Kamis, 06 Desember 2012

PENGHAFAL LA_QUR'AN MASA SHOHABAT SAMPAI ALAMAH SAB'AH



BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Berpijak pada al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4, maka jelas bahwa segala yang terkait dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW—fi’liyah, qouliyah dan taqririyah—merupakan misi ilahiyah yang harus dicermati dan dipedomani manusia, baik oleh orang yang tahu akan kebenaran Islam dan melaksanakannya atau orang yang pura-pura tidak tahu dan enggan melaksanakannya.
Keterkaitan antara hal ihwal Nabi Muhammad dengan umat-umat sesudahnya merupakan satu rangkaian sejarah yang menimbulkan perbincangan serius. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan redaksi yang disebabkan individualitas penulisan para sahabat dan perbedaan persepsi. Dengan demikian, untuk memahami hadits lebih lanjut, kita dituntut menguasai ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Dari situ bisa kita lihat kebenaran isi (matan) dan mata rantai sanad yang menjadi inti dari memperbincangkan hadits Nabi Muhammad Saw. Juga bisa dilihat bagaimana sikap para sahabat akan kebenaran “khabar” itu dan siapa yang berperan dalam periwayatan tersebut.
Di samping para sahabat, yang juga getol dalam membela eksistensi hadits adalah kalangan Tabi’in. Di mana kalangan tabi’in merupakan periode kedua setelah sahabat yang dengan kepiawaiannya mereka bisa mencari keaslian makna hadits. Sehingga, dari rentetan pencarian kebenaran tersebut kita bisa menilai apakah hadits itu bisa diterima atau tidak. Dalam makalah ini akan dikupas beberapa hal yang terkait dengan Pesebaran hadits dimasa shahabat dan tabi’in,
1.2. Rumusan masalah   
1.      Siapa saja penghafal al-Qur’an pada masa shohabat?
2.      Siapa saja perowi dan penghafal Al-Qur’an pada masa shohabat?
3.      Siapa saja perowi dan penghafal Al-Qur’an pada masa tabi’in tabi’in sampai alamah sab’ah?         
1.3. Tujuan masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas,maka tujuan hendak dicapai adalah untuk mengetahui sipa saja perowi dan penghafal al-Qur’an pada masa shohabat,tabi’in sampai alamah sab’ah.
BAB  II
Pembahasan

2.1. Shahabat
Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan mu’min dan meninggal dalam keadaan mu’min. Selain memperhatikan al-Qur’an, pada masa ini Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan hadits. Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk menyampaikan hadits kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir saat hadits disampaikan.
Setelah Rasul SAW wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin temporal (politik) umat Islam, sekaligus mengurus perjuangan spritual menegakkan syari’at Islam. Pada awalnya dua hal ini adalah satu seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Setelah Abu Bakar, estafet kepemimpinan dilanjutkan secara bergantian oleh Umar bin al-Khat-tab, Usman bin Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Sunnah di dalam pemerintahan khalifah ar-Rasyidun tersebut tetap menjadi pegangan utama sahabat setelah Al Qur’an.
Dalam dua pemerintahan Islam, Abu Bakar dan Umar, tidak ditemukan gerakan periwayatan sunnah yang signifikan sebagaimana yang terjadi setelahnya. Pada pemerintahan Abu Bakar, konsentrasi umat terpusat pada upaya konsolidasi dan meredam pemberontakan kelompok murtad, Nabi palsu, dan pengingkar zakat. Pada paruh akhir kekuasaannya, perhatian tertuju pada pengumpulan dan kodifikasi Al Qur’an. Demikian juga dalam masa pemerintahan Umar. Khalifah Umar, sangat selektif menerima riwayat, bahkan terkesan sangat hati-hati. Dalam masa pemerintahan Usman dan Ali, suasana telah berubah, maka mulailah muncul berbagai riwayat, tidak terkecuali adanya pemalsuan yang dilakukan non sahabat untuk mendukung fraksi-fraksi politik umat.
Selain Al Qur’an sebagai sumber pertama hukum Islam, Sunnah Rasulullah SAW menempati urutan kedua. Ketika menjelang wafatnya Rasul SAW ia bersabda, “Aku meninggalkan bagi kamu dua hal, jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnahku.” Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul SAW tersebut. Yang dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan Al Qur’an sebagai way of life. Ini berarti para sahabat mengamalkan perintah yang terdapat di dalamnya dan menjauhi larangannya. Berpegang pada Sunnah Nabi SAW berarti mengikuti petunjuk Nabi SAW dan memelihara kemurniannya. Oleh sebab itu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut, sahabat sangat hati-hati sekali meriwayatkan sunnah Nabi SAW.
Secara umum dapat dikemukakan dua poin penting tentang metode sahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw. Metode tersebut yaitu:
1. Taqlil ar-Riwayah
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin kuat ketika Umar memegang tampuk kekhalifahan. Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Hurairah ketika ditanya kenapa beliau tidak banyak meriwayatkan hadis pada era pemerintahan Umar. “Jika aku memberitakan hadis pada masa Umar sebagai yang aku beritakan kepada kamu (saat ini), niscaya ia akan memukulku.” Demikian jawaban Abu Hurairah. Dalam masa berikutnya, kendatipun tidak ada lagi tekanan dari Umar, Abu Hurairah tetap tidak mau memperbanyak periwayatan. Hal ini merupakan kesadaran sendiri dari diri beliau untuk mengikuti sunnah dua Khalifah al-Rasyidin, Abu Bakar dan Umar. Namun, dalam suatu saat sebagaimana yang dikemukakan al-Bukhari, beliau membaca dua ayat Al Qur’an surah al-Baqarah ayat 159 dan 160. Sejak saat itu barulah beliau memperbanyak periwayatannya.
Sahabat-sahabat lain, juga terkesan menyedikitkan riwayat. Abu ‘Ubaidah, ‘Abbas bin ‘Abd al-muth-thalib, mereka tidak banyak meriwayatkan hadis, tidak seimbang jumlah hadis yang mereka riwayatkan dengan kedekatan keseharian mereka dengan Rasul SAW. Demikian pula misalnya dengan Sa’id bin Zaid, salah seorang sahabat yang dijamin Rasul masuk surga, tidak meriwayatkan hadis kecuali hanya sekitar dua sampai tiga hadis.
As-Sa’ib bin Yazid pernah berkata, “Aku berteman dengan Sa’d bin Malik dari Madinah ke Makkah, tidak satupun kudengar beliau menyampaikan hadis dari Nabi saw. Az-Zubair pernah ditanya anaknya, “Abdullah bin Zubair, “Aku tidak mendengar engkau menyampaikan hadis Rasul saw sebagaimana yang disampaikan sipulan dan si pulan.” Beliau menjawab, “Sungguh aku tidak akan memenggalnya, tetapi aku mendengar Nabi bersabda,” “Siapa yang berdusta atas namaku, maka ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka.”
Jika diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian.
Pertama, pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam. Oleh sebab itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.
Kedua, sahabat masih dekat dengan era Nabi, dimana umumnya mereka mengetahui sunnah. Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka. Memang diakui adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya masalah baru yang ditemui para sahabat, tetapi itu tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan generasi setelah sahabat. Dalam masalah-masalah pengecualian seperti persoalan baru atau salah seorang diantara mereka tidak mengetahui adanya sunnah, maka mereka saling memberi peringatan.
Abu Bakar, ketika diajukan kepadanya persoalan hukum, beliau melihatnya di dalam kitab Allah. Jika ia menemukannya ia memutuskan dengan ketentuan kitab Allah. Ketika ia tidak menemukannya juga, ia melihatnya di dalam sunnah Nabi SAW. Lalu, ia menghukum dengan sunnah tersebut. Jika ia tidak menemukannya, ia bertanya kepada masyarakat, “Apakah kamu mengetahui Rasulullah memutuskan perkara ini?” Maka, terkadang berdiri satu kaum, merka berkata, “Rasul menetapkannya begini dan begitu.” Jika tidak ditemukan adanya sunnah Nabi saw yang menjelaskannya maka para pemimpin masyarakat berkumpul dan memusyawarahkannya. Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin al-Khattab.
Ketiga, para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Al Qur’an. Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan dan hapalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku, mushaf. Zaid bin Tsabit, pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali tulisan Al Qur’an bahwa ia lebih suka disuruh memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini.
Keempat, adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya ‘Umar, agar sahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan diiringi sikap ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan penyebaran Al Qur’an lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab, andaikata gerakan sunnah lebih diutamakan, maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk Islam akan melupakan Al Qur’an dan lebih memprioritaskan Sunnah. Dengan demikian, regenerasi penghafal Al Qur’an tentu tidak akan mencapai kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah. Padahal diketahui bahwa Umar merupakan pemarkasa penulisannya Al Qur’an dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas wafatnya sahabat-sahabat Nabi penghafal Al Qur’an dalam memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar.
Kelima, sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka yang baru masuk Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Al Qur’an. Umar pernah mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi atau melakukan sumpah, namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu.
Keenam, sahabat takut terjerumus ke dalam dosa kalau-kalau mereka salah dalam meriwayatkan Sunnah.
2. Tatsabbut Fi Ar-Riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.
Al Hakim meriwayatkan, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang pembagian warisan. Abu Bakar mengatakan bahwa hal itu tidak ditemukan di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Lalu, seorang sahabat, al-Mugirah, menyebutkan bahwa Rasul memberinya seperenam karena kedudukannya sebagai kakek. Abu Bakar meminta al-Mugirah untuk mengajukan saksi terhadap pengakuanya, lalu Muhammad bin Maslamah menyaksikannya, barulah hadisnya diterima. Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak masa Abu Bakar.
Umar juga melakukan hal yang sama seperti Abu Bakar. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari memberi salam kepada Umar dari balik pintu rumah Umar sebanyak tiga kali. Ia tidak mendengar ada jawaban dari dalam rumah, lalu ia kembali. Setelah itu, Umar mengutus dan mempertanyakan kenapa Abu Hasan al-Asy’ari kembali. Ia menjawab,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,” “Apabila salah seorang kamu memberi salam sebanyak tiga kali, lalu ia tidak menjawabnya, maka hendaklah ia kembali.” Umar meminta kesaksian terhadap pernyataan itu. Abu Hasan datang dengan wajah suram ke satu majlis. Kami menanyakan ihwalnya, lalu ia menjelaskan kepada kami problema yang dihadapinya. Ia berkata,”Apakah ada di antara kamu yang mendengar sunnah Nabi tersebut?” Kami menjawab, “Kami semua mendengarnya.” Mereka mengutus bersamanya salah seorang di antara mereka dan memberitakan sunnah tersebut kepada Umar bin al-Khattab.
Usman bin Affan pernah berwudu’, ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung, kemudian ia membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangannya tiga kali-tiga kali, selanjutnya ia menyapu kepalanya, dan kedua kakinya tiga kali-tiga kali. Kemudian, ia berkata,”Aku melihat Rasulullah saw berwudu’ demikian,” “Hai hadirin, bukankah demikian!” Mereka menjawab, “benar”.
Asma’ bin al-Hakam pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata,”… Apabila ada orang yang menceritakan hadis kepadaku, aku menyuruhnya untuk bersumpah. Jika ia bersumpah maka aku membenarkannya.” Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain, seperti Aisyah.
Marwan bin Hakam pernah menguji hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ada kemungkinan, hal itu didasari kecurigaannya terhadap banyaknya riwayat yang dikemukakan sahabat ini. Abu Hurairah diuandangnya untuk hadir ke tempatnya dan dipersilakan duduk di dekat balai-balai. Lalu, marwan bertanya kepadanya dan Salim Abu Zur’ah, sekretaris Marwan, menulis hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah. Kemudian, setelah beberapa bulan berlalu, tepatnya di awal tahun, Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan mempersilakannya duduk di balik tabir. Lalu, ia kembali bertanya tentang catatan hadis tersebut, ternyata Abu Hurairah menjawabnya persis sebagaimana yang ia utarakan sebelumnya, bahkan susunannya pun tidak berubah.
Berdasarkan keterangan di atas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat untuk menerima periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul SAW. Sebaliknya, hal ini bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif untuk menyembunyikan dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun yang menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu.
3. Man’u Ar-Ruwat Min At-Tahdits Bima Ya’lu ‘Ala Fahm Al ‘Ammah
Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan ini khusus terhadap riwayat yang dapat mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman yang keliru tersebut. Misalnya, hadis yang menjelaskan tentang syahadat. Nabi bersabda, “ Tidak seorang pun yang bersaksi bahwa tia tuhan kecuali Allah dengan kesungguhan di dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkannya api neraka.” Mu’az berkata, “Wahai utusan Allah, aku akan memberitahu manusia, maka niscaya mereka akan bergembira.” Sekoyong-koyong berpeganglah kamu.” Umar bin al-Khattab melarang Abu Hurairah untuk menyebarkan hadis yang dikemukakan kepada Mu’az tersebut. Ia bergegas menemui Rasul saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan kepada Abu Hurairah begini dan begitu,“ Nabi SAW menjawab,”Benar,” Umar berkata,”Jangan engkau lakukan itu, aku takut manusia akan berpegang padanya dan mencederai mereka dalam bertindak.” Nabi SAW mengakuinya, dan berkata,”Mereka akan rusak.”
Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat seperti ini dapat menjerumuskan mereka untuk meninggalkan syariat Allah. Oleh sebab itu, sangat bijak jika Ibn Abbas berkata,”Ceritakan kamulah hadis kepada manusia sesuai dengan kecerdasan mereka. Apakah kamu menghendaki mereka mendustakan Allah dan Rasul.” Disebabkan salah memahami satu hadis mereka mendustakan seluruh syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Muslim meriwayatkan di dalam mukaddimahnya bahwa Ibn Mas’ud mengatakan, “Orang yang menyampaikan hadis di luar jangkauan kecerdasan mereka, maka akan menjadi fitnah bagi kaum tersebut.

2.2. Tabi’in
Tabi’in Orang Islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar kepada sahabat, tapi tidak bertemu dengan Nabi dan tidak pula semasa dengan Nabi. Tabi’in Besar (Kibar Tabi’in) Tabi’in yang banyak bertemu sahabat, belajar dan berguru kepada mereka. Tabi’in besar besar ini diantaranya yang dikenal dengan fukaha tujuh, yaitu: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in): Tabi’in yang sedikit bertemu sahabat dan lebih banyak belajar dan mendengar hadist dari Tabi’in besar.
Peranan Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadist tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu pernanan besar dalam kesinambungan dan pemeliharaan hadist. Khusunya setelah masa pemerinatahan Utsman dan Ali. Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali Bin Ali Thalib, mulailah usaha dan kesungguhan mencari hadist dan menghafal hadist oleh kalangan Tabi’in dengan mengadakan perjalanan untuk sekedar mencari ilmu (ilmu ketika itu berupa pencarian hadist-hadist Nabi).
Setelah Islam menguasai Syam (Jordan sekarang), Irak, Mesir, Samarkand (Asia) dan Spanyol, para sahabat banyak berhijrah ke daerah-daerah baru itu untuk berdakwah dan sekaligus mendirikan madrasah-madrasah sebagai wadah untuk menyebarkan ilmu. Daerah yang didatangi para sahabat itu kemudian dikenal sebagai pusat penyebaran ilmu yang nantinya menghasilkan sarjana-sarjana Islam, khususnya dalam disiplin ilmu hadist dari kalangan Tabi’in.
Dengan demikian, para tabi’in ini menerima hadist dari para sahabat sekaligus mereka pula belajar kepada sahabat tentang makna dan arti hadist yang mereka terima. Di masa tabi’in pun, para shighor sahabat, masih terus menimba ilmu. Khususnya mencari hadist dengan belajar kepada sahabat-sahabat besar. Jika sahabat besar itu ternyata berhijrah ke daerah-daerah lainnya, seperti di Mesir, di Jordan atau di Irak sekalipun, sahabat kecil inipun, yang berada di kota Mekkah ataupun Madinah, langsung mengadakan perlawatan ke daerah itu hanya untuk bertanya tentang satu hadist atau berguru langsung ke sahabat tersebut.
Hal ini dibuktikan dari riwayat Bukhari, Ahmad, Thabarani ataupun Baihaqi, bahwa Jabir pernah pergi ke Syam, yang memakan waktu sebulan untuk sampai di Syam hanya untuk menanyakan satu hadist saja yang belum pernah di dengarnya. Sahabat yang didatangi nya adalah Abdullah Ibn Unais Al-Anshary. Demikian pula halnya dengan Abu Ayyub Al-Anshory yang pernah melawat ke Mesir untuk menemui Uqbah Ibn Amir untuk bertanya satu hadist saja.
Para Tabi’in Belajar Kepada Sahabat Mulailah babak baru penyebaran hadist di masa tabi’in dan mereka mulai mencarinya sekaligus belajar kepada sahabat-sahabat yang mulai bertebaran di beberapa pelosok bahkan di beberapa Negara. Ada yang menarik dari periode tabi’in ini, jika diketahui ada seorang sahabat Nabi berkunjung ke daerahnya, mereka berlomba-lomba mendatanginya untuk belajar. Terkadang para tabi’in mengklasifikasi penerimaan hadist mereka dengan beberapa kategori, artinya mereka mementingkan kriteria yang pertama kemudian kedua dan seterusnya. Kriteria itu adalah:
1.      Sahabat yang pertamna kali masuk Islam, seperti: Khulafa Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud dll
2.      Sahabat yang terus-menerus hidup bersama Nabi dan kuat hafalannya seperti: Abu Hurairah, Ibnu Abbas dll
3.      Selain mendengar hadist langsung dari Nabi dan dari sahabat lainya, sahabat inipun panjang umurnya, seperti: Anas Bin Malik dll
4.      Riwayat dari para istri Nabi
5.      Sahabat yang memiliki catatan hadist pribadi, seperti, Abdullah Bin Ash dll Tokoh-Tokoh Hadist Di Kalangan Tabi’in Di Madinah: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf, Nafi, Az-Zuhry, Sulaiman Ibn Yassar dll Di Mekkah: Ikrimah, Atha Ibn Aii Rabah, Dhohak, (ketiganya murid Ibn Abbas), Abul Zubair dll Di Kuffah: Asy-Sya’by, Ibrahim An-Nakhai, Alqamah an-Nakhai dll Basrah: Hasan al-Bashri, Muhammad ibn Sirrin, Qatadah Di Syam: Umar ibn Abdil Aziz, Qabishah dll Di Mesir: Yazid Ibn Habib Di Yaman: Wahhab ibn Munabbih dll.
Para tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul dan para sahabat. Mereka benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan generasi pertama yang membwa Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menyebabkan khulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang sama. Para tabi’in akan melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas mereka menganjurkannya.
1) muncul pemalsuan hadits
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok yaitu; pertama: golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin Abi Thalib. Kedua: golongan khawarij, penentang Ali dan Mu’awiyah, ketiga: golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas. Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu:
a.       Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadits yang dapat dijadikan hujjah.
b.      Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran dan menafsiri hadits-hadits sesuai dengan golongannya.
c.       Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua sumber tersebut, maka mereka memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama mereka palsukan adalah hadits yang mengenai orang-orang yang mereka agung-agungkan.
Yang mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan Syi’ah, sebagaimana, diakui Ibn Ali al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dengan mengatakan bahwa asal mula timbulnya hadis yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan syiah sendiri. Tindakan tersebut ditandingi oleh golongan jamaah memalsukan hadis-hadis yang dibuat oleh golongan syiah.
Dengan memperhatikan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadis-hadis palsu adalah baghdad, karena kaum syi’ah berpusat di sana. Bahkan al-Zuhri, seorang tabi’in berkata: “hadis keluar dari sejangkal, lalu kembali kepada kami sehasta”, sehingga tidak aneh jika Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik hadis palsu.Mulai saat itu, terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang palsu, tetapi di lain pihak terdapat golongan yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis palsu, dengan membedakan mana hadis yang shahih dari hadis yang palsu. Mereka melakukan penelitian mengenai segala hal yang berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan menetapkan aturan-aturan yang tetap agar hadis dapat selamat sampai ke tangan penerusnya. Cara-cara ulama dalam menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan menyebutkan sanad, mengadakan perlawatan mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan penelitian terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis palsu dan memerangi mereka, menjelaskan keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk dapat mengetahui hadis-hadis palsu.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya, yaitu;
1.      Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (maudhu) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya.
2.      Pengaruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
2) kodifikasi hadits
Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis. Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadits tentunya berbeda dengan penulisan hadits kitabah al-hadits.
Tadwin al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisan-tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis adalah sebagai berikut:
1.      Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2.      Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun, dan mendokumentaskannya.
3.      Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti terjadi pada masa-masa sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (wafat 98H) murid kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat mendapat penghargaan dari seluruh umat Islam. Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia, di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang hilang. Beberapa pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini. Pertama, ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan menginggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.



2.3. Para Sahabat Penghafal Al-Qur’an
Al-qur’an diturunkan Allah swt. Allah pula yang akan memelihara melalui manusia-manusia yang di pilih-Nya. Di masa Rasulullah saw hidup, beliau menanamkan kecintaan yang dalam kepada al-Qur’an di hati para sahabat. Di pundah para sahabat inilah Rasulullah saw mengamanahkan teladan pelaksanaan al-Qur’an dan mewariskan petunjuk kehudupan ini bagi generasi-generasi selanjutnya.
Rasulullah saw memberi petunjuk untuk mempelajari al-Qur’an dari penghafalnya. Tujuh orang yang terkenal sebagai penghafal al-Qur’an di zaman Rasulullah saw, mereka adalah :
1. Abu musa Al-Asy’ari
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim. Ia merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw yang menghafal al-Qur’an. Ia mempunyai perhatian yang besar terhadap kitab suci ini.
Abu Musa dianugrahkan oleh Allah swt berupa suara yang merdu. Suara merdunya ini mampu menembus tirai hati orang-orang mukmin dan melenakannya menembus kebesaran Allah swt. Rasulullah pun pernah memuji suaranya yang merdu itu “Ia ( Abu Musa ) benar-benar telah diberi seruling Nabi Daud”, begiu kata Rasulullah saw. Sampai-sampai banyak para sahabat yang menanti-nanti Abu Musa untuk menjadi imam pada setiap kesempatan shalat.
Abu Musa telah mempelajari al-Qur’an langsung dari Rasulullah saw, ia mengajarkan dan menyebarkannya pada umat setiap negeri yang ia kunjungi. Perjalanan hidup dan kisah mulianya banyak terekam dalam kitab-kitab tarikh. Abu Musa wafat di usia 63 tahun pada tahun 44 hijriah. Ia telah meriwayatkan 365 hadits.
2. Abu Darda
Abu Darda adalah seorang hafidzh yang bijaksana. Ia termasuk orang yang mengumpulkan al-Qur’an dan menjadi sumber bagi para pembaca di Damaskus pada masa khalifah Utsman bin Affan.
Ia memiliki kedudukan yang tin ggi dalam hal ilmu dan amal dari para sahabat yang lainnya. Selama hidupnya ia mengajarkan kepada umat apa yang ia pelajari dari Rasulullah saw. Ia guru yang selalu dinani-nanti murid-muridnya.
Dalam pengakuan Suwaid bin Abdul Aziz dikatakan jika Abu Darda salat di masjid Damaskus ribuan manusia mengelilinya untuk mempelajari al-Qur’an. Ia membagi-bagikan satu kelompok dengan sepuluh orang dan dipilioh satu orang ketua. Ia hanya mengawasinya di mihrab. Jika ada yang salah mereka kembali kepada ketuanya. Jika ketua yang salah maka ketua tersebut menghadap Abu Darda untuk bertanya. Jumlah penghafal al-Qur’an dalam majlis Abu Darda mencapai 1.600 orang.
Beliau wafat tahun 32 hijriah pada masa khalifah Utsman di Syam. Ia telah meriwayatkan 179 hadits.
3. Zaid Bin Tsabit
Zaid mempunyai nama lengkap Abu Said al-Khazraji al-Anshari. Ia merupakansahabat anshar yang cerdas, penulis, penghafal dan mengusai ilmu. Ia mengalahkan orang lain dalam pengusaan ilmu al-Qur’an dan faraid. Ia juga mampu mempelajari kitab yahudi dalam waktu yang relative singkat atas permintaan Rasulullah saw.
Selain itu zaid juga dikenal sebagai sekretaris kepercayaan Rasulullah saw dalam menerima wahyu. Apabila Rasulullah saw menerima wahyu zaid selalu dipanggil untuk menulisnya.
Zaid adalah sebagai penghimpun al-Qur’an dan menguasai informasi tentang al-Qur’an. Jasa Zaid dalam upaya kodifikasi al-Qur’an sangatlah mulia. Tiada yang mampu menandinginya dalam menulis kalamullah.
Zaid wafat tahun 45 hijriah. Kepergiannya ditangisi seluruh penduduk madinah. Banyak orang yang merasa kehilangan , diantaranya Ibnu Abbas yang berkata “hari ini telah pergi seorang ulama besar dan tokoh cendekia”
4. Abdullah Bin Mas’ud
Ia memiliki nama lengkap Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Abdirrahman al-Hadzali al-Maki al-Muhajiri. Ia merupakan salah seorang penghimpun al-Qur’an di masa Rasulullah saw dan membacakan dihadapannya. Ia pernah berkata “Aku telah menghafal dari mulut Rasulullah saw tujuh puluh surat”

Abdullah selalu mengikuti Rasulullah saw sejak usia belia. Pendengarannya selalu dihiasi dengan ayat-ayat al-Qur’an sejak turun kepada Rasulullah saw. Kiprahnya dalam memelihara al-Qur’an tidak diragukan lagi. Ia hidup bersama dan untuk al-Qur’an.

Abdullah menjadi ulama yang paling tahu tentang al-Qur’an. Tak heran jika Rasulullah memujinya dan mengajurkan para sahabat dan orang setelahnya untuk mempelajari kandungan al-Qur’an dari Abdullah bin Mas’ud.

Abdullah bin Mas’ud wafat pada tahun 32 hijriyah dalam usia 65 tahun. Ia wafat di madinah dan telah meriwayatkan 840 hadits.

5. Utsman Bin Affan
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abi al-Ash Abu Amr Abu Abdillah al-Quraisy al-Amawi. Ia dikenal sebagai sahabat Rasul yang hatinya nempel dengan al-Qur’an.

Dimasa kekhalifaannya ia berhasil menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf dan menyebarkannya pada beberapa kota. Ali bin Abi Thalib pun memujinya “kalaulah Utsman tak melakukannya maka pasti akan kulakukan”. Selain itu Utsman juga mampu menyatukan al-Qur’an yang tujuh jenis huruf atau dialek sehingga terhindarlah malapetaka dan fitnah perpecahan umat.
Di akhir kekhalifaannya ( tahun 35 hijriah ) terjadi kekacauan, Utsman di sekap di rumahnya selama empat puluh hari. Ia syahid terbunuh saat membaca al-Qur’an. Usianya 82 tahun.

6. Ali Bin Abi Thalib
Ali adalah seorang penghafal al-Qur’an yang kuat dan termasuk diantara orang yang pertama kali mendapat hidayah islam. Ali berislam dalam usia belia. Ia memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib Amir al-Mu’minin Abu al-Hasan al-Quraisyi al-Hasyimi.
Ali terkenal zuhud, wara, dan dermawan ia menganggap rendah dunia dan selalu beramal untuk keridhaan Allah swt. Ia sangat memahami ilmu al-Qur’an. Abu Abdurrahman as-Sulmi berkata “aku tidak pernah melihat seorang yang lebih pandai dalam al-Qur’an daripada Ali”.
Kehidupan Ali selalu diwarnai dengan al-Qur’an. Ali berkata tentang dirinya dan karunia Allah kepadanya “Demi Allah tidak satupun ayat yang diturunkan kecuali aku telah mengetahui tentang apa dan dimana diturunkan. Sesungguhnya Allah telah memberikan kecerdasan hati dan lidah yang fasih”
Ali syahid terbunuh pagi hari tanggal 17 Ramadhan 40 hijriah di kuffah. Ia dibunuh Ibnu Muljam al-Maradi.

7. Ubai Bin Ka’ab
Ia memiliki nama lengkap Ubai bin Ka’ab bin Qais Abu al-Mudzir al-Anshari al-Madani. Ubai hidup dalam naungan al-Qur’an. Ia selalu menyempatklan diri membaca al-Qur’an siang malam dan khatam dalam delapan malam. Umar bin Khattab pernah berkata “Qari paling baik diantara kami adalah Ubai”
Umar juga pernah berkutbah di Jabiyah sembari menyatakan tentang pengetahuan Ubai terhadap al-Qur’an. Umar berkata “barang siapa yang hendak menanyakan tentang al-Qur’an datanglah ke Ubai”.
Ubai telah menjadikan al-Qur’an sebagai sumber kebaikan dalam ucapan serta perbuatannya. Ubai selalu menasehati orang-orang untuk menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam setiap perbuatan.
Ubai termasuk skretaris Rasulullah saw sebelum Zaid bin Tsabit. Ia bersama Zaid adalah sahabat yang paling tekun menulis wahyu dan menulis banyak surat. Keduanya menulis wahyu dalam pengawasan Rasulullah saw.
Ubai wafat di madinah tahun 20 hijriah. Di hari wafatnya Umar berkata “hari ini telah meninggal seorang tokoh islam, semoga Allah meridhainya”.


2.4. Beberapa ahli tafsir yang memiliki kemampuan baik dan cukup berpengaruh dalam perkembangan ilmu tafsir.
Imam Suyuthy dalam kitabnya Al-Itqan mengatakan: “Kalangan sahabat yang populer dengan tafsir ada sepuluh; khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-’Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Dan dari kalangan khalifah empat yang paling banyak dikenal riwayatnya tentang tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. sedang dari tiga khalifah yang lain hanya sedikit sekali, karena mereka lebih terdahulu wafatnya.
Sebab sedikitnya riwayat dari ketiga orang sahabat yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman, dapat ditinjau kembali dari pendapat As-Suyuthy, yaitu karena pendeknya masa jabatan mereka disamping mereka meninggal lebih dahulu. Dari segi yang lain karena mereka bertiga hidup pada suatu masa dimana kebanyakan penduduk mengetahui dan pandai tentang Kitabullah, sebab mereka selalu mendampingi Rasulullah SAW. Karenanya, mereka mengerti dasar rahasia-rahasia penurunan, lagi pula mengetahui makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayatnya. Sedang Ali r.a. hidup berkuasa setelah khalifah yang ketiga, yaitu pada masa dimana daerah Islam telah meluas. Banyak orang-orang luar Arab yang memeluk Islam sebagai agama baru. Generasi keturunan shahabat banyak yang merasa perlu untuk mempelajari Al-Qur’an serta memahami rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya. Karena itu wajarlah riwayat daripadanya begitu banyak melebihi riwayat yang dinukil dari tiga khalifah lainnya.
Berikut ini kami akan membicarakan sedikit terperinci tentang kalangan sahabat yang terkenal dengan tafsir Al-Qur’annya.
a. Abdullah Ibnu Abbas
Abdullah Ibnu Abbas adalah orang yang ternama dikalangan ummat Islam. Ia adalah anak paman Rasulullah SAW, yang pernah dido’akan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kata-kata, “Ya Allah berilah pemahaman tentang urusan agama dan berilah ilmu kepadanya lentang ta’wil”. Ia dikenal sebagai ahli bahasa/penterjemah Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud berkata, “Penterjemah Al-Qur’an yang paling baik adalah Abdullah bin Abbas.” Dia adalah sahabat yang paling pandai/tahu tentang tafsir Al-Qur’an. Pada waktu beliau masih berusia muda, para pemuka sahabat mereka telah menyaksikan kebolehannya bahkan ia dapat menandingi mereka pula dapat menggugah keajaiban mereka dengan usianya yang sangal muda. Umar r.a. pernah mengikutsertakan Abdullah dalam Majelis Permusyawaratan bersama-sama dengan tokoh-tokoh Sahabat untuk bermusyawarah. Ia seringkali disodori permasalahan. Karena Umar menampilkan Ibnu Abbas maka agak sedikit mengundang perdebatan dikalangan sahabat. Diantara mereka ada yang mengatakan “Kenapa anak kecil ini dimasukkan bersama-sama kita”. Kami punya anak yang lebih besar/tua umurnya dibanding dengan dia.
Dia mempunyai biografi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya yang menunjukkan kebolehan ilmunya dan kedudukannya yang tinggi dalam hal penggalian secara mendalam tentang rahasia-rahasia Al-Qur’an sebagai berikut:
Riwayat Al-Bukhari
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jabir, dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: “Umar mengikutkanku bersama tokoh-tokoh perang Badar. Dikalangan mereka ada yang bertanya dalam dirinya, lalu mengemukakan pendapat; “Kenapa anak ini diikutsertakan bersama kami padahal kami sungguh mempunyai anak yang seusia dengannya?” Umar menjawab: Dia adalah seorang yang sudah kalian ketahui, ia adalah orang yang terkenal kecerdasannya dan pengetahuannya. Pada suatu ketika, Umar memanggil mereka dan mengikutkanku bersama mereka hanya sekedar diperkenalkan kepada mereka. Tiba-tiba
Umar (memberi kesempatan pada mereka untuk bertanya) berkata: “Apakah pendapat sekalian tentang firman Allah: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (QS. An-Nashr: 1).
Sebagian mereka ada yang berpendapat: “Kami diperintah menuju Allah dan meminta ampun pada-Nya, tatkala kami dibantu oleh-Nya dan diberi kemenangan”. Sebagain mereka yang lain bungkam seribu bahasa. Umar bertanya kepadaku: Bagaimana dengan pendapatmu (hai Ibnu Abbas). Aku jawab: “Tidak benar! Lalu menurut anda bagaimana?” Aku menjawab:
“Persoalannya adalah tentang ajal Rasulullah SAW dimana Allah memberitahukan kepadanya”.
Ia (Ibnu Abbas) menafsirkan/penaklukan Makkah. Itu adalah suatu tanda tentang ajalmu (hai Muhammad) karena itu bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan istighfarlah (mohon ampun) kepada-Nya. Sungguh ia adalah Penerima Taubat”. Seraya Umar berkata: “Demi Allah, saya tidak mengetahui kandungannya sebelum engkau jelaskan”.
Kisah tersebut menyatakan begitu hebatnya daya kemampuan pemahaman serta pendapat Ibnu Abbas dalam menyimpulkan petunjuk Al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. Tidaklah aneh kalau Ibnu Abbas menempati kedudukan yang tinggi dalam memahami rahasia kandungan Al-Qur’an karena Rasul telah mendo’akannya agar dia diberi pemahaman dan pendalaman dalam urusan Agama sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas sendiri dimana ia berkata: Rasul menyekapku seraya beliau bersabda:
“Ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan Agama dan berilah ia pengetahuan tentang ta’wil”.
Dalam riwayat lain redaksionalnya: “Ya Allah berilah ia pengetahuan tentang hikmah pengetahuan yang sungguh mendalam”. Ibnu Abbas dikenal dengan sebutan lautan karena begitu luas ilmunya. Diriwayatkan bahwa salah seorang datang kepada Abdullah bin Umar, ia menanyakan tentang langit dan bumi semula bersatu kemudian keduanya kami belah. Ibnu Umar menjawab: “Datanglah kepada Ibnu Abbas dan tanyakanlah kepadanya.” Setelah anda tanyakan, kembali lagi dan jelaskan kepadaku”. Orang tersebut pergi bertanya kepada Ibnu Abbas dan ia memberikan jawaban: “Langit bersatu (ratqan) maksudnya tidak turun hujan, dan yang dimaksud dengan bumi ratqan tidak tumbuh tanaman/gersang, kemudian Ia (Allah) menurunkan hujan dan menumbuhkan tanaman-tanaman.
Setelah itu orang tersebut kembali kepada Ibnu Umar untuk memberitahukan hasilnya, seraya berkata: “Aku dulu telah mengatakan dengan geleng kepala karena keberanian Ibnu Abbas dalam hal menafsirkan Al-Qur’an, sekarang aku telah mengetahui benar bahwa ia telah dikaruniai ilmu”.
Diriwayatkan pula bahwa Umar ibnu Khattab pada suatu ketika bertanya kepada Sahabat-sahabat Nabi: “Siapa yang menjadi sebab turunnya ayat di bawah ini, menurut pendapat kalian?” Seraya Umar membacakan ayat: “Apakah ada salah seorang diantaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur……” (QS. Al-Baqarah: 66)
Mereka menjawab: “Allah Yang Maha Tahu”. Umar marah seraya berkata: “Jawab! Tahu atau tidak!” Ibnu Abbas menjawab: “Ada sedikit yang tergores dalam hatiku”. Umar berkata: “Hai anak saudaraku, katakanlah dan janganlah anda merasa minder/rendah diri”. Ibnu Abbas berkata: “ayat itu dijadikan suatu contoh perbuatan”. Umar berkata: “Perbuatan apa?”. Ibnu Abbas menjawab: “Seorang yang kaya lagi taat kepada Allah, ia didatangi oleh syaitan, dan terperdaya untuk melakukan maksiat sehingga amal  
perbuatannya tenggelam”. (HR. Al-Bukhari).
Semuanya itu berikut dengan contoh-contohnya adalah menyatakan tentang keistimewaan ilmu pengetahuan Ibnu Abbas dan pemahamannya yang begitu luas sejak beliau berusia muda. Oleh karena itu ia tergolong dalam barisan tokoh pembesar Sahabat, ia sebagai pemuka umat yang sangat pandai dengan disaksikan oleh kalangan Sahabat itu sendiri.
Guru-guru Ibnu Abbas
Diantara Guru-guru besar yang mengajar ilmu kepada Ibnu Abbas selain Rasulullah SAW, yang mempunyai pengaruh yang menonjol terhadap daya pikiran dan kebudayaannya, antara lain Umar Ibnu Khattab, Ubay ibnu Ka’ab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Zaid Ibnu Tsabit. Kelima orang tersebut adalah guru-gurunya yang tetap. Dari merekalah hampir semua ilmu dan budayanya didapat. Mereka sangat berpengaruh dalam mengarahkan Ibnu Abbas kepada masalah ilmu pengetahuan yang sangat mendalam.
Murid-murid Ibnu Abbas
Banyak dari kalangan Tabi’in yang mempelajari ilmu pengetahuan dari Ibnu Abbas. Diantara mereka yang paling terkenal adalah murid-muridnya yang menukil tafsir dan ilmunya yang melimpah ruah. yaitu: Sa’id Ibnu Jubair, Mujahid ibnu Jabar Al-Khazramy, Thawus ibnu Kysan Al-Yamany, Ikrimah Maula (hamba) yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas, Atha’ ibnu Abi Rabbah. Mereka itu adalah murid-murid yang paling terkenal dimana mereka memindahkan lembaga ilmiah, buah pena Ibnu Abbas ke dalam tafsir yang sampai pada kita sekarang.
b. Abdullah Ibnu Mas’ud
Sahabat lain yang terkenal sebagai ahli tafsir dan menukilkan atsar (hadits) Rasul kepada kita ialah Abdullah ibnu Mas’ud r.a. Ia adalah salah seorang yang pertama untuk Islam. Usia beliau pada waktu itu enam tahun, dimana belum ada di muka bumi ini seorang anak yang masuk Islam selain dia. Ia adalah seorang pembantu Rasulullah SAW, sering memakaikan sandalnya dan sarung, pergi bersama-sama beliau sebagai penunjuk jalan. Dari segi hubungan kenabian ia adalah seorang yang sangat baik lagi pula terdidik. Karena pertimbangan itulah sahabat lain memandangnya sebagai seorang sahabat yang lebih banyak mengetahui bidang Kitabullah Al-Qur’an, mengetahui tentang muhkam dan mutasyabih, halal dan haram.
As-Suyuthy mengatakan: “Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud tentang tafsir adalah lebih banyak daripada yang diriwayatan dari Ali…….”.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud: “Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. tidak ada satu suratpun yang diturunkan oleh Allah yang tidak saya ketahui dimana turunnya. Tidak ada satu ayat Al-Qur’an pun yang tidak saya ketahui dalam kasus apa diturunkannya. Kalau aku tahu ada seorang yang lebih tahu dariku tentang Kitab Allah dan bisa ditempuh dengan kendaraan unta, niscaya akan kudatangi rumahnya…..”. Diriwayatkan oleh para Tabi’in daripadanya.
2.5. Ahli Tafsir Golongan Tabiin
Apabila disebutkan ahli-ahli tafsir dari golongan tabi’in, mereka dianggap lebih banyak bilangannya daripada ahli tafsir golongan sahabat, karena golongan sahabat yang terkenal dengan ahli tafsir tidak lebih dari sepuluh orang.
Seperti telah disebutkan oleh Imam Suyuthy dalam kitabnya Al-Itqan. Di atas telah kami sebutkan nama-nama mereka dan telah kami cuplikkan pula otobiografi beberapa ahli tafsir di kalangan mereka.
Adapun golongan tabi’in di dalamnya banyak ahli tafsir dan mereka terkenal luas. Dikalangan mereka terdapat pula tokoh-tokoh yang tiada bandingannya yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap tafsir Kitab Allah SWT. Dari mereka pula para ahli tafsir yang berikutnya mengutip sebagian banyak pendapatnya.
Ahli tafsir golongan tabi’in ini terbagi tiga kelompok:
1. Kelompok ahli Makkah
2. Kelompok ahli Madinah
3. Kelompok ahli Iraq
Kelompok pertama:
Ialah kelompok ahli Makkah, mereka mengambil ilmu pengetahuan dari seorang guru ahli-ahli tafsir dan seorang penterjemah Al-Qur’an yaitu Sayyid Abdullah bin Abbas r.a.
Imam Suyuthy mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, bahwa berkata: “Orang yang paling pandai tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka sahabat Abdullah bin Abbas”.
Dikalangan mereka banyak orang-orang yang terkenal dan muncul tokoh-tokoh yang tiada bandingannya. Tokoh-tokoh itu antara lain Mujahid, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Thawus dan Sa’id bin Juber. Di bawah ini kami tuliskan otobiografi ringkas tentang kehidupan ulama-ulama tadi.
a. Mujahid bin Jabar
Mujahid dilahirkan pada tahun 21 Hijrah dan meninggal pada tahun 103 Hijrah. Nama lengkapnya Mujahid bin Jabar yang bergelar Abu Hajjaj Al-Makky. Ia seorang ulama yang terkenal dalam tafsir. Adz-Dzahaby mengatakan: “Ia adalah guru ahli baca Al-Qur’an dan ahli tafsir yang tidak diragukan. Ia mengambil tafsir qur’an dari Ibnu Abbas”. Ia salah seorang murid Ibnu Abbas yang paling hebat dan yang paling dipercaya untuk meriwayatkan tafsir. Oleh karenanya, Imam Bukhari banyak berpegang pada tafsirnya, sebagaimana halnya ahli-ahli tafsir yang lain, mereka juga banyak berpegang atas riwayatnya. Ia sering mengadakan perjalanan kemudian menetap di Kufah. Bila ada hal yang mengagumkan dia, maka ia pergi dan menyelidikinya.
Mujahid belajar Tafsir Kitabullah Al-Qur’an dari gurunya, Ibnu Abbas dengan cara membacakannya pada Ibnu Abbas dengan penuh pemahaman, penghayatan dan penelitian pada setiap ayat Al-Qur’an, kemudian Mujahid menanyakan artinya dan penjelasan rahasia-rahasianya.
Imam Al-Fudhail bin Maimun meriwayatkan dari Mujahid bahwa ia berkata: “Aku pernah menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali, dimana pada setiap ayat aku berhenti sambil menanyakan: “Dalam hal apa ayat itu diturunkan dan bagaimana ayat tersebut diturunkan?”
Pertanyaan yang diajukan Mujahid kepada gurunya itu semata-mata hanya untuk minta  
penjelasan Al-Qur’an, mengetahui rahasia-rahasianya dan memahami hikmah-hikmah serta hukum-hukumnya. Sehubungan dengan itu Imam Nawawi berkata: “Apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka cukuplah untukmu”. Artinya tafsir itu sudah cukup, tidak perlu lagi tafsir yang lain apabila perawinya Imam Mujahid.
b. Atha bin Aby Rabbah
Ia dilahirkan pada tahun 27 Hijrah dan wafat pada tahun 114 Hijrah. Ia hidup di Makkah sebagai ahli fatwa dan ahli hadits bagi penduduknya. Ia seorang Tabi’in yang tergolong tokoh-tokoh ahli fiqh. Ia sangat percaya dan mantap kepada riwayat Ibnu Abbas.
Imam besar Abu Hanifah An-Nu’man berkata: “Aku belum pernah jumpa dengan seorang yang lebih utama daripada Imam ‘Atha’ bin Aby Rabbah”. Qatadah mengatakan: “Tabi’in yang paling pandai itu ada empat, yaitu: ‘Atha’ bin Aby Rabbah seorang yang paling pandai tentang manasik, Sa’id bin Jubair orang yang paling pandai tentang tafsir dan seterusnya”, Ia meninggal dunia di kota Makkah dan dikebumikan juga di kota itu dalam usia 47 tahun.
c. Ikrimah Maula Ibnu Abbas
Ia lahir pada tahun 25 Hijrah dan wafat pada tahun 105 Hijrah. Imam Syafi’i pernah mengatakan tentang dia: “Tidak ada seorangpun yang lebih pintar perihal Kitabullah daripada Ikrimah”, ia adalah maula (hamba) Ibnu Abbas r.a. ia menerima ilmunya langsung dari Ibnu Abbas, begitu juga Al-Qur’an dan Sunnah”, ia mengatakan: “Aku telah menafsirkan isi lembaran-lembaran mushhaf dan segala sesuatu yang aku bicarakan tentang Al-Qur’an, semuanya dari Ibnu Abbas”.
Tentang otobiografinya dalam kitab Al-I’lam disebutkan sebagai berikut: “Ikrimah bin Abdullah Al-Barbary Al-Madany, Abu Abdillah seorang hamba Abdul1ah bin Abbas, adalah Tabi’in yang paling pandai tentang tafsir dan kisah-kisah peperangan, ia sering merantau ke negara-negara luar. Diantara tiga ratus orang yang meriwayatkan tafsir daripadanya tujuh puluh lebih adalah golongan tabi’in. Ia pernah juga ke Maghrib untuk mengambil ilmu dari penduduknya kemudian ia kembali ke Madinah Al-Munawwarah. Setelab ia kembali di Madinah ia dicari Amirnya, tetapi ia menghilang sampai mati.
Kewafatannya di kota Madinah bersamaan dengan kewafatan seorang penyair tenar Kutsayyir Azzah dalam hari yang sama, sehingga dikatakan orang: “Seorang ilmiawan dan seorang penyair meninggal dunia”.
d. Thawus bin Kaisan Al-Yamany
Ia dilahirkan pada tahun 33 Hijrah dan wafat pada tahun 106 Hijrah, ia terkenal sebagai penafsir Al-Qur’an. Kemahirannya menunjukkan tentang hafalan, kecerdasan, dan ketakwaannya serta jauh dari keduniawian, dan ahli islah, ia menjumpai sekitar lima puluh orang sahabat. Banyak orang-orang yang menerima ilmu pengetahuan daripadanya, ia seorang ahli ibadah serta tidak terpengaruh pada dunia. Dituturkan orang ia menunaikan ibadah haji di tanah haram sebanyak empat puluh kali. Kalau ia berdo’a selalu dikabul, sehingga Ibnu Abbas pernah berkata: “Aku menduga Thawus adalah ahli surga”.
Dalam kitab Al-I’lam disebutkan tentang otobiografinya sebagai berikut: “Thawus bin Kaisan Al-Khulany Al-Hamdany Abu Abdirrahman adalah tergolong Tabi’in yang sangat besar tentang pengetahuan agamanya, riwayat haditsnya, kesederhanaan hidupnya dan keberaniannya memberi nasihat kepada khalifah-khalifah dan raja-raja. Beliau berasal dari Persia sedang tempat kelahiran dan kedewasannya adalah Yaman. Ia wafat pada waktu menjalankan ibadah haji di Muzdalifah, yang ketika itu seorang hhalifah Hisyam bin Abdul  
Malik sedang menunaikan haji juga, lalu beliau menyembahyangkannya.
Ia enggan mendekati Raja-raja dan Amir-amir, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Orang yang selalu menjauhi Sultan itu ada tiga yaitu, Abu Dzar, Thawus dan Ats-Tsaury”.1)
1 Al-”A’lam, karangan Zarkali jilid 5 hal. 29
2.6. Qari Tujuh Yang Masyhur
Para Qari yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya, dan menyampaikan qira’at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW.
Qira’at yang mutawatir semuanya kita kutip dari para qari yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya. Mereka ialah imam-imam qira’at yang masyhur yang meyampaikan qira’at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang kitabullah Al-Qur’an sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”.
Syaikh Abul Yusri ‘Abidin telah menyebutkan nama-nama qari dalam dua bait sya’ir:
Nafi’, Ibnu Katsir, ‘Ashim dan Hamzah, Abu ‘Amer, Ibnu ‘Amir dan Kisaiy.
Itulah tujuh Imam yang tak diragukan lagi.
1. Ibnu ‘Amir
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.
2. Ibnu Katsir
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga….. Muhammad yang disebut Qumbul namanya.
3. ‘Ashim al-Kufy
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.
4. Abu Amr
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
Asy-Syathiby mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib atau as-Susy berguru padanya.
5. Hamzah al-Kufy
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Syatiby mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.
6. Imam Nafi.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.
7. Al-Kisaiy
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H.Syathiby mengatakan: “Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian ihramnya, Laits Abul Haris perawinya, Hafsah ad-Dury hilang tuturnya.




















BAB III
Penutup
3.1 kesimpulan
Betapa besar nikmat yang telah dirasakan oleh umat manusia saat ini. Dapat mengkaji dan meneliti akan sebuah hadits dengan mudahnya, melalui kitab-kitab hadis yang telah terkodifikasi oleh para ulama dahulu. Andaikan dahulu, para sahabat dan tabi’in tidak terbersit dalam pikiran mereka untuk mengkodifikasi hadits-hadits Nabi, mungkin sekarang ini manusia sulit dalam menentukan segala macam hukum dan permasalahan yang muncul.
Penyebaran Hadist di masa sahabat dan tabi’in berkembang pesat yang ditandai dengan gerakan mencari ilmu oleh para sahabat sendiri kepada sahabat lainnya dari masalah yang tidak diketahuinya. Tidak jarang seorang sahabat pergi menemui sahabat lainya yang berjarak ribuan kilometer untuk menanyakan hanya satu hadist saja.
Begitu pula para tabi’in yang tidak segan-segan mendatangi daerah tertentu untuk belajar kepada seorang sahabat ataupun beberapa sahabat sekaligus. Pencariaan ilmu saat itu berupa pencarian tafsir Qur’an dan hadist-hadist Nabi beserta penjelasan nya. Islam tersebar luas dan terus mengeliat ketika itu dibawah dakwah para sahabat dan tabi’in. Mereka giat menyiarkan Al-Qur’an dan hadist Nabi sebagai sumber pokok ajaran Islam. Beberapa catatan hadist (sahifah) telah ditulis sebelum skhir abad ke-1 Hijri. Dan ini sebagai bukti kuat serta bantahan kalangan sarjana Orientalis yang menganggap hadist pertama kali dibukukan sesudah abad ke-1 Hijri.
Adapun cara periwayatan hadits pada masa sahabat terbagi menjadi dua yaitu: Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan tetapi makna&intinya sama). Pada masa sahabat belum ada penulisan hadits secara resmi sebab dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an dan umat islam lebih difokuskan untuk mempelajari Al-Qur’an. Begitu juga pada masa Tabi’in, yang mengikuti jejak para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan politik.
3.2. Sahabat-sahabat Penghafal Al-qur’an
1. Abu musa Al-Asy’ari
2. Abu Darda
3. Zaid Bin Tsabit
4. Abdullah Bin Mas’ud
5. Utsman Bin Affan
6. Ali Bin Abi Thalib
7. Ubai Bin Ka’ab






















DAFTAR PUSTAKA
As,Muzdakir.2002.Manna’ Khalil al-Qattan.PT.Mitra Kerjaya Indonesia :Jakarta
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in. Juz I.
Anas, Malik bin. 1990. al-Muwaththa’, Istambul, Turki: Dar al-Sahnun.
Arifin, Zainul. 2005. Studi Kitab Hadits. Surabaya: Alpha.
Ash-Shalih, Shubhi. 1977. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Beirut, Libanon: Dar al-Ilm al-Malayin.
Hanbal, Ahmad bin. 1990. Musnad Ahmad bin Hanbal. Juz I. Istambul Turki: Dar al-Sahnun.
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Suparta, Munzier. 1993. Ilmu Hadits. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Zahw, Muhammad Abu. tt. Al-Hadits wa al-Muhadditsun. Matba’ah Mishr.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-33.html












Tidak ada komentar:

Posting Komentar