BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Menurut para sejarawan masa peradaban
islam diperiodesasikan dalam beberapa masa. Diantaranya adalah masa klasik,
masa pertengahan, dan masa modern. Masa klasik adalah masa Islam yang dimulai
sejak zaman Rasulullah hingga masa dinasti umayyah dan abasiyyah. Sedangkan
masa pertengahann adalah masa yang dimulai pada abad ke-XII hingga abad
ke-XVIII, yakni mulai munsculnya tiga kerajaan besar Turki usmani,kerajaan
safawi dan mugholdi india. Dalam makalah ini kami hanya akan mebahas peradaban
islam pada masa Rasulullah. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita serta tak
lupa kritik saran akan sangat memebantu perbaikan kami di masa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD
SAW
Muhammad
adalah seorang muda yang di jamannya dijuluki al-Amien [yang
terpercaya] ini ingin mendapatkan jawaban tentang situasi dan nasib manusia.
Renungan yang mendalam tentang apa yang terjadi pada masyarakatnya itu membuat
“dadanya sesak dan penggungnya terasa penuh beban” [QS Asy Syarh, 94:1-3] Dalam
keadaan masyarakat Arab yang penuh dengan kegelapan “penyembah berhala”,
Muhammad diutus dengan misi kenabian, yang mengajarkan bahwa “tidak ada
Tuhan kecuali Allah”. Tuhan yang mengetahui segala tingkah laku manusia
dan membalas atau menghukum sesuai dengan perbuatannya di akhirat nanti [Hassan
Ibrahim Hassan, 1989: 20]. Muhammad dilahirkan pada tanggal 20 April 571 M dan
tumbuh dewasa di tengah-tengah masyarakat Badui dan berbicara dengan bahasa Arab
yang fasih. Sebagian dari masa mudanya digunakan untuk mengembala bersama
saudara angkatnya. Kegiatan “mengembala” merupakan kontak pertamanya dengan
“alam” dan “binatang” yang dapat menimbulkan “etos kerja, kebaikan,
kesederhanaan, kemurahan hatinya dan semuanya itu yang menyebabkan dia menjadi
terkenal. Ketika masih mudah, Muhammad pergi ke Syria dan Yaman untuk “berdagang”.
Perjalanan ini mempunyai pengaruh besar dalam tingkah laku dan cara hidupnya.
Sebagai pedagang, Muhammad menjadi terkenal atau masyhur karena “kebaikan dan
kejujurannya” yang sudah merupakan sikap dan prinsip hidupnya sejak masa
kanak-kanak [Hassan Ibrahim Hassan, 1989: 21]. Dengan ketenarannya itu,
Muhammad tetap “membenci atau tidak senang” terhadap penyembah berhala yang
dilakukan oleh penduduk negerinya, serta tidak mengikuti dan
menghadiri upacara-upacara ritual yang dilakukan masyarakat penyembah
berhala di negerinya, tetapi Muhammad tekun menyendiri untuk beribadah kepada
Allah. Orang mudah yang dijuluki al-Amien yang banyak berkontemplasi
ini akhirnya diamanahi Allah swt untuk menjadi Nabi dan Rasul Allah.
Penunjukkannya sebagai Nabi ditandai dengan turunnya wahyu Ilahi ketika beliau
berada di Gua Hira, tepatnya saat beliau berumur 40 tahun. Wahyu pertama yang
diterimanya menggambar budaya “membaca” dan “menulis” yaitu
Surat al-Alaq, yang terdiri dari lima ayat; “Bacalah dengan nama Tuhanmu
yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling
pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Yang mengajar manusia apa yang
mereka tidak ketahui”. Dengan wahyu pertama ini, Muhammad saw
telah diangkat sebagai nabi
Allah dan pada masa ini beliau
belum disuruh untuk menyeru kepada umatnya. Orang-orang yang segera mempercayai
kenabiannya dan menyatakan kesediaan untuk mengikutinya adalah [1] isterinya
Khadijah, [2] keponakan yang diasuhnyasemenjak kecil, Ali bin Abi Thalib, dan
[3] mantan hamba sahayanya, Zaid bin Haritsah yang masih tinggal di rumah
beliau. Maka dapat dikatakan bahwa pendung pertama pada perjuangan Muhammad
adalah keluarganya sendiri.Wahyu yang kedua turun ketika Muhammad saw dalam “keadaan
berselimut”dikeranakan mengigil setelah mendengar suara gemerincing yang
keras, yang tidak pernah didengar sebelumnya. Pada saat beliau menerima wahyu
yang kedua Surat
al-Muddatstir : “Hai orang yang berselimut!, bangun dan sampaikanlah
peringatan, dan agungkanlah Tuhanmu dan pakaianmu hendak kau
bersihkan. dan hindarka nperbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin
menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkanlah hatimu.” Maka,
semenjak saat itulah Muhammad diangkat sebagai Rasul dan berbeda dengan nabi
lain yang tidak diwajibkan
menyeru orang-orang untuk
kembali kepada Allah. Sebagai Rasul beliau berkewajiban untuk menyeru kepada
orang-orang yang hidup di sekitarnya. Tugas Muhammad adalah menyeru kebenaran
kepada umat manusia dan menyukseskan risalah yang diberikan kepadanya. Seluruh
hidup Muhammad sesudah penunjukannya sebagai Rasul diarahkan untuk mensukseskan
tugas yang berat ini.
1. Periode Mekkah
Setelah
perselisihan yang panjang Muhammad bertambah yakin atas misinya yang suci.
Muhammad mengarahkan usahanya pertama kali untuk meyakinkan penduduk negerinya
atas kebenaran ajaran barunya, ketauhidan, kebencianterhadap penyembah berhala,
kewajiban manusia untuk tunduk kepada kemauan Sang Pencipta. Inilah kebenaran
dari ajaran yang ditegaskan. Muhammad berpikir keras bagaimana cara menyiarkan
Islam di kalangan umatnya yang keras dan masih senang menyembah berhala.
Setelah mengajak anggota keluarga masuk ke dalam naungan Islam, yaitu isterinya
Khodijah, keponakannya Ali bin Abi Thalib, anak angkatnya Zaid bin Haritha,
Muhammad segera mengajak orang dari luar keluarga dari kalangan suku Quraisy
yaitu Abu Bakar bin Abi Tholib
Quhafah yang menjadi sahabat akrabynya, dan mendapatkan penghargaan yang
tinggi [siddik] karena kesalehan dan kebijaksaannya, kemudian beberapa pemuda
dari golongan miskin mau memeluk kepercayaan baru ini. Kemudian, dari Abu
Bakarlah Islam diperkenalkan kepada sehabat-sehabatnya yang dipercaya, seperti
Usman Bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi
Waqqa, Zubair bin al-Awwam, Ubaidah bin Jarrah dan beberapa orang lagi. Mereka
adalah orang-orang pertama yang beriman dengan kepercayaan ini. Pada masa awal,
Muhammad mempertahankan atau menyebarkan ajarannya dengan diam-diam selama tiga
tahun tetapi orang-orang Quraisy memandang rendah kepadanya juga kepada
shahabat-shahabatnya. Setelah da’wah berjalan tiga tahun secara diam-diam,
Muhammad diperintahkan Allah untuk melakukan da’wah secara terang-terangan.
Dalam Qur’an Surat Al-Hijr [15]:94, “Maka sampaikanlah olehmu
secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan
berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Selain itu diperintah Allah swt
untuk mengajak para kerabatnya, hal ini ditegaskan dalam QS. As-Syuara, 26:214,
“Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”.
Maka, dengan
berpedoman pada ayat tersebut, Muhammad mengajak kaum keluarganya, yaitu Bani
Hasyim, untuk masuk Islam, akan tetapi mereka tidak menghiraukannya, bahkan
pamannya “Abu Lahab” mencemohkannya, hingga turunlah QS al-Lahab,
111:1-5, “Binasalah kedua tangan Abu lahab dan sesungguhnya dia
akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang
dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan [begitu
juga] isterinya, pembawa kayu bakar. Yang dilehernya ada tali dan
sabut”. Kaum Quraisy merasa terancam dengan berkembangnya da’wah Islam.
Mereka berusaha menghalang-halangi da’wah Islam itu dengan berbagai cara,
diantaranya dengan memutuskan hubungan antara kaum muslimin dan suku Quraisy,
menyiksa mereka yang lemah sampai-sampai ada yang dibunuh. Sekalipun Muhammad
dalam lindungan pamanya Abu Thalib, Muhammad dan pengikutnya selalu menghadapi
kesulitan yang besar. Memasuki “tahun kelima” dari kenabiannya atau 615 M,
Muhammad tidak dapat meringankan penderitaan pengikut-pengikutnya sehingga
Muhammad memerintahkan mereka berhijrah ke Abessinis yang diikuti oleh
kira-kira 100 laki-laki dan perempuan, meninggalkan negeri mereka menuju negeri
lain dimana mereka diterima dengan baik oleh raja Kristen di negeri itu.
Dalam catatan sejarah, memang kaum Quraisy tidak berani menyakiti Muhammad
kerena beliau mendapatkan perlindungan dari pamannya Abu Thalib yang sangat
disegani kaum Quraisy. Abu Thalib, memeiliki pribadi yang sangat khas,
yaitu disatu sisi membenarkan Islam, membela keponakannya Muhammad, namun pada
kenyataannya tidak pernah mengikuti apa yang dibelanya sampai ia meninggal. Dan
setelah isterinya Khodijah meninggal dunia dan juga paman pelindungnya
Abu Thalib, kaum Quraisy meningkatkan perlawanannya terhadap da’wah
Muhammad dan tahun ini disebut dengan tahun kesedihan atau “‘amul khuzni”. Kaum Quraisy memboikot kaum
muslimin dengan mengantungkan piagam di atas Ka’bah agar mereka tidak
berhubungan dengan kaum muslimin. Kaum muslimin bersama Muhammad
menyalamatkan diri mereka di cela-cela gunung diluar Mekkah. Mereka mengalami
penderitaan yang sangat berat kerana kekurangan makanan. Setelah
piagam itu dimakan rayap kurang lebih tiga tahun berikutnya, ternyata
tak ada di antara kaum muslimin yang menyatakan ke luar dari Islam dan akhirnya
piagam tersebut dinyatakan batal oleh kaum Quraisy. Setelah kaum
Quraisy melihat Muhammad tanpa perlindungan yang disegani, Muhammad
dihina dan dicaci maki penduduku setempat. Kaum Quraisy semakin keras
menentang dan mengganggu da’wahnya dan akhirnya Nabi Muhammad memutuskan
untuk mencari tempat lain dimana ajarannya dapat berkembang dengan
pesat yaitu di Tho’if sebuah kota yang
terletak kira-kira 70 mil dari kota
Mekkah dan terkenal di jazirah Arab yang merupakan tempat subur bagi suku
Quraisy. Kedatangan Nabi Muhammad dengan ajaran baru tentang ketauhidan
menimbulkan ejekan dan hinaan dari pemimpin Tho’if yang tidak
mengenal rasa belas kasihan sama sekali dan memaksa Muhammad untuk
keluar dari kota
mereka. Dalam perjalanan pulang masa depan Muhammad kelihatan lebih
suram dari pada sebelumnya, kesengsaraan jiwanya dinyatakan dengan
kata-kata yang sama dengan kata Nuh, yaitu : “Nuh berkata: “Ya
Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku
itu hanya menambah mereka lari [dari kebenaran]. Dan
sesungguhnya setiap kali aku menyeru, agar supaya Engkau ampuni mereka, mereka
memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutup bajunya [kemukanya]
dan mereka tetap mengingkari dan menyombongkan diri dengan sangat [QS,
71:5-7].
Dalam keadaan
terjepit dalam upaya menyiarkan agama, Allah memperkenankan Muhammad untuk
langsung menghadap Allah dengan memperjalankan Muhammad dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsa dan selanjutnya ke Sidratul Muntaha. Peristiwa
ini dikenal sebagai peristwa Israk Mikraj. Melalui peristiwa Israk
Mikraj ini Muhammad dapat melihat siapa di antara umatnya yang benar-benar
mantap dengan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan mereka yang masih
diselubungi keraguan. Pada siatuasi ini Abu Bakar Ash-Shidiq-lah dengan lantang
tanpa keraguan mengungkapkan akan rasa percayanya yang tanpa dicampuri rasa
keraguan akan peristiwa yang dialami Muhammad yaitu Israk Mikraj. Nabi
Muhammad tak putus asa dalam menyerukan da’wah Islam, dan strategida’wah mulai
dilakukan “pada musim haji. Muhammad menyebarkan ajaran Islam di tengah-tengah
jemaah haji dari berbagai macam suku Arab, tetapi ajaran tauhid masih
menimbulkan ejekan dan hinaan dari mereka. Bagaimanapun juga keadaan
membuktikan, bahwa Muhammad mulai mengalihkan startegi da’wahnya dengan lebih
baik untuk menyebarkan ajarannya ketika menjumpai sekelompok kecil dari jemaah
haji yang berasal dari Yatsrib [yang kemudian disebut Madinah]. Penduduk kota ini terdiri dari
bani Aws, bani Khazraj, suku Yahudi dari bani Quraisy dan Nadhir. Walaupun
sudah lama terjadi permusuhan, mereka lebih dapat untuk memahami ajakan
Muhammad daripada menyembah berhala oleh penduduk Mekah.Mereka memeluk agama
Islam dan pulang ke negeri mereka sebagai missionaries atau juru
da’wah Islam sehingga ajaran baru ini cepat tersebar dari rumah ke rumah bahkan
dari suku ke suku yang lain. Dua tahun sesudah itu pada musim haji, sekelompok
jemaah dari Yatsrib mengajak Muhammad untuk hijrah atau mengunjungi ke kota meraka dan mereka
akan setia kepadanya [bersumpah setia kepadanya sebagai atasan atau pimpinan
mereka].
Mengingat
bahwa penduduk Mekkah tidak banyak berubah dari pendirian menyembah berhala dan
selalu menghalangi dan mengejar-ngejar umat Islam, maka Allah memerintahkan
Muhammad untuk hijrah ke Yatsrib [Madinah]. Pada musim semi tahun 622 M, umat
Islam Mekkah secara diam-diam hijrah ke daerah utara dalam jumlah yang sedikit.
Perjalanan Muhammad mendapatkan rintangan bahkan dikejar Quraisy, tetapi
Muhammad bersebuni di gua Hira yang mendapatkan dari Allah dengan
kejadian yang tidak mampu dinalar oleh akal [labalaba membuat sarangnya di
pintu gua dan burung merpati liar tinggal di atas pohon] yang mengalihkan
perhatian kaum Quraisy Mekkah dan Nabi Muhammad lepas dari pengejaran kaum
Quraisy tersebut. Nabi Muhammad menlanjutkan perjalanan ke Yatsrib dan dalam
perjalanan Nabi Muhammad melaksanakan “shalat Jum’at pertama kali”
dengan suku bani Salim dalam perjalanan menuju Yathrib [Madinah]. Nabi
Muhammad tiba di Yatsrib [Madinah] dengan kemenangan dan peristiwa hijrah
inilah yang menandakan berakhirnya jahiliyah dan dimulainya masa Muhammad.
Peristiwa hijrah, tercatat sebagai salah satu lembaran penting dalam “peradaban
Islam” pada masa Muhammad. Di Madinah Nabi Muhammad segera membangun Masjid,
membangun masyarakat baru yaitu sebuah masyarakat madani atau masyarakat sipil
dengan tatanan sosial yang kokoh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
perjuangan da’wah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad di Mekkah ditekankan pada
“penanaman dasar-dasar keimanan” yang berlangsung selama 13 tahun. Hal ini
berbeda dengan saat Nabi Muhammad berada di Madinah, karena di ibu kota Islam
yang baru ini, Nabi Muhammad segera menerapkan membangun sebuah masyarat baru
dengan “syariat Islam” dan pembangunan ekonomi, sebagai dasar kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
2. Periode Madinah
Pada periode
Mekkah, Nabi Muhammad saw belum berhasil meletakkan dasar-dasar Islam karena
tidak mendapatkan sambutan dari sebagian besar kaum Quraisy. Tetapi setelah
pindah ke Madinah, Nabi Muhammad berhasil meletakkan dasar-dasar masyarakat
Islam. Nabi Muhammad mendapatkan sambutan yang hangat ketika tiba di Madinah,
segera mendapatkan pengikut dan sebagian penduduknya menjadikan Muhammad
sebagai pemimpin mereka. Pada saat itu, penduduk kota Madinah terdiri dari tiga
golongan : [a] Penduduk , asli [Anshor], mereka yang membantu
kepentingan Muhammad, [b] al-Muahajirin [emigrants] yaitu mereka yang
hijrah dari Mekkah untuk mencari perlindungan di dalamnya, [3] Umat Yahudi yang
sedikit demi sedikit dipaksa keluar dari Arab. Dari golongan pertama dan kedia
Nabi Muhammad membentuk pasukannya. Sesudah hijrah Nabi Muhammad, kota Madinah menjadi tempat kelahiran Islam dan tempat
berlindungan bagi umat Islam dan akhirnya disebut “kota Nabi”.
Kebangkitan
Islam mempunyai pengaruh yang mendalam, ia menempatkan persaudaraan sesama
muslim dengan tidak memandang suku atau jabatan, semua orang Arab menjadi
sejajar dalam kehidupan bermasyarakat. Madinah merupakan negara yang didirikan
untuk membangun peradaban baru. Madinah merupakan kota tujuan hijrah Nabi Muhammad Saw yang
dulunya bernama Yatsrib. Perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan nama dari
Yatsrib menjadi Madinah yang dipahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto
konseptual mengenai upaya Nabi untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani,
dihadapkan dengan masyarakat badawi atau nomad. Nabi mengubah nama Yatsrib
menjadi Madinah, pada hakekatnya merupakan sebuah pernyataan niat, sikap,
proklamai atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu, Nabi bersama para
pendukungnya yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin hendak mendirikan dan
membangun suatu masyarakat yang beradab,9 yaitu suatu masyarakat yang teratur
atau berperaturan, sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Sebagian ahli
sejarah menyatakan, bahwa sebenarnya Rasulullah Saw tidak pernah
memproklamirkan negara Yatsrib atau negara Madinah, sebab bukan kedaulatan
wilayah yang menjadi tujuan utama gerekan Nabi. Negara yang hendak dibangun
Islam adalah negara yang memberi ruang pada kedaulatan aqidah [ideologi]
dan fikrah [paradigma]. Negara baru yang terbentuk di Madinah itu barangkali
lebih tepat disebut sebagai negara hijrah, karena negara ini didirikan
atas dasar ideologi Islam yang dapat didirikan di mana saja, bukan
hanya di kota Madinah, karena dasarnya adalah ideologi, maka sifatnya menjadi
universal, tidak tergantung dan terbatas pada wilayah geografis tertentu10.
Dengan demikian, ada konsep baru yang ditawarkan Nabi, bahwa negara itu
melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara ini lebih cocok dengan
nilai-nilai dasar kemanusian [basic values of humanity] sebab
yang menjadi dasar utama kewarganegaraanya bukan nasionalisme, suku, ras, atau
pertalian darah. Tetapi manusia dapat memilih konsep hidup tertentu atau aqidah
tertentu, manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan aqidahnya tanpa
tekanan dan paksaan dari pihak manapun oleh siapapun. Negara baru yang dibagun
Nabi adalah negara ideologi yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang terbuka.
Sesuai dengan firman Allah dalam surat
al- Baqarah ayat 256, yang artinya : "Tidak ada paksaan untuk
[memasuki] agama [Islam]; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
darpada jalan yang sesat" [al- Baqarah (2), ayat : 256] .Untuk itu,
konsep negara yang ditawarkan Islam benarbenar baru dan orsinil, karena negara
yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tak lain karena konsep yang
dianutnya menetapkan sebuah keyakinan. Dengan keyakinan ini orang boleh
berbicara tentang persamaan dan kebersamaan hak dan kewajiban serta kesetaraan.
Apabila diskursus ini dimulai atau ditarik dari akar peristiwa gerakan hijrah
yang disebut di atas sebagai negera hijrah, maka merupakan sebuah
metamorfosisdari suatu "gerekan" menjadi "negara". Gerakan
ini berasal dari tiga belas tahun sebelumnya, Nabi Saw melakukan penetrasi
sosial yang sangat sistematis; di mana Islam menjadi jalan hidup individu, di
mana Islam "memanusia", dan manusia kemudian
"memasyarakat". Melalui hijrah, masyarakat itu bergerak secara linear
menuju negara. Melalui hijrah gerakan itu "menegara", dan Madinah
adalah wilayahnya. Nabi melakukan penataan negara tersebut, dengan : Pertama,
membangun infrastruktur negara dengan mesjid sebagai simbol dan perangkat
utamanya. Masjid sebagai tempat ibadah sholat dan tempat berkumpul umat Islam. Kedua,
menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua
komunitas yang berbeda yaitu "Quraisy" dan "Yatsrib"
yang menjadi dan dikenal dengan komunitas "Muhajirin"
dan "Anshar" tetapi menyatu sebagai komunitas dalam ikatan
agama. Ketiga, membuat nota kesepakatan [perjanjian] untuk hidup
bersama dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat
pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. Keempat,
merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah13. Dengan
dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Saw merupakan
negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan
keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari atas suku
Aus, Khazraj, dan Yahudi, tetapi Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain yang
datang dan hidup bersama mereka di Madinah. Nabi menghadapi realitas
pluralitas, karena struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat
beragam agama yaitu Islam, Yahudi, Kristen, Sabi'in dan Majusi, dan ada juga
golongan yang tidak bertuhan [atheis] dan bertuhan banyak [polytheists].
Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi di atas fondasi
ikatan iman dan akidah yang tentu lebih tinggi nilai ikatannya dari solidaritas
kesukuan [ashabiyah] dan afiliasi lainnya. Klasifikasi masyarakat pada
saat itu didasarkan atas keimanan, dan mereka terbagi ke dalam beberapa
kelompok, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, mushrikun dan Yahudi14, dengan
kata lain bahwa masyarakat di Madinah pada saat itu merupakan bagian dari
komunitas masyarakat yang majemuk atau plural. Kemajemuk masyarakat Madinah,
diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah ke Madinah mengakibatkan
munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus
diantisipasi dengan baik. Maka dalam konteks itu, introduksi sistem
persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Untuk mengtasi
persoalan tersebut, Nabi Muhammad Saw bersama semua unsur penduduk Madinah
secara konkret meletakan dasar-dasar masyarakat Madinah, mengatur kehidupan dan
hubungan antar komunitaskomunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat
yang majemuk di Madinah, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam
suatu dokumen yang dikenal sebagai "Piagam Madinah" [Mitsaq
al-Madinah], yang dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam
sejarah kemanusian. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi
juga menjadi satu-satunya dokumen Islam15. Dalam dokumen Piagam itulah,
dikatakan "umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain,
kepada wawasan kebebasan, terutama dibidang agama dan ekonomi, serta tanggung
jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam Piagam
tersebut juga menempatkan hak-hak individu yaitu kebebasan memeluk agama,
persatuan dan kesatuan, persaudaraan [al-ukhuwwah] antar agama,
perdamaian dan kedamaian, toleransi, keadilan [al-'adalah], tidak
membeda-bedakan [diskriminasi] dan menghargai kemajemukan".Dengan
kemajemukan, Nabi Muhammad Saw mempersatukan mereka beradasrkan tiga unsur,
yaitu: "Pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai
tempat untuk hidup bersama dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia
dipersatukan dalam satu ummah untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan
secara bersamasama. Ketiga, mereka menerima Muhammad Saw sebagai
pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan
mereka dan otoritas ini dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut
Piagam Madinah yang berlaku bagi individu-individu dan setiap
kelompok".Dalam institusi "Piagam Madinah", secara umum
masyarakat berada dalam satu ikatan yang disebut ummah, yaitu suatu masyarakat
yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial
dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu yang disebut ummah wahidah.
Kedudukan dan hubungan mereka sebagai satu ummah dalam kehidupan sosial dan politik,
sebab ikatan sosial yang mempersatukan mereka menjadi ummah bukan karena agama
atau akidah melainkan karena unsur kemanusiaan. Oleh karena itu, perbedaan
agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan suasana persaudaraan dan
damai dalam masyarakat plural. Muhammad Abduh dalam Tafsirnya al-Manar,
mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu
ummah, melainkan ada faktor universal yang boleh mendukung wujudnya suatu ummah
yaitu unsur kemanusiaan. Karena unsur kemanusiaan sangat dominan dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga
Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummat fi Hadarat
al-Islam, menyatakan bahwa ummah yang dibentuk oleh Nabi Muhammad Saw di
Madinah adalah merupakan ummah yang bersifat agama dan politik atau masyarakat
agama dan politik. Sebab Nabi Muhammad Saw dalam menghimpun penduduk Madinah
dari berbagai golongan tanpa memaksa mereka untuk memeluk agama Islam. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa ummah yang dibentuk Nabi Muhammad Saw di kota
Madinah bersifat terbuka, karena Nabi tidak membentuk masyarakat politik yang
eksklusif bagi atau untuk kaum muslimin saja, tetapi Nabi menghimpun semua
komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah
tauhid beliau maupun yang tidak menerima. Perbedaan aqidah atau agama di antara
mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu padu dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan praktik membentuk
satu ummah dari berbagai golongan dan unsur-unsur kelompok sosial pada masa itu
adalah merupakan sesuatu yang baru, yang belum dilakukan oleh kelompok
masyarakat yang lain, sehingga seorang penulis barat Thomas W. Arnold,
menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan
kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan dalam institusi Piagam
Madinah [Mitsaq al-Madinah]. Institusi "Piagam Madinah" yang
berjumlah 47 pasal itu18, secara formal mengatur hubungan sosial antara
komponen masyarakat, yaitu : Pertama, antara sesama muslim, bahwa
sesama muslim adalah satu ummat walaupun mereka berbeda suku. Kedua,
hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsip
bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela
mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama.
Akan tetapi secara umum, sebagaimana dalam teks Piagam Madinah mengatur
kehidupan sosial penduduk madinah secara lebih luas19. Dari Piagam Madinah ini,
setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental
dalam mendirikan dan membangun Negara Madinah, yaitu: Pertama, prinsip
kesederajatan dan keadilan [almusawwah wal- 'adalah].
Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan
dalambentuk beberapa nilai humanis-universal lainnya, seperti : konsistensi [i'tidal],
seimbang [tawazun], moderat [tawasut] dan toleransi [tasamuh]..
Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan
sosialkemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan, baik politik,
ekonomi, maupun hukum. Mengenai prinsip kesederajatan, keadilan dan
inklusivisme dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Prinsip Kesederajatan
dan Keadilan
Prinsip
kesederajatan dan keadilan yang dibangun Nabi, mencakup semua aspekbaik
politik, ekonomi, maupun hukum. Pertama, aspek politik, Nabi
mengakomodasikan seluruh kepentingan, semua rakyat mendapatkan hak yang sama
dalam politik, walaupun penduduk Madinah sangat heterogen, baik dalam arti
agama, ras, suku dan golongan-golongan. Mereka tidak dibedakan yaitu
masingmasing memiliki untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas dalam
bidang sosial ekonomi. Misalnya, suku Quraish yang berpredikat the
best dan Islam sebagai agama dominan, tetapi mereka tidak dianak-emaskan.
Seluruh lapisan masyarakat duduk sama rendah berdiri sama tinggi dan ideologi
sukuisme dan nepotisme tidak dikenal Nabi. Kedua, aspek ekonomi, Nabi
mengaplikasikan ajaran egaliterianisme1, yakni pemerataan saham-saham
ekonomi kepada seluruh masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak
yang sama untuk berusaha dan berbisnis [QS.17:26 dan QS. 59:7]. Misi egaliterianisme
ini sangat tipikal dalam ajaran Islam. Sebab misi utama yang diemban oleh
Nabi bukanlah misi teologis, dalam arti untuk membabat habis orang-orang yang
tidak seideologi dengan Islam, melainkan untuk membebaskan masyarakat dari
cengkeraman kaum kapitalis. Dari sini, Mansour Fakih mensinyalir bahwa
perlawanan yang dilakukan Quraish bukanlah perlawanan agama (teologi), melainkan
lebih dikenal perlawanan pada aspek ekonomi, karena prinsip egaliterianisme
Islam berseberangan dengan konsep kapitalisme Makkah23. Nurchalis Madjid,
menyatakan bahwa masyarakat madani warisan Nabi, antara lain bercirikan egaliterianisme,
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti
keturunan, kesukuan, ras, keterbukaan, partisipasi seluruh anggota masyarakat,
dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan bukan beradasrkan keturunan.
Kondisi ini
hanya berlangsung selama tigapuluh tahun masa khulafaur rasyidin,
sesudah itu sistem sosial madani digantikan dengan sistem yang lebih banyak
diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra Islam, dan kemudian
dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis24. Dengan demikian,
masyarakat egaliterianisme, digambarkan sebagai masyarakat yang mengakui adanya
kesetaraan dalam posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajiban. Ketiga,
aspek Hukum, Nabi memahami aspek hukum sangat urgen dansignifikan kaitannya
dengan stabilitas suatu bangsa, karena itulah Nabi tidak pernah membedakan
"orang atas", "orang bawah" atau terhadap keluarga sendiri
[Ibid,hlm. 53]. Nabi sangat tegas dalam menegakan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara di Madinah, artinya tidak ada seorangpun kebal
hukum. Prinsip konsisten legal [hukum] harus ditegakkan tanpa pandang bulu,
sehingga supermasi dan kepastian hukum benar-benar dirasakan semua anggota
masyarakat.
b. Prinsip Inklusivisme
Prinsip inklusivisme,
merupakan prinsip yang dipegang Nabi dalam membangun negara Madinah.
Nurchalis Madjid, menyatakan bahwa inklusivisme atau keterbukaan adalah
konsekuensi dari perikemanusiaan, merupakan suatu pandangan yang melihat secara
posetif dan optimis, yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik
[QS.7:172 dan QS.30:30], sebelum terbukti sebaliknya. Berdasarkan pandangan
kemanusian yang optimis-posetif itu, harus memandang bahwa setiap orang
mempunyai potensi untuk benar dan baik, setiap orang mempunyai potensi untuk
menyatakan pendapat dan untuk didengar. Sedangkan pihak yang mendengar,
kesediannya untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat
penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan
mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Inklusivisme
merupakan sikap rendah hati untuk tidak merasa selalu benar, bersedia
mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik.
Prinsip ini yang dipraktekan Nabi ketika membangun negara Madinah, karena Nabi
sendiri selalu mendengarkan dan menerima kritik dari para sahabatnya dan
kritikan itu tidak dianggap sebagai ancaman atau sebagai rival, makar, anti
kemapanan dan lain sebagainya, meskipun berbagai kritik itu tajam menerpa Nabi
selaku pimpinannya. Pada masa awal Nabi membangun Madinah, peran
kelompok-kelompok masyarakat memiliki kemandirian cukup besar, dan pengambilan
keputusan, sebagaimana tercermin dalam konstitusi Madinah atau Piagam Madinah.
Tetapi seiringdengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah
masaNabi kemudian berkembang menjadi sistem "teokrasi". Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam
figur Nabi yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif,
legeslatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi,
dan ketaatan umat kepada Nabi pun semakin mutlak, sehingga tidak ada
kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara. Meskipun demikian,
berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besar cenderung despotik, Nabi
justru meletakan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan
dan kemajemukan, yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam
pengambilan keputusan secara musyawarah. Sedangkan, pada masa al-Khulafa
al-Rasyidin, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan
"nomokrasi". Prinsip ketuhanan diwujudkan dalam bentuk supermasi
syari'ah, peranmasyarakat menjadi lebih besar, menunjukkan adanya masyarakat
madani. Pada masa itu muncul kelompok-kelompok dalam masyarakat yang
sebagiannya memiliki aspirasi politik yang berbeda dengan pemerintah. Mereka
melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekruitmen kepemimpinanpun yang
didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi, setelah masa Khulafaur Rasyidin,
situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekruitmen
pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat [umat], melainkan atas dasar
keturunan. Ada
beberapa lembaga keulamaanlah yang merupakan satu-satunya lembaga
masyarakat madani, masih relatif independen. Pada masa kekhalifaan yakni dari
masa al-Khulafa al- Rasyid sampai menjelang akhir Dinasti Ustmani akhir abad
ke-19, memang memiliki struktur relegio-politik, lembaga legislatif, dipegang
oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad menetapkan
hukum-hukum, meskipun pada prakteknya kadang-kadang juga tidak terlepas dari
pengaruh negera atau pemerintah. Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya
masyarakat Madani yang bernilai peradaban ini dapat dibangun setelah Nabi
Muhammad Saw melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang berdemensi
aqidah, ibadah dan akhlak dan dalam praktiknya, iman dan moralitas yang menjadi
landasan dasar bagi "Piagam Madinah". Prinsip-prinsip dan nilai-nilai
tersebut, menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan
hukum pada masa Nabi. Maka, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani yang
diidealkan itu pernah terwujud pada masa Nabi, sehingga Robert N Bellah,
menyatakan bahwa masyarakat yang
dibangun Nabi, disebut sebagai
"masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempat saat itu, tetapi
setelah Nabi wafat sampai dengan akhir al-Khulafa al-.Rasyidin, model
masyarakat itu tidak bertahan lama. Sebab masyarakat di timur tengah dan umat
manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk
menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi". Posisi
"Piagam Madinah”29 adalah sebagai "kontrak sosial" antara Nabi
Muhammad Saw dengan rakyat Madinah yang terdiri dari orang Quraisy, kaum
Yastrib dan orang-orang yang mengakui berjuang bersama mereka. Posisi Rasul
adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama dan telah meletakkan Islam
sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Perjanjian atau piagam madinah
itu, dapat disebut sebagai suatu social contrac oleh para orientalis. Makam
itulah sebabnya perjanjian tersebut dalam konteks teori politik disebut sebagai
Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah, di dalamnya terdapat pasal-pasal yang
menjadi hukum dasar sebuah negara kota
dan kemudian disebut Madinah [al-Madinah al-Munawarah] atau [al-
Madinah al-Nabi]. Maka, apabila akan mencari nilai-nilai yang
tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu, pastilah nilai-nilai tersebut
adalah nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam "Piagam Madinah”.
Sedangkan kontrak sosial yang dilakukan Nabi, dinilai identik dengan teori
"social contract" Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang
menyatakan sumber kekuasaan pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah
mimiliki kekuasaan karena adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka.
Teori social contract J.J Rousseau, tentang otoritas rakyat dan perjanjian
politik, harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan rakyat serta
menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa demi
kepentingan rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad Saw, ketika
membangun ekonomi dengan membebaskan masyarakat dari ceng keraman kaum
kapitalis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang
dibangun Nabi tersebut, sebenarnya identik dengan civil society, karena
secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau peradaban. Nabi
menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu sebagai classless society yaitu
masyarakat yang tak terbagi dalam kelas-kelas dan hukum tidak membedakan antara
orang kaya dan orang miskin, pimpinan maupun bawahan, semua sama di depan
hukum. Dari uraian di atas, setidaknya secara terminologi masyarakat madani
yang berkembang dalam diskursus di Indonesia, berada dalam dua pandangan yakni
"masyarakat Madinah"karena memang secara historis keduanya mewakili
budaya yang berbeda yakni masyarakat madinah yang mewakili historis peradaban
Islam, sedangkan masyarakat sipil adalah hasil dari peradaban Barat seperti
yang telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya, ialah masyarakat Madinah
menjadi tipe ideal, sangat sempurnanya, karena komunitas masyarakat yang
dipimpin langsung oleh seorang Nabi, dan karena sakin idealnya protetipe
"masyarakat madinah" yang dipimpin oleh Nabi, dunia Islam sampai sekarang
ini masih meraba-raba "masyarakat madani" yang bagaimana dalam bentuk
kekinian. Maka, apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran
masyarakat sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan dalam masa empat
khalifah khulafaurrashiddin, setelah itu masyarakat Islam kembali kepada masa
monarkhi, di mana penguasaan negara [state] kembali menjadi besar, dan
peran masyarakat menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip-prinsip yang
dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya "masyarakat
madani" adalah masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar,
berakhlak mulia, secara politik-ekonomibudaya bersifat mandiri serta memeliki
pemerintahan sipil, memiliki prinsip kesederajatan dan keadilan, serta prinsip
keterbukaan. Timbul pertanyaan, nilai substansi seperti apakah yang dapat
mewakili kecenderungan "masyarakat madinah". Apabila dikaji secara
umum, setidaknya nilai subtansi semangat Islam dalam pemberdayaan masyarakat
mencakup tiga pilar utama, sebagai jawaban terhadap pertanyaan tersebut, yakni
: Pertama, musyawarah [syuro'],
kedua, keadilan [adl], dan
ketiga, persaudaraan [ukhuwah].
Sedangkan "masyarakat sipil" [civil society], bermula dari
semangat dan pergumulanpemikiran masyarakat barat untuk mengurangi peranan
negara [state] terhadap
perannya dalam kehidupan masyarakat. Seperti diketahui bahwa pada abad
pertengahan, masyarakat barat
dikuasai oleh dua kekuatan yang sangat dominan, yakni Gereja dan
kerajaan-kerajaan, sehingga para sejarawan Barat menyebutnya sebagai "abad
kegelapan" [dark age].
Muncul gerekan perlawanan baik dari gerakan-gerakan para ilmuwan yang
menghadirkan gerekan sekularisme dan humanisme, di mana mereka menyatakan lepas
dari keyakinan gereja dan manusia dianggap sebagai pusat segalanya [antrophosentris]31. Rasulullah saw menyerukan dakwah
al-qur’an kepada ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW merupakan orang yang pertama
kali menerima seruan Al-Qur’an. Rasul, sangat peduli dengan dakwah Islamiah
dengan kedua aspeknya, yaitu agama dan ilmu pengetahuan. Beliau membangkitkan
perhatian untuk melakukan studi dan penelitian. Rasulullah SAW mengumpulkan
orang-orang yang pandai menulis untuk mencatat ayat-ayat Al-Qur’an (wahyu) yang
diturunkan kepadanya. Rasulullah SAW menyeru kaum Muslimin untuk belajar
menulis dan membaca, agar mereka dapat menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan
mempelajarinya serta menyebarkannya, sehingga pada perang Badar, ditetapkanlah
tebusan sebagian dari tawanan perang yang pandai menulis-membaca, setiap orang
dari mereka cukup mengajar menulis-membaca sehingga pandai, sepuluh anak-anak
penduduk Madinah bagi setiap orang dari mereka. Kemudian Rasulullah SAW
memerintahkan sahabat-sahabatnya mempelajari bahasa-bahasa asing [selain bahasa
Arab]. Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu sedikit [yang diamalkan] lebih baik
daripada banyak ibadah tanpa ilmu” [HR.Tabrani]. “Barangsiap menempuh suatu
jalan dalam mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya suatu jalan menuju ke
surga” [HR. Turmudzi]. “Saling menasehatilah kamu, dalam ilmu pengetahuan,
karenasesungguhnya suatu khianat [kecurangan] dalam ilmu pengetahuan lebih
jahat dari pada khianat [kecurangan] dalam harta benda” [HR. Abunaim].
Rasulullah menganjurkan umatnya merantau untuk mencari ilmu pengetahuan,
meskipun ditempat yang jauh sebagaimana sabdanya: ”Carilah ilmu pengetahuan,
sekalipun dinegeri Cina”. Dari hadis ini, terlihat kemampuan bahasa sangat
diperlukan dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dalam hadits Abu Zarr RA dari
Rasulullah SAW ia bersabda: “Menghadiri suatu majlis alim [pengajian] lebih
utama daripada shalat sunnat seribu rakaat, mengunjungi seribu orang sakit, dan
menghadiri seribu jenazah. Ditanyakan: Ya Rasulullah, apakah juga dari bacaan
Al-Qur’an? Rasulullah SAW menjawab: Al-Qur’an itu tiada manfaatnya kecuali
dengan ilmu.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
v Muhammad adalah seorang muda yang di jamannya
dijuluki al-Amien [yang terpercaya] ini ingin mendapatkan jawaban
tentang situasi dan nasib manusia
v Dapat diambil
kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat Islam pada kurun Mekkah belum lagi
tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri dan bebas dari urusan
klan.Negara belum terbentuk pada kurun Mekkah.Ajaran Islam pada kurun Mekkah
bercirikan tauhid dan dalam titik tertentu terjadi radikalisasi makna dalam
pandanagan Arab jahiliyyah yang berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius
penduduk Mekkah.
v Pada priode
Madinah Isalam merupakan kelanjutan dari priode Mekkah,yang mana Islam
mengalami kemajuan baik dibidang agama, politik,ekonami,dan kekuasaan.Islam
mengalam perkembangan yang sangat pesat didalam setiap bidang haingga nabi
Muammad SAW wafat,dimulailah era khulfaur rasyidin.Tidak dapat dipungkiri, di
Madinnah Islam sempurna dan disinilah awal peradaban yang dibangun oleh umat
Isalm mulai tercipta.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jijid I, Jakarta,
UI-Press, 2008
Didin Saefuddin, Fauzan, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta,
UIN-Press, 2007
Sayyid Quthub, Nabhan Husein, Konsepsi
Sejarah Dalam Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1992
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta,
Paramadina, 2007
Badri Yatim, Historiografi Islam, Jakarta, Logos Wacana
Islam, 1997
Muhammad Husain Haikal,sejarah
Hidup Muhammad,bandung,PT.Mitra Kerjaya Indonesia,2009
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri,Rahiqul Makhtuum,Jakarta,Pustak Al-Kautsar,2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar