orang-orang yang terkenal dan muncul tokoh-tokoh yang tiada bandingannya.
Tokoh-tokoh itu antara lain Mujahid, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Thawus dan Sa’id bin
Juber. Di bawah ini kami tuliskan otobiografi ringkas tentang kehidupan
ulama-ulama tadi.
a. Mujahid bin Jabar
Mujahid dilahirkan
pada tahun 21 Hijrah dan meninggal pada tahun 103 Hijrah. Nama lengkapnya
Mujahid bin Jabar yang bergelar Abu Hajjaj Al-Makky. Ia seorang ulama yang
terkenal dalam tafsir. Adz-Dzahaby mengatakan: “Ia adalah guru ahli baca
Al-Qur’an dan ahli tafsir yang tidak diragukan. Ia mengambil tafsir qur’an dari
Ibnu Abbas”. Ia salah seorang murid Ibnu Abbas yang paling hebat dan yang
paling dipercaya untuk meriwayatkan tafsir. Oleh karenanya, Imam Bukhari banyak
berpegang pada tafsirnya, sebagaimana halnya ahli-ahli tafsir yang lain, mereka
juga banyak berpegang atas riwayatnya. Ia sering mengadakan perjalanan kemudian
menetap di Kufah. Bila ada hal yang mengagumkan dia, maka ia pergi dan
menyelidikinya.
Mujahid belajar Tafsir
Kitabullah Al-Qur’an dari gurunya, Ibnu Abbas dengan cara membacakannya pada
Ibnu Abbas dengan penuh pemahaman, penghayatan dan penelitian pada setiap ayat
Al-Qur’an, kemudian Mujahid menanyakan artinya dan penjelasan
rahasia-rahasianya.
Imam Al-Fudhail bin
Maimun meriwayatkan dari Mujahid bahwa ia berkata: “Aku pernah menyodorkan
Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali, dimana pada setiap ayat aku
berhenti sambil menanyakan: “Dalam hal apa ayat itu diturunkan dan bagaimana
ayat tersebut diturunkan?”
Pertanyaan yang
diajukan Mujahid kepada gurunya itu semata-mata hanya untuk minta Â
penjelasan Al-Qur’an,
mengetahui rahasia-rahasianya dan memahami hikmah-hikmah serta hukum-hukumnya.
Sehubungan dengan itu Imam Nawawi berkata: “Apabila datang kepadamu tafsir dari
Mujahid maka cukuplah untukmu”. Artinya tafsir itu sudah cukup, tidak perlu
lagi tafsir yang lain apabila perawinya Imam Mujahid.
b. Atha bin Aby Rabbah
Ia dilahirkan pada
tahun 27 Hijrah dan wafat pada tahun 114 Hijrah. Ia hidup di Makkah sebagai
ahli fatwa dan ahli hadits bagi penduduknya. Ia seorang Tabi’in yang tergolong
tokoh-tokoh ahli fiqh. Ia sangat percaya dan mantap kepada riwayat Ibnu Abbas.
Imam besar Abu Hanifah
An-Nu’man berkata: “Aku belum pernah jumpa dengan seorang yang lebih utama
daripada Imam ‘Atha’ bin Aby Rabbah”. Qatadah mengatakan: “Tabi’in yang paling
pandai itu ada empat, yaitu: ‘Atha’ bin Aby Rabbah seorang yang paling pandai
tentang manasik, Sa’id bin Jubair orang yang paling pandai tentang tafsir dan
seterusnya”, Ia meninggal dunia di kota Makkah dan dikebumikan juga di kota itu
dalam usia 47 tahun.
c. Ikrimah Maula Ibnu
Abbas
Ia lahir pada tahun 25
Hijrah dan wafat pada tahun 105 Hijrah. Imam Syafi’i pernah mengatakan tentang
dia: “Tidak ada seorangpun yang lebih pintar perihal Kitabullah daripada
Ikrimah”, ia adalah maula (hamba) Ibnu Abbas r.a. ia menerima ilmunya langsung
dari Ibnu Abbas, begitu juga Al-Qur’an dan Sunnah”, ia mengatakan: “Aku telah
menafsirkan isi lembaran-lembaran mushhaf dan segala sesuatu yang aku bicarakan
tentang Al-Qur’an, semuanya dari Ibnu Abbas”.
Tentang otobiografinya
dalam kitab Al-I’lam disebutkan sebagai berikut: “Ikrimah bin Abdullah
Al-Barbary Al-Madany, Abu Abdillah seorang hamba Abdul1ah bin Abbas, adalah
Tabi’in yang paling pandai tentang tafsir dan kisah-kisah peperangan, ia sering
merantau ke negara-negara luar. Diantara tiga ratus orang yang meriwayatkan
tafsir daripadanya tujuh puluh lebih adalah golongan tabi’in. Ia pernah juga ke
Maghrib untuk mengambil ilmu dari penduduknya kemudian ia kembali ke Madinah
Al-Munawwarah. Setelab ia kembali di Madinah ia dicari Amirnya, tetapi ia
menghilang sampai mati.
Kewafatannya di kota
Madinah bersamaan dengan kewafatan seorang penyair tenar Kutsayyir Azzah dalam
hari yang sama, sehingga dikatakan orang: “Seorang ilmiawan dan seorang penyair
meninggal dunia”.
d. Thawus bin Kaisan
Al-Yamany
Ia dilahirkan pada
tahun 33 Hijrah dan wafat pada tahun 106 Hijrah, ia terkenal sebagai penafsir
Al-Qur’an. Kemahirannya menunjukkan tentang hafalan, kecerdasan, dan
ketakwaannya serta jauh dari keduniawian, dan ahli islah, ia menjumpai sekitar
lima puluh orang sahabat. Banyak orang-orang yang menerima ilmu pengetahuan
daripadanya, ia seorang ahli ibadah serta tidak terpengaruh pada dunia.
Dituturkan orang ia menunaikan ibadah haji di tanah haram sebanyak empat puluh
kali. Kalau ia berdo’a selalu dikabul, sehingga Ibnu Abbas pernah berkata: “Aku
menduga Thawus adalah ahli surga”.
Dalam kitab Al-I’lam
disebutkan tentang otobiografinya sebagai berikut: “Thawus bin Kaisan
Al-Khulany Al-Hamdany Abu Abdirrahman adalah tergolong Tabi’in yang sangat
besar tentang pengetahuan agamanya, riwayat haditsnya, kesederhanaan hidupnya
dan keberaniannya memberi nasihat kepada khalifah-khalifah dan raja-raja.
Beliau berasal dari Persia sedang tempat kelahiran dan kedewasannya adalah
Yaman. Ia wafat pada waktu menjalankan ibadah haji di Muzdalifah, yang ketika
itu seorang hhalifah Hisyam bin Abdul Â
Malik sedang
menunaikan haji juga, lalu beliau menyembahyangkannya.
Ia enggan mendekati
Raja-raja dan Amir-amir, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Orang yang selalu menjauhi
Sultan itu ada tiga yaitu, Abu Dzar, Thawus dan Ats-Tsaury”.1)
1 Al-”A’lam, karangan
Zarkali jilid 5 hal. 29
2.6. Qari Tujuh Yang
Masyhur
Para Qari yang hafal
Al-Qur’an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya, dan menyampaikan qira’at
kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW.
Qira’at yang mutawatir
semuanya kita kutip dari para qari yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan
hafalan serta ketelitiannya. Mereka ialah imam-imam qira’at yang masyhur yang
meyampaikan qira’at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat
Rasulullah SAW. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang
kitabullah Al-Qur’an sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baiknya orang
diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”.
Syaikh Abul Yusri
‘Abidin telah menyebutkan nama-nama qari dalam dua bait sya’ir:
Nafi’, Ibnu Katsir,
‘Ashim dan Hamzah, Abu ‘Amer, Ibnu ‘Amir dan Kisaiy.
Itulah tujuh Imam yang
tak diragukan lagi.
1. Ibnu ‘Amir
Nama lengkapnya adalah
Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid
ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in,
belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin
Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang
yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini
pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di
sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus
Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.
2. Ibnu Katsir
Nama lengkapnya adalah
Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal
qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat
Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di
Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun
250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby
mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya.
Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga….. Muhammad yang disebut Qumbul namanya.
3. ‘Ashim al-Kufy
Nama lengkapnya adalah
‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah.
Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada
sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada
tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby dalam
sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka
melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy
panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal
dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.
4. Abu Amr
Nama lengkapnya adalah
Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi.
Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr
itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya
adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
Asy-Syathiby
mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry,
ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal
bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib
atau as-Susy berguru padanya.
5. Hamzah al-Kufy
Nama lengkapnya adalah
Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas
hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di
Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya
adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan
perantara Salim.
Syatiby mengemukakan:
“Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan
Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.
6. Imam Nafi.
Nama lengkapnya adalah
Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari
Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah
al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada
tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby
mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah
sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat
mulia yang mengembangkannya.
7. Al-Kisaiy
Nama lengkapnya adalah
Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul
Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa
pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy
ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H.
Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun
246 H.Syathiby mengatakan: “Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian
ihramnya, Laits Abul Haris perawinya, Hafsah ad-Dury hilang tuturnya.
BAB III
Penutup
3.1 kesimpulan
Betapa
besar nikmat yang telah dirasakan oleh umat manusia saat ini. Dapat mengkaji
dan meneliti akan sebuah hadits dengan mudahnya, melalui kitab-kitab hadis yang
telah terkodifikasi oleh para ulama dahulu. Andaikan dahulu, para sahabat dan
tabi’in tidak terbersit dalam pikiran mereka untuk mengkodifikasi hadits-hadits
Nabi, mungkin sekarang ini manusia sulit dalam menentukan segala macam hukum
dan permasalahan yang muncul.
Penyebaran Hadist di
masa sahabat dan tabi’in berkembang pesat yang ditandai dengan gerakan mencari
ilmu oleh para sahabat sendiri kepada sahabat lainnya dari masalah yang tidak
diketahuinya. Tidak jarang seorang sahabat pergi menemui sahabat lainya yang
berjarak ribuan kilometer untuk menanyakan hanya satu hadist saja.
Begitu
pula para tabi’in yang tidak segan-segan mendatangi daerah tertentu untuk
belajar kepada seorang sahabat ataupun beberapa sahabat sekaligus. Pencariaan
ilmu saat itu berupa pencarian tafsir Qur’an dan hadist-hadist Nabi beserta
penjelasan nya. Islam tersebar luas dan terus mengeliat ketika itu dibawah
dakwah para sahabat dan tabi’in. Mereka giat menyiarkan Al-Qur’an dan hadist
Nabi sebagai sumber pokok ajaran Islam. Beberapa catatan hadist (sahifah) telah
ditulis sebelum skhir abad ke-1 Hijri. Dan ini sebagai bukti kuat serta
bantahan kalangan sarjana Orientalis yang menganggap hadist pertama kali
dibukukan sesudah abad ke-1 Hijri.
Adapun cara periwayatan hadits pada masa sahabat terbagi menjadi dua yaitu:
Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan Periwayatan
Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan tetapi makna&intinya sama). Pada masa sahabat
belum ada penulisan hadits secara resmi sebab dikhawatirkan bercampur dengan
Al-Qur’an dan umat islam lebih difokuskan untuk mempelajari Al-Qur’an. Begitu
juga pada masa Tabi’in, yang mengikuti jejak para sahabat, periwayatan
haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih
sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin
maraknya hadits-hadits palsu yang muncul dari beberapa golongan untuk
kepentingan politik.
3.2. Sahabat-sahabat Penghafal Al-qur’an
1. Abu musa Al-Asy’ari
2. Abu Darda
3. Zaid Bin Tsabit
4. Abdullah Bin Mas’ud
5. Utsman Bin Affan
6. Ali Bin Abi Thalib
7. Ubai Bin Ka’ab
DAFTAR PUSTAKA
As,Muzdakir.2002.Manna’
Khalil al-Qattan.PT.Mitra Kerjaya Indonesia :Jakarta
Al-Jauziyah, Ibn
Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in. Juz I.
Anas, Malik bin. 1990.
al-Muwaththa’, Istambul, Turki: Dar al-Sahnun.
Arifin, Zainul. 2005.
Studi Kitab Hadits. Surabaya: Alpha.
Ash-Shalih, Shubhi.
1977. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Beirut, Libanon: Dar al-Ilm al-Malayin.
Hanbal, Ahmad bin.
1990. Musnad Ahmad bin Hanbal. Juz I. Istambul Turki: Dar al-Sahnun.
Khon, Abdul Majid.
2008. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Suparta, Munzier.
1993. Ilmu Hadits. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Zahw, Muhammad Abu.
tt. Al-Hadits wa al-Muhadditsun. Matba’ah Mishr.
Sumber
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-33.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar